Ini mengesalkan. Indonesia lagi-lagi dihadapkan pada kenyataan pahit: menjadi sasaran tarif tinggi, terkena praktik diskriminasi dagang, dan dihadapkan pada standar ESG global yang semakin menjerat. Laporan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis United States Trade Representative (USTR) secara terang-terangan mengkritik kebijakan Indonesia dalam berbagai sektor. Kita disentil dalam urusan aturan kandungan lokal (TKDN), produk digital, pertanian, hingga keberlanjutan lingkungan.
Namun, yang paling bikin gemas dari isi laporan itu adalah persepsi mereka tentang reaksi pemerintah Indonesia. Katanya, respons Jakarta ternyata normatif saja, tanpa arah yang jelas.
Selama ini, Indonesia menjunjung tinggi prinsip politik luar negeri “bebas aktif”. Dalam dinamika global yang semakin kompleks, semangat itu seharusnya menjadi fondasi untuk mengambil posisi tegas dan berdaulat. Mestinya, dalam menghadapi perang tarif dan standar ESG global, Indonesia tidak boleh tunduk pada tekanan negara-negara maju yang menggunakan isu keberlanjutan sebagai tameng kepentingan dagang mereka. Justru, Amerika Serikat—yang kerap mengklaim menjunjung perdagangan bebas—telah menunjukkan sikap kontradiktif dengan memberlakukan kebijakan yang membatasi akses ekspor dari negara berkembang.
Nobelis Paul Krugman (1996) menyatakan, perdagangan internasional bukan soal menang-kalah, melainkan bagaimana menciptakan keuntungan bersama melalui pemanfaatan keunggulan masing-masing negara. Ketika Indonesia mengekspor produk yang menjadi kekuatannya—seperti kelapa sawit, nikel, dan tekstil—itu bukan bentuk ancaman, melainkan kontribusi terhadap efisiensi global. Maka, alih-alih membatasi, negara seperti Amerika seharusnya menghormati prinsip itu.
Di sisi lain, ESG (Environmental, Social, and Governance)—yang awalnya dipromosikan sebagai standar etika dan keberlanjutan—kini telah berubah menjadi pagar eksklusif. Negara maju, lewat korporasi besar dan lembaga keuangan, memaksa negara berkembang mematuhi standar yang tidak pernah dirundingkan secara setara. Sawit Indonesia dituduh merusak lingkungan, meskipun negara-negara Barat adalah pengguna utamanya. Industri pertambangan kita ditekan untuk mengurangi emisi, padahal bahan mentah kita dibutuhkan untuk transisi energi mereka. Inilah bentuk baru imperialisme hijau.
Menyebalkan, memang. Namun Indonesia tak boleh hanya mengeluh. Adaptasi terhadap ESG global bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Tapi adaptasi itu harus dilakukan dengan cerdas dan berpihak pada kepentingan nasional, bukan tunduk pada standar asing. Kita tidak bisa serta-merta menelan mentah-mentah kriteria ESG versi Barat tanpa menyesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya lokal.
Seperti yang dijelaskan oleh Joseph Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002), globalisasi tidak boleh menjadi alat untuk memperkuat dominasi negara maju, melainkan harus menjadi sarana untuk mempromosikan kesejahteraan bersama.
Indonesia perlu menyusun standar ESG nasional yang mengintegrasikan nilai lokal dan keberlanjutan berbasis komunitas. Standar ini harus dibangun lewat dialog antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan komunitas adat. Tidak semua prinsip ESG global relevan dengan konteks Indonesia. Misalnya, perlakuan terhadap lahan adat atau pertanian skala kecil harus dipisahkan dari standar korporasi besar.
Pemerintah juga harus membangun kapasitas pelaku usaha kecil untuk beradaptasi. Perlu diciptakan ekosistem yang mendukung UMKM dan petani untuk mengakses pembiayaan hijau, pelatihan keberlanjutan, dan insentif pajak. Jangan biarkan ESG hanya menjadi domain konglomerat yang punya konsultan dan akses internasional. Jika tidak, ESG hanya akan menambah jurang ketimpangan antar pelaku usaha.
Kalau kata Thomas Piketty, dalam Capital in the Twenty-First Century (2013), ketimpangan ekonomi dapat diperparah oleh kebijakan yang tidak inklusif.
Selain itu, peran diplomasi ekonomi harus diperkuat. Indonesia harus mendorong terbentuknya forum negosiasi ulang ESG global agar lebih adil dan inklusif. Indonesia bisa memimpin koalisi negara berkembang dalam ASEAN, G77, dan South-South Cooperation untuk merespons dominasi negara maju dalam menentukan parameter keberlanjutan. ESG seharusnya menjadi alat kolaborasi, bukan diskriminasi.
Jika memang diperlukan, pemerintah juga dapat membentuk “Task Force ESG Nasional” yang lintas sektor dan berfungsi sebagai penghubung antara regulasi domestik, kepentingan industri, dan tekanan pasar global. Task force ini tidak boleh dikendalikan oleh satu kementerian saja, tetapi langsung di bawah Presiden, agar koordinasi berjalan cepat dan menyeluruh.
Setelah itu, penguatan tata kelola dan transparansi harus menjadi bagian dari strategi adaptasi. Banyak perusahaan di Indonesia masih memandang ESG sebagai beban administratif, bukan nilai tambah. Pemerintah perlu mendorong agar ESG bukan hanya menjadi alat kepatuhan, tetapi juga pembuka akses pasar dan investasi hijau. Namun, tata kelola yang buruk justru membuat banyak pelaku usaha skeptis terhadap ESG. Menurut Klaus Schwab, dalam The Fourth Industrial Revolution (2016), tata kelola yang baik adalah kunci untuk memastikan bahwa teknologi dan inovasi dapat digunakan untuk kepentingan umum.
Pemerintah juga harus tegas menghadapi tekanan tarif yang berkedok keberlanjutan. Jika AS atau Uni Eropa memberlakukan diskriminasi terhadap ekspor kita dengan alasan ESG, maka kita harus siap mengajukan keberatan ke WTO. Tidak boleh ada standar ganda. Negara maju juga harus membuka datanya tentang jejak karbon mereka, penggunaan energi fosil, dan insentif industri yang selama ini luput dari sorotan.
Sikap hipokrit negara maju ini sejatinya telah lama diperingatkan oleh John Maynard Keynes dalam buku klasiknya The Economic Consequences of the Peace (1919). Ia bilang, ketimpangan dalam sistem perdagangan global dapat menjadi sumber ketidakstabilan ekonomi internasional. Perdagangan yang tidak adil akan menghancurkan tatanan ekonomi dunia secara perlahan. Ketika negara-negara kaya terus mendikte aturan main dan membatasi akses pasar negara berkembang dengan dalil keberlanjutan atau perlindungan konsumen, maka ketimpangan struktural hanya akan semakin dalam.
Indonesia, dan negara-negara Global South lainnya, harus merespons ketidakadilan ini bukan dengan diam, tetapi dengan memperkuat solidaritas, diplomasi ekonomi, dan membangun sistem perdagangan alternatif yang berakar pada prinsip kesetaraan dan keberlanjutan. Dalam konteks ini, Indonesia melalui prinsip “bebas aktif” seharusnya bermakna: bebas menentukan standar nasional, dan aktif memperjuangkannya di arena global. Bukan bebas dari tanggung jawab dan aktif dalam seremoni. Indonesia harus mengubah strategi diplomasi ekonominya dengan bukan lagi meminta pengakuan, tapi menuntut keadilan.
Kita tidak sedang menghadapi perang dagang biasa. Ini adalah perang narasi, perang citra, dan perang kuasa. ESG adalah arena terbaru dari tarik-menarik kepentingan global. Jika pemerintah tidak sigap dan visioner, maka ESG akan menjadi alat tekanan permanen yang merusak daya saing nasional, menggusur ekonomi rakyat, dan memperkuat ketergantungan.
Sudah cukup kita menjadi korban dalam siklus globalisasi yang tidak adil. Sekarang saatnya Indonesia membangun kekuatan dari dalam, menyusun strategi dari bawah, dan berbicara lantang di meja perundingan. ESG tidak boleh menjadi kutukan, tapi harus kita ubah menjadi peluang—asal kita mau berpikir jernih, bertindak tepat, dan berpihak pada rakyat.