Pakar Hukum Tata Negara sekaligus akademisi Universitas Andalas, Feri Amsari menegaskan tak ada alasan khusus film Dirty Vote’diluncurkan pada masa tenang jelang pencoblosan Pemilu 2024.
Hal ini ia sampaikan dalam menjawab narasi yang menyebut film ini bermuatan politis, untuk membuat gaduh dan menggerus elektabilitas pasangan calon tertentu jelang hari pencoblosan.
“Saya mau sampaikan jujur faktanya saja bahwa tak ada alasan tertentu. Faktornya ya mepet, kebetulan hasil penelitian dibaca oleh Dandhy melihat kami bertiga di berbagai podcast bicara kecurangan pemilu, lalu dia mengontak, bisa tidak kita buat menjadi film,” jelas Feri secara virtual dalam Kuliah Umum Perdana Departemen Hukum Tata Negara UGM, Selasa (13/2/2024).
Ia pun bercerita awal mula keterlibatan dirinya dalam penggarapan film ini. Feru menyebut tawaran tersebut datang pada akhir Januari, kemudian ketiganya baik Feri, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar bertemu pada awal Februari.
Mundurnya jadwal penayangan film ini dari yang semula dijadwalkan pada tanggal 10 Februari, dikarenakan terdapat berbagai perdebatan selama proses pembuatan film ini. “Nah ada yang bilang ‘ini kenapa terlihat sekali mendukung kubu 01 sehingga launchingnya itu di tanggal 11.11, ya itu faktornya karena kami salah-salah, lelet dan molor harusnya (tanggal) 10,” ujarnya.
Ia justru bersyukur dengan agak terlambatnya film ini ditayangkan, sebab kemunculannya di luar masa kampanye justru memberikan waktu lebih luang bagi masyarakat untuk mencermati substansi film ini.
Sebagai informasi, film dokumenter “Dirty Vote”, yang mengungkap dugaan kecurangan dalam pemilu 2024, telah mencapai lebih dari 15,4 juta tontonan di YouTube sejak diluncurkannya pada Minggu (11/2/2024). Karya Dandhy Dwi Laksono ini mendapat perhatian luas, termasuk potongan video yang tersebar di TikTok dan media sosial lainnya, menyulut emosi publik terhadap dugaan penyimpangan dalam proses demokrasi.
Hingga Selasa (13/2/2024) pagi, film ini telah ditonton sebanyak 15.443.616 kali di tiga akun YouTube, yakni akun resmi ‘Dirty Vote’ (6,7 juta), PSHK (6,4 juta), dan Refly Harun (2,4 juta). Film dokumenter ini, yang dikemas dalam format eksplanatori, menampilkan analisis dari tiga ahli hukum tata negara–Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari–yang mendalami bagaimana kekuasaan telah digunakan untuk memengaruhi hasil pemilu, menabrak batasan demokrasi yang seharusnya.
Dalam film tersebut, ketiga ahli memberikan penjelasan yang didukung oleh fakta dan data, menguraikan bentuk-bentuk kecurangan dan analisis hukum yang berkaitan. Bivitri Susanti menyatakan bahwa film ini adalah rekaman sejarah tentang demokrasi yang rusak, di mana kekuasaan disalahgunakan oleh mereka yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
Dandhy berharap ‘Dirty Vote’ menjadi bahan refleksi dalam masa tenang pemilu, mengedukasi publik dan mendorong diskusi. Film ini merupakan hasil kolaborasi antar CSO dan dibiayai melalui crowdfunding serta sumbangan dari berbagai individu dan lembaga, kata Joni Aswira, Ketua Umum SIEJ dan produser film ini.
Leave a Reply
Lihat Komentar