Intelektual Tukang di Era Pemasungan Intelektual


Sepanjang saya menjalani profesi pengajar di berbagai kampus ibu kota lebih dari dua dekade, nasib pengajar atau dosen masih tetap sama, yaitu menjadi tukang dengan intelektualitas yang terpasung.

Hari Buruh pada 1 Mei dan Hari Pendidikan pada 2 Mei mungkin tidak kebetulan diperingati secara berturutan; garis tangan buruh dan pengajar ternyata serupa. Hari Buruh kali ini disemangati aksi turun ke jalan para pekerja kampus. Mereka mengklaim sebagai sarikat pekerja kampus. Mereka menyuarakan hak mereka sebagai buruh yang berserikat.

Intelektual Tukang

Istilah intelektual tukang ini tidaklah baru, karena istilah ini sering dipakai oleh sarjana sosiologi dan mahasiswa pada umumnya di UGM dan beberapa kampus lainnya di Yogyakarta pada awal tahun 2000-an. Saat itu, pada suatu seminar nasional yang membahas makna intelektual, sosiolog kritis Prof. Heru Nugroho juga aktif mempromosikan istilah intelektual tukang ini. Saat itu ghirah intelektualitas sangatlah tinggi.

Intelektual tukang dihadapkan dengan istilah intelektual kritis, yang merupakan intelektual sesungguhnya. Seperti layaknya pekerjaan tukang, intelektual tukang merakit material menjadi suatu produk—misalnya kayu menjadi kursi dan meja. Ia mengerjakan pekerjaan teknis-mekanis. Jadi ada dua macam wilayah kerja intelektual: teknis-instrumental-mekanis dan kritis.

Secara umum, istilah intelektual tidak hanya merujuk pada pengajar atau dosen saja. Dahulu kita mengenal intelektual kritis seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Soekarno, Hatta, A. Hassan Bandung, Mohammad Natsir, Kartini, H.O.S. Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan Mohammad Yamin. Seperti yang dikatakan oleh intelektual publik yang kritis, Daniel Dhakidae, “tugas intelektual adalah mengkritik tanpa henti.”

Saat ini, istilah intelektual lebih dilekatkan kepada pengajar atau dosen. Bagi intelektual kritis, biasanya merasa berat mengerjakan kerjaan tukang, sedangkan kemunculan intelektual tukang disebabkan karena banyak dosen mengerjakan praktik pengajaran, penelitian, dan administrasi yang teknis-instrumental-mekanis sehingga daya kritis melemah.

Pasca-Reformasi 1998 dan awal 2000-an, mulai muncul kerinduan atas dosen (kritis) seperti para tokoh bangsa di atas. Pada masa itu, intelektualitas mengalami instrumentalisasi, yakni dosen menjadi tukang intelektual. Dalam pengajaran, dosen hanya menukangi mahasiswa dengan alat teoritis yang diproduksi dari Barat. Kita seolah-olah kritis dan merasa kritis, tetapi faktanya kita didoktrin agar terlihat dan merasa kritis oleh sarjana Barat. Hal ini juga terjadi dalam penelitian dan pengabdian masyarakat (abdi-mas), beban kerja administrasi pelaporan, serta kegiatan sebagai event organizer (EO).

Produk mahasiswa dicetak menjadi seseorang yang sesuai dengan jurusannya agar bisa bekerja di perusahaan, pabrik, atau birokrasi. Mahasiswa ditujukan dan dicetak khusus untuk menopang sistem birokrasi, korporasi, dan pabrik dalam mesin besar kapitalisme global. Tidak lebih.

Dalam hal ini, institusi pendidikan dihidupi memang sebagai alat negara dan alat komprador (kapitalis/pemilik modal). Dengan kata lain, tujuan pendidikan dari sekolah dasar hingga kuliah selama 16–18 tahun ialah sebagai alat dua institusi tersebut dalam menyangga sistem dunia, yakni kapitalisme global.

Kini para dosen sudah mulai mempunyai kesadaran kelas. Dosen adalah buruh. Mereka berani melakukan demonstrasi di Hari Buruh. Dosen adalah buruh dalam suatu pabrik besar institusi pendidikan pencari laba untuk bertahan hidup (survive). Dengan deregulasi roh sosial negara (pemerintah), institusi pendidikan semakin masuk ke dalam sistem kapitalisme global.

Muncullah undang-undang otonomi kampus. Faktanya, yang diotonomkan adalah uangnya—yang mengalami komersialisasi—tetapi kebebasan akademik (intelektual) dan kesejahteraan tertinggal. Dengan kata lain, negara tidak lagi menempatkan pendidikan dalam dimensi sosial, tetapi dalam dimensi ekonomi (komersial) dan politik (kuasa/kontrol).

Tidak dapat dipungkiri, institusi pendidikan harus survive, dosen harus survive, demikian pula mahasiswa setelah lulus harus survive. Semuanya dikondisikan menjadi tukang dengan pekerjaan teknis-instrumentalnya masing-masing untuk menopang apa yang disebut dengan kapitalisme lanjut, sebuah istilah yang dicetuskan oleh Werner Sombart pada awal 1900-an.

Di dunia kapitalisme lanjut, negara (pemerintah) tidak lagi menjadi institusi sosial, tetapi institusi ekonomi-politik dengan alat militer dan kekerasan terorganisasi (Max Weber). Semua yang dilakukan negara hanyalah untuk kepentingan kekuasaan (politik) dan uang (ekonomi). Manusia yang hidup di dalamnya menjadi mesin-mesinnya. Begitulah kira-kira sejarawan Amerika, Lewis Mumford, menggambarkan peradaban manusia modern: manusia melakukan tindakan teknis-instrumental-mekanik untuk menopang peradaban materialistik (kapitalisme). Di sini, dosen adalah bagian dari tukang yang melakukan tindakan teknis-mekanik.

Kini pertukangan dosen juga bertambah: menjadi petugas administrasi pemerintah dengan berbagai macam pelaporan. Mereka seolah-olah dianggap sebagai sosok yang berpotensi besar dan rentan menjadi koruptor. Mereka harus selalu diawasi kinerjanya, sehingga pelaporan harus sangat terperinci, dilakukan berulang dalam berbagai aplikasi dan ruang maya beragam seperti Sister, Shinta, Bima, Garuda, SKP, BKD, LHKPN, borang akreditasi, peringkat nasional dan internasional, serta aplikasi lainnya dari kampus maupun dari Google.

Apa yang digambarkan oleh Mumford sangat jelas: dosen adalah intelektual tukang yang mengerjakan banyak pekerjaan teknis-instrumental-mekanis. Belum lagi mereka juga harus menjadi pelaksana kegiatan, event organizer bedah buku, acara penerimaan mahasiswa baru, wisuda, urusan peringkat, guru besar, seminar nasional dan internasional, merangkap menjadi sales untuk mencari massa pengikut seminar. Lalu produknya disodorkan dijual demi menopang para kapitalis Scopus, dengan membayar puluhan juta agar artikel itu dimuat demi kepangkatan yang tertatih-tatih naiknya, dan gajinya pun demikian.

Sangat jelas, kini intelektual tukang semakin masif. Dulu tidaklah seperti yang digambarkan di atas. Waktu saya masih kuliah di awal 2000-an, kritik terhadap intelektual tukang hanya pada pengajaran keilmuan yang diberikan dari produksi Barat, lalu dipertukangkan di Indonesia. 

Namun kini pertukangannya melebar ke mana-mana. Sampai-sampai abdi-mas juga harus ditulis dalam jurnal agar terlihat dosen benar-benar bekerja serius dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Tentunya, dengan adanya peringkat Shinta, tidak pelak proses komersialisasi jurnal pun terjadi. Semakin kecil levelnya, semakin mahal pula uang yang harus dibayar—tentunya dengan gaji dosen yang tidak seberapa itu.

Padahal, dunia pengabdian kepada masyarakat yang langsung diterima masyarakat umum dapat pula dilakukan melalui khutbah Jumat, kultum, dan mengajarkan Iqro di masjid-masjid dekat rumah, dan sejenisnya. Kegiatan ini diselingi dengan kerja intelektual kritis dalam memberikan suntikan kesadaran kepada masyarakat agar memahami kondisi dunia yang tidak adil, penuh eksploitasi, dan sadar akan logika ketertindasan. 

Jadi, kerja-kerja pengabdian masyarakat semacam ini dulu bermuatan kritis dan pencarian makna hidup (Dasein), bukan pertukangan—agar tetap menjadi manusia, bukan alat. Manusia menjadi alat, kira-kira kegelisahan Martin Heidegger dalam karyanya Being and Time.

Pemasungan Intelektual

Rezim penguasa telah menciptakan rasa takut bagi dosen untuk berbicara dan mengungkapkan pemikiran (kritis)—yang disebut pemasungan intelektual. Di Amerika Serikat, kampus-kampus besar diancam Presiden Trump untuk melakukan kehendak rezim bila masih ingin mendapatkan dana dari pemerintah. Ini adalah tindakan pemasungan intelektual yang signifikan. Situasi pemasungan intelektual ini dapat kita rasakan pula di Indonesia. Negara masih mengontrol dan menentukan pergerakan institusi pendidikan. Proses level dan otoritas keilmuan dan intelektual ditentukan oleh otoritas politik kekuasaan. Kaum intelektual harus tunduk pada penguasa. Kekuasaan ada di atas ilmu.

Jika tokoh bangsa seperti Tan Malaka, Soekarno, dan Hatta hidup pada zaman sekarang, maka mereka pasti akan melakukan perlawanan atas pemasungan intelektual ini. Namun ini hanya berandai-andai saja, tidak nyata. Faktanya, saya juga merasa hanya sebagai intelektual tukang, karena selain masih mempunyai rasa takut untuk bicara bebas-kritis, produksi keilmuan yang membutuhkan dana besar (kapital) mustahil dilakukan.

Padahal, ide besar seperti mewujudkan Indonesia Emas atau Indonesia sebagai Mercusuar Dunia membutuhkan proses produksi ilmu pengetahuan dan kerja intelektual yang mumpuni serta serius. Menjadi negara besar membutuhkan daya dukung luar biasa dari kaum intelektual yang mumpuni. Begitulah mengapa dalam sejarah, Jepang dan Tiongkok bisa menjadi besar seperti sekarang.

Solusi ini dan itu sebenarnya gampang: contek (copycat) saja negara yang berhasil. Dulu Jepang dan kini Tiongkok adalah copycat terbaik atas bangsa Barat. Tiongkok maju dan sukses. Jadi skeptisisme bahwa solusi tidak dapat dijalankan karena tidak adanya political will dari penguasa yang pro terhadap intelektualitas dan kerja ilmu pengetahuan yang berada di dimensi sosial adalah bentuk keputusasaan yang dibuat sistem.