Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi mendesak Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), agar mencabut Surat Telegram (ST) mengenai perintah penyiapan dan pengerahan personel, beserta alat kelengkapan dalam rangka dukungan pengamanan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh wilayah Indonesia.
Ia menilai ST Panglima dan KSAD tersebut bertentangan dengan Konstitusi Negara dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, terutama UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI.
“Panglima TNI dan KSAD hendaknya segera menarik dan membatalkan ST tersebut. Di satu sisi, tidak ada kondisi objektif yang mengindikasikan pengamanan institusi sipil penegak hukum, Kejaksaan RI, memerlukan dukungan pengerahan personel dari Satuan Tempur dan Satuan Bantuan Tempur TNI,” ujar Hendardi dalam keterangan yang diterima Inilah.com di Jakarta, Senin (12/5/2025).
Di sisi lain, lanjutnya, permintaan dan pemberian dukungan pengamanan dari Kejaksaan, justru bentuk dari “kegenitan” Kejaksaan sebagai institusi sipil dalam penegakan hukum.
“Dukungan pengamanan Kejaksaaan oleh TNI malah memunculkan pertanyaan tentang motif politik apa yang sesungguhnya sedang dimainkan oleh Kejaksaan, melalui pelembagaan kolaborasi dengan TNI yang semakin terbuka, termasuk melalui Nota Kesepahaman (MoU) Kejaksaan-TNI tentang Kerja Sama dalam Pemanfaatan Sumber Daya dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum, terutama terkait dengan RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP yang sedang berlangsung, serta penegakan hukum di lingkungan Kejaksaan,” tuturnya.
Kejaksaan, kata Hendardi, harusnya memahami bahwa mereka merupakan bagian dari sistem hukum pidana atau criminal justice system yang mestinya sepenuhnya institusi sipil. Menurut Hendardi, dengan menarik militer ke dalam keseluruhan elemen sistem hukum pidana jelas-jelas bertentangan dengan supremasi sipil dan supremasi hukum.
“Keluarnya ST tentang dukungan pengamanan kepada seluruh institusi Kejaksaan di wilayah Indonesia, semakin menegaskan militerisme mengalami penguatan dalam kelembagaan penegakan hukum, yang di antaranya didorong oleh kehendak politik Kejaksaan sendiri,” ungkapnya.
Pada saat yang sama, hal itu sangat potensial melemahkan supremasi hukum. Padahal, menurut hukum positif Indonesia, TNI hanya memiliki yurisdiksi penegakan hukum di lingkungan TNI saja, itupun dengan tata perundang-undangan Peradilan Militer yang mesti diperbarui.
“Dalam konteks sistem penegakan hukum dan penguatan supremasi sipil dalam penegakan hukum, Panglima TNI dan jajarannya mestinya kita dorong untuk memberikan perhatian khusus pada revisi Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang sudah tidak sesuai dengan spirit rakyat (volksgeists), supremasi sipil, dan supremasi hukum dalam tata kelola pemerintahan demokratis, alih-alih menarik-narik terlalu dalam pada penegakan hukum di ranah sipil dengan memberikan dukungan dan bantuan pada Kejaksaan sebagai elemen sipil,” jelasnya.