Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait dengan Kepailitan dan PKPU. Dalam SEMA No. 03 Tahun 2023 itu salah satu isinya menyangkut soal larangan PKPU atau Pailit kepada developer/pengembang memperbesar jarak perbedaan pendapat tentang pembuktian secara sederhana yang merupakan komponen penting dalam pengajuan Kepailitan dan PKPU.
Pro dan kontra terkait SEMA No. 03 tahun 2023 huruf B butir 2 ayat 2 yang isinya “Permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 8 ayat (4) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Menanggapi hal ini Advokat sekaligus Kurator Senior Lucas menyambut baik langkah MA yang mengeluarkan SEMA No. 03 Tahun 2023. Menurutnya, meski datang terlambat, SEMA ini akan memberikan kepastian hukum.
“Mahkamah Agung memperhatikan asas keadilan dan kepastian hukum. Karena banyak pembeli unit apartemen dan rumah susun itu merasa ditipu oleh developer,” kata Lucas saat podcast yang bertempat di kawasan Jakarta Pusat seperti dikutip, Selasa (13/2/2024).
Dia mengatakan keputusan MA yang mengeluarkan SEMA tersebut adalah langkah yang baik dan menjadi sebuah terobosan hukum untuk melindungi masyarakat yang mencari keadilan.
“Karena saat ini belum bisa dilakukan perubahan UU kepailitan maka MA mengambil terobosan yang tujuannya melindungi masyarakat pencari keadilan yang membeli unit pada golongan ekonomi menengah ke bawah,” tegasnya.
Lucas juga menegaskan bahwa SEMA No. 3 tahun 2023 ini tidak bertentangan dengan UU No. 37 tahun 2004, karena SEMA ini seperti undang-undang khusus yang dapat mengesampingkan undang-undang umum.
“Jadi ada Kepentingan yang lebih besar demi rasa keadilan. Undang-undang itu harus mengikuti perkembangan zaman namun saat ini pengambil kebijakan di negara kita tertatih-tatih dan selalu terlambat, sedangkan untuk membuat Undang-undang Pemerintah dan DPR harus berjalan cepat mengikuti perkembangan zaman. Terobosan yang dibuat MA sudah benar, imbuhnya.
SEMA Kepailitan dan PKPU Timbulkan Multitafsir
Sementara itu, hal berbeda disampaikan advokat dan kurator senior Ricardo Simanjuntak terkait SEMA ini. Mantan Ketua Asosiasi & Kurator Pengurus Indonesia (AKPI) tersebut mengatakan bahwa tidak perlu ada penafsiran lain dari pembuktian secara sederhana ini.
Pasalnya Undang-undang Kepailitan dan PKPU Pasal 8 ayat 4 menyatakan dengan jelas bahwa pembuktian secara sederhana lahir dari bukti yang kuat.
Terkait dengan SEMA No. 03 Tahun 2023 tentang Larangan Pailit atau PKPU terhadap pengembang/developer menabrak Undang-undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Hal tersebut terlihat dari beberapa pasal yang kontradiktif dengan pasal-pasal di undang-undang lain, misalnya Undang-undang Kebendaan. Sema ini terkesan menghasilkan solusi dengan merusak hukum.
Menurut Ricardo, transaksi dalam aktivitas pembelian apartemen itu tidaklah rumit. Ada developer membangun apartemen atau gedung perkantoran menjual unit kepada pembeli bukanlah sesuatu yang rumit. Jual beli menurut hukum di Indonesia diatur dalam pasal 1457 perdata, bahwa jual beli yang kita pahami adalah transaksi lunas.
“Pembeli berkewajiban untuk melunasi dan si penjual menyerahkan barang. Hal itu dilakukan pada saat yang bersamaan. Tidak bisa kalau barang ada tetapi mencicil itu tidak bisa dikatakan jual beli. Oleh karena itu, developer yang menjual rencana atau gambar sehubungan dengan unit-unit apartemen yang di bangun, dan si debitur juga membeli dengan cara mencicil, maka instrumen hukum yang menghubungkan kedua hal tersebut bukanlah proses jual beli. Bukan akta jual beli (AJB), akan tetapi Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB),” ungkapnya.
“Bahwa tidak ada yang sulit untuk menyerahkan unit ketika pembeli telah melunasi, akan tetapi mengapa belum diberikan? Karena penjual belum melunasi utangnya ke bank. Dan barang tersebut dijaminkan ke bank. Akan timbul masalah ketika setelah penjual menerima pembayaran, bukannya membayarkan ke bank, malah membuka usaha baru dengan berharap keuntungan dari situ”, tegas Ricardo.
Menurut Ricardo, proses pembangunan hukum itu tidak bisa dibangun atas azas “perasaan”, harus tetap berada didalam basis hukum dan harus melindungi semua pihak dalam hal ini penjual dan pembeli dan juga bank.
Harus Ada Keseragaman Soal Aturan Kepailitan dan PKPU
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Restructuring and Insolvency Chamber Indonesia (RICI), Alfin Sulaiman yang mengatakan bahwa lahirnya SEMA No. 3 ini diharapkan ada keseragaman bahwa yang hanya dapat dimohonkan PKPU dan pailit itu kalau azas haknya adalah perjanjian utang piutang tidak dengan yang lainnya. Hal ini yang juga belum bisa tafsirkan di dalam SEMA No. 3 tahun 2023.
Sebab dalam SEMA tersebut terdapat rumusan yang menyatakan kepailitan ataupun PKPU terhadap pengembangan, developer, apartemen dan atau rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 8 ayat 4.
“Pertanyaannya apakah artinya SEMA ini menutup ruang untuk kita mengajukan PKPU di luar perjanjian utang piutang yang dalam pengertian yang sempit? Atau memang SEMA ini hanya dikhususkan untuk developer semata, ini masih sumir,” ungkap Alfin Sulaiman.
Alfin juga menegaskan SEMA tersebut bertentangan dengan UU No. 37 Tahun 2004 tebntang Kepailitan dan PKPU, karena di dalam UU No. 37 ayat 4 tidak diberikan batasan bidang usaha yang tidak diperbolehkan untuk diajukan PKPU atau tidaknya. Syaratnya hanya jelas bahwa adanya utang dan sudah jatuh tempo, minimum adanya dua kreditur dan salah satu kreditur itu terbukti tidak dibayarkan oleh debitur.
Maka syarat PKPU atau pailit dapat dijalankan tanpa mengeksklusifkan terhadap bidang-bidang tertentu, jadi kalau dikatakan bertentangan, jelas ada pertentangan didalam, pertentangan itu semakin nampak di SEMA no. 3 tahun 2023, ucapnya.
Masih menurut Alfin Sulaiman, artinya SEMA ini dikeluarkan sebagai petunjuk dan mengikat ke dalam, sebagai bentuk pedoman untuk menerapkan kaidah dalam melaksanakan praktik peradilan terhadap hal-hal yang mungkin tidak cukup jelas atau perlu lebih jelas diatur. “Tapi bukan meniadakan atau menumpulkan keberlakuan undang-undang No. 37 tahun 2004,” lanjutnya.
Perlu dicatat juga pada tahun 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah melakukan uji materi terkait UU kepailitan, dimana pemohonnya adalah pembeli unit apartemen
“Problematikanya adalah yang diajukan pada saat itu adalah dimana pembeli tersebut tidak terima diposisikan sebagai kreditur konkuren. Dimana kita tahu kreditur konkuren tidak dijamin dalam konteks kepailitan, dan diberikan haknya setelah kreditur separatis,” paparnya.
Disinilah timbul ketidakadilan bagi kreditur konkuren, yang akhirnya dilakukan uji materi. Akan tetapi putusannya tidak dapat diterima bukan menimbang dalam konteks yang materil tapi Mahkamah Konstitusi menyatakan pemohon tidak dapat membuktikan kerugian secara konstitusional.
“Karena menurut Mahkamah Konstitusi ruang-ruang terbuka untuk menyelesaikan persoalan ini tidak melulu harus melalui UU kepailitan dan PKPU, melainkan ada UU yang lainnya, pengadilannya pun juga tidak harus pengadilan niaga, ada pengadilan perdata,” imbuhnya.
Persoalan developer ini tidak dipertimbangkan sebagai suatu hal yang sifatnya krusial, atau multitafsir karena jelas sebenarnya aturannya, dengan itu munculnya SEMA ini apakah karena banyaknya kasus kepailitan dan PKPU berakhir tidak baik dan mungkin menimbulkan masalah.
“Jangan-jangan sebenarnya problematika ini bukan di UU No. 37 tahun 2004, melainkan lambatnya respon DPR, respon pemerintah dalam melakukan revisi khususnya hukum acara perdata kita, inilah yang mengakibatkan orang itu latah menggunakan peranata PKPU dan kepailitan untuk mencari keadilan,” tegas Alfin Sulaiman.
Terkait dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang merupakan instrumen hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. SEMA berfungsi sebagai pedoman bagi para hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Leave a Reply
Lihat Komentar