Akankah Kita Menjadi Negara Gagal?


Sebagai negara kepulauan besar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi contoh menarik dalam memperhatikan dinamika maupun kontestasi menjadi negara bangsa yang terus mencari jati diri terbaiknya. Keberagamannya yang menakjubkan, yang mencakup ratusan kelompok etnis, berbagai bahasa, dan beraneka ragam kepercayaan, menyajikan sumber rujukan yang kaya sekaligus diskusi menarik tentang rajutan masa depannya.

Untuk memahami kontekstualitas di masa depan bangsa ini, perlu dilakukan pembacaan mendalam terhadap kondisi sosial dan politik saat ini, ancaman yang mungkin muncul di kemudian hari, serta unsur-unsur dasar yang membentuk jati diri nasionalnya. Misalnya dimulai dengan mendudukkan istilah “negara gagal”, meskipun masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ilmuwan dan para pembuat kebijakan, umumnya merujuk pada negara yang tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi pokoknya, seperti menguatkan otoritas di wilayahnya, menyediakan layanan publik yang esensial, mempertahankan hak eksklusif atas penggunaan kekuatan sah dalam penegakan hukum.

Artikel singkat ini memiliki niat untuk menggambarkan kemungkinan perjalanan Indonesia menuju masa depannya dengan memanfaatkan kerangka teoritis yang ditawarkan oleh karya penting Benedict Anderson, berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983). Dalam karya Anderson tersebut terkait dengan bagaimana suatu identitas nasional yang dibentuk secara sosial memberikan sudut pandang yang berharga dalam meneliti elemen-elemen yang dapat memperkuat atau memecah belah masyarakat Indonesia.

Dengan merujuk kepada Imagined Communities yang pada dasarnya memberikan pemahaman mendasar tentang bagaimana identitas nasional terbentuk dan dipertahankan. Kondisi dan syarat demikian dapat terjadi karena para penduduk negara bangsa yang terkecil sekalipun meski sulit mengenal sebagian besar anggota lainnya, namun penduduk tersebut memiliki rasa memiliki dan keterhubungan kolektif dalam benak dan tindakan mereka. Dengan demikian, patut dicatat bahwa rasa persatuan nasional itu tidak terjadi secara alami, tetapi secara aktif dibangun dan dipertahankan melalui persepsi bersama dan kesadaran umum yang terus diulang.

Untuk menelaah fakta multidimensi Indonesia melalui sudut pandang Imagined Communities ini, diperlukan penilaian terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosialnya saat ini. Secara politis, negara kita telah mengalami transisi demokrasi yang signifikan sejak akhir tahun 1990-an. Meskipun lembaga-lembaga demokrasi sudah ada, tantangan-tantangan tetap eksis tak terbayangkan sebelumnya. Korupsi masih menjadi masalah yang signifikan, yang mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan berpotensi memicu ketidakstabilan. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2024 adalah 37 dari 100, yang menempatkannya pada peringkat ke-99 secara global, yang menunjukkan tantangan yang sedang berlangsung dalam memerangi korupsi. Polarisasi politik, yang sering kali sejalan dengan garis politik-agama, juga menghadirkan potensi sumber ketidakstabilan, yang mengancam akan membelah bangunan narasi nasional. Lebih jauh lagi, regionalisme, yang berasal dari geografi dan pengalaman sejarah Indonesia yang beragam, terus menjadi faktor yang memerlukan pengelolaan yang cermat untuk menjaga persatuan nasional.

Secara ekonomi, negara kita telah menunjukkan pertumbuhan PDB yang relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi dilaporkan sebesar 5,03 persen. Namun, ketimpangan pendapatan yang signifikan masih terjadi, sebagaimana ditunjukkan oleh Indeks Gini sebesar 36,10 pada tahun 2023, sedikit meningkat dari tahun sebelumnya. Tingkat ketimpangan ini, di mana orang-orang terkaya memegang bagian kekayaan yang tidak proporsional, dapat mengikis rasa identitas bersama secara nasional. Meskipun tingkat kemiskinan telah menurun, sebagian besar penduduk masih rentan secara ekonomi. Selain itu, ketergantungan kita pada ekspor komoditas dan paparannya terhadap volatilitas ekonomi global merupakan potensi kerentanan ekonomi.

Secara sosial, keberagaman Indonesia merupakan kekuatan dan tantangan bagi kohesi sosial. Meskipun keyakinan agama dapat menjadi sumber persatuan, seperti yang disorot oleh peran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam mempromosikan toleransi, ketegangan etnis dan agama, serta isu diskriminasi terhadap kelompok minoritas, masih ada. Ideologi pemersatu Pancasila menghadapi tantangan dalam mempertahankan relevansi dan inklusivitasnya di semua segmen masyarakat.

Peran media dalam membentuk identitas nasional pada masyarakat kita telah berkembang secara signifikan dengan munculnya era digital. Sementara media tradisional terus memainkan peran, media sosial telah menjadi “terlanjur” dominan dalam menyebarkan informasi dan membentuk wacana publik. Media sosial memungkinkan narasi nasional dibagikan secara luas dan beragam suara dapat didengar. Namun, media sosial juga menghadirkan risiko melalui penyebaran informasi yang salah, ujaran kebencian, dan pembentukan ruang gema (echo chamber) yang cepat berkontribusi pada fragmentasi sosial. Akhirnya kenyataan demikian mendorong penggunaan represi digital oleh pemerintah dan upaya untuk mengendalikan narasi daring, meskipun menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan berekspresi dan potensi polarisasi lebih lanjut tetap dipertahankan strategi dan pendekatan ini.

Kenyataan lain tentang semangat identitas bersama nasional tertantang oleh adanya gerakan separatis dan konflik internal terutama di Papua Barat. Konflik yang sudah berlangsung lama di wilayah ini, yang dipicu oleh keluhan historis, diskriminasi etnis dan ras, dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri, merupakan tantangan signifikan bagi integritas teritorial dan inklusivitas identitas nasionalnya. Kekerasan yang terus berlanjut dan masalah hak asasi manusia di Papua Barat menyoroti garis patahan utama dalam Imagined Communities kita di Indonesia.

Menilik untaian naratif sebentar tadi, kita menghadapi tantangan potensial yang dapat memengaruhi stabilitas dan persatuan nasional. Kemajuan teknologi dan pengaruh luas era digital tidak diragukan lagi akan membentuk kembali bagaimana identitas nasional dibangun dan dialami. Meski secara kemajuan menawarkan jalan baru untuk konektivitas, ranah digital juga membawa risiko fragmentasi lebih lanjut melalui penyebaran konten yang memecah belah dan pembentukan ruang gema daring. Perubahan iklim dan masalah lingkungan juga menimbulkan ancaman signifikan lainnya. Naiknya permukaan laut, peristiwa cuaca ekstrem, dan kelangkaan sumber daya lambat laun secara tidak proporsional memengaruhi wilayah tertentu, yang berpotensi memperburuk ketegangan sosial dan ekonomi. Faktor geopolitik eksternal dan dinamika regional juga akan terus berperan, dengan kepentingan strategis nasional yang menjadikannya subjek yang menarik perhatian internasional. Penting juga diperhatikan bahwa pergeseran demografi, termasuk pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan migrasi internal, akan terus membentuk distribusi sumber daya dan peluang, yang berpotensi menciptakan tantangan baru bagi persatuan nasional jika tidak dikelola secara inklusif.

Penerapan konsep gagasan tentang Imagined Communities atau komunitas imajiner pada masa depan Indonesia membentangkan gambaran yang kompleks atas keberlangsungannya. Kekuatan dan inklusivitas narasi nasional Indonesia, yang berlandaskan Pancasila dan sejarah kemerdekaan, terus diuji oleh kekuatan polarisasi politik, kesenjangan sosial, dan keluhan daerah. Meskipun Pancasila bertujuan untuk menjadi ideologi yang inklusif, interpretasi dan implementasinya masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini jika tidak ditangani secara efektif, dapat menyebabkan fragmentasi lebih lanjut dari komunitas yang dibayangkan pada konteks warga negara kita, yang memperlebar kesenjangan ekonomi, dan memperdalam perpecahan politik.

Pada akhirnya anggapan munculnya “negara gagal” yang ditandai dengan hilangnya kendali atas wilayahnya, ketidakmampuan menyediakan layanan publik, korupsi dan kriminalitas yang meluas, kemerosotan ekonomi yang tajam, konflik internal, dan hilangnya legitimasi. Meskipun kita sebagai negara bangsa saat ini menghadapi tantangan signifikan di berbagai bidang seperti korupsi dan konflik regional, belum menunjukkan spektrum penuh menuju indikator yang biasanya dikaitkan dengan negara gagal. Namun, tren polarisasi politik dan kesenjangan sosial memerlukan pemantauan dan tindakan yang cermat.

Dengan mengilhami analisis melalui sudut pandang komunitas imajiner di atas, stabilitas masa depan Indonesia bergantung pada pemeliharaan dan adaptasi berkelanjutan narasi kebangsaannya dalam menghadapi tantangan yang terus berkembang. Meskipun elemen-elemen dasar identitas nasional, seperti perjuangan bersama untuk kemerdekaan dan prinsip-prinsip pemersatu Pancasila, tetap penting, kekuatan polarisasi politik, kesenjangan sosial, keluhan daerah, dan kompleksitas era digital menimbulkan risiko signifikan terhadap kohesi kebersamaan. Kondisi saat ini tidak secara definitif menunjukkan kegagalan negara yang akan segera terjadi. 

Namun, kerentanan politik, ekonomi, dan sosial memerlukan tata kelola yang proaktif dan inklusif. Menangani korupsi, mendorong kesetaraan ekonomi yang lebih besar, mempromosikan dialog antaragama dan antaretnis yang sejati, dan menemukan penyelesaian yang damai dan adil terhadap konflik akan menjadi penting dalam memperkuat ikatan persatuan nasional. Peran media, khususnya di era digital, harus dimanfaatkan untuk mendorong dialog yang konstruktif dan pemahaman bersama, bukan perpecahan dan misinformasi. 

Pada akhirnya, stabilitas negara bangsa kita di masa depan akan bergantung pada kemampuan para pemimpin dan rakyatnya untuk terus menata kembali dan memperkuat komunitas nasionalnya sendiri. Dengan cara merangkul kekayaan keragamannya sambil menanggapi keluhan dan aspirasi dari semua warga negaranya dan tetap membangun ketangguhan yang adaptif atas perubahan abadi, niscaya kita tetap akan bersama, tidak gagal, Insya Allah.. Insya Allah.