Di Pemilu Banjir Beras Bansos, Kini Rakyat Dilanda SOS

Masih untung jawaban pemerintah soal antrean mengular karena mahalnya beras itu tidak seperti jawaban Bung Karno yang menggubah lagu ”Mari Bersuka Ria” saat krisis pangan akut mendera rakyat di tahun 1960-an. Liriknya antara lain: “Siapa bilang bapak dari Blitar/Bapak kita dari Prambanan/ Siapa bilang rakyat kita lapar/Indonesia banyak makanan/ Mari bergembira.. bergembira bersama…”

Dipirsa sekilas, video itu mungkin akan dianggap datang dari Indonesia yang kumuh, lapar dan miskin di awal 1960-an. Warga masyarakat berjejal dalam antrean berbanjar dua-dua, mengular ratusan meter panjangnya. Kebanyakan ibu-ibu, dengan atau tanpa mengepit wadah, semacam baskom. 

Tetapi dengan sedikit lebih cermat, kita akan segera tahu, video yang beredar sejak Rabu siang (21/2) itu tidak bicara tentang Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin dan Manipol-USDEK-nya Bung Karno. Selain berwarna—bukan monokrom hitam-putih—video itu menunjukkan banyak dari ibu-ibu yang sabar menunggu dalam antrean itu berjilbab, kebiasaan yang baru lazim setelah akhir 1990-an. Tidak seorang pun dari mereka yang berkebaya, lengkap dengan kain sinjang atau jarit sebagai bawahan, khas pakaian perempuan era 1960-an. 

Apalagi saat orang yang mengabadikan momen tersebut berkata, ”Ini aku lagi di Antapani. Lihat, tuh. Ini semua orang-orang yang lagi ngantri beras lima kilo.  Kasihan amat negara kita, beuuuuu…Kasihan amat, ya Allah!” Suara seorang lelaki. Ngantri, katanya dengan logat Sunda, bukan ngantre. Ya, kejadian yang dengan gampang diabadikan warga yang kini rata-rata telah memegang telepon selular pintar (smart-phone) itu memang terjadi di kawasan Antapani, Bandung, di hari yang sama dengan beredarnya video tersebut dari dan ke lain media sosial.

post-cover
Warga mengantre beras Bulog murah di Pasar Krampung Tambakrejo Surabaya, Senin (6/2/2023). (Foto: Antara).

Apakah bumi Indonesia berhenti bergerak, mandek pada sumbunya, tak berputar selama 60 tahun? Tentu saja tidak. Banyak yang terjadi selama itu. Sekian juta bayi lahir, sekian juta orang jadi tua dan mati. Termasuk beberapa puluh, ratus atau mungkin ribu yang mati tersungkur ke bumi dalam peristiwa-peristiwa besar yang diizinkan Tuhan terjadi untuk kita becermin dan mengambil inti sari. Negeri ini bahkan konon pernah sesaat gemah ripah loh jinawi. Jika saat ini untuk beras pun kita kembali mengantre, anggaplah itu keharusan sejarah saja. ”Le histoire se repete,” kata orang-orang jangkung berhidung mancung, dengan badan meruapkan bau keju. Sejarah itu berulang kembali. 

Namun bagi negeri yang pernah disebut dunia sebagai salah satu ‘macan Asia”, plus konon tetap mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif selama pandemi COVID-19, mengantrenya rakyat yang berebutan mendapatkan bahan makanan untuk konsumsi harian, memang anomali tersendiri. Wajar bila media internasional sekelas Reuters merasa harus mengabadikannya dalam sebuah laporan. 

Dalam sebuah artikel yang terbit Selasa, 28 Februari 2024, berjudul “Sprawling Queues for Subsidised Rice Highlight of Indonesia’s Poor,” media yang berkantor pusat di London, Inggris, itu menulis soal barisan panjang masyarakat Bekasi yang berebut antrean saat Badan Pengadaan Pangan Bulog melakukan operasi pasar di kota berjarak 25 km dari Ibu Kota Jakarta itu. “Harga beras telah meningkat lebih dari 16 persen sejak tahun lalu,” kata Reuters dalam laporan mereka.  

Sebab Kelangkaan 

Rakyat kebanyakan boleh-boleh saja was-was, sehingga wajar beras operasi pasar Bulog pun diantre dan diperebutkan untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari keluarga mereka. Di Kecamatan Bandung Kidul, Jawa Barat, misalnya, karena membludaknya animo warga—frasa ini tentu akan terasa lebih halus—setiap pengantre dibatasi hanya bisa membeli beras lima kilogram. Meski demikian pembatasan itu tak sedikit pun mengurangi antrean yang mengular ratusan meter panjangnya. 

Namun di pucuk kepemimpinan negara, Presiden Jokowi tak terlihat menunjukkan kecemasan. Padahal, laman Panel Harga Pangan dari Badan Pangan Nasional menyatakan rata-rata harga beras premium pada Senin (24/2) saja sudah berkisar Rp 16.650 per kilogram, dengan  harga beras medium pada kisaran Rp 14.980 per kilogram. Artinya, harga beras premium saat itu pun sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang mengacu pada Peraturan Badan Pangan Nasional No 7/2023. HET beras medium berkisar Rp 10.900 hingga 14.800 per kilogram. Sementara itu HET beras premium berkisar 13.900 hingga Rp 14.800 per kilogram, tergantung provinsi. Menjelang akhir Februari, rata-rata harga beras premium bahkan disebut-sebut sudah mencapai Rp 18.500 per kilogram. 

Bila menengarai jawaban para menteri dan pembantu-pembantu Presiden di pemerintahan, kesan kurangnya koordinasi untuk urusan ini, kuat sekali. Setidaknya hingga Senin malam (26/2) lalu. Tentang melonjaknya harga, Presiden Jokowi mengatakan itu akibat perubahan iklim dan akan bisa diatasi melalui Bansos. Di sisi lain, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) meyakini bahwa kelangkaan beras premium—yang mengerek harga—diakibatkan oleh lonjakan harga beras premium yang melampaui HET pemerintah. Itu membuat pengusaha retail enggan mengambil beras jenis ini. Ia juga menjelaskan faktor cuaca ekstrem EL Nino yang berdampak pada mundurnya panen raya, sehingga pasokan beras premium di dalam negeri menipis. Sebagai solusi, saat itu Zulhas menganjurkan masyarakat beralih ke beras Bulog.

Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi turut urun rembuk. Menurutnya, kenaikan harga beras dipengaruhi rendahnya hasil produksi petani akibat terlambatnya masa tanam.  Bayu mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, hasil produksi beras petani pada Januari hingga Februari tak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. BPS, kata Bayu, memperkirakan pada Januari hingga Februari terjadi defisit sebesar 2,7 juta ton beras. 

post-cover
Ilustrasi Presiden Jokowi di lahan food estate, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (Kalteng). (Foto: Antara)

Namun bagaimanapun jawaban kalangan pemerintah itu lebih baik dibanding pernyataan Presiden, Oktober 2023 lalu.  Saat itu, waktu ditanya wartawan tentang naiknya harga beras yang juga terjadi kala itu, Jokowi malah membandingkannya dengan harga di Singapura dan Brunei Darussalam. Menurut Presiden Jokowi saat itu, naiknya harga beras tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di banyak negara akibat krisis pangan global. 

“Misalnya di Singapura rata-rata harganya Rp 21.600, di Brunei harganya sudah mencapai rata-rata Rp37.000,” kata Jokowi. “(Harga beras) kita masih Rp10.800-Rp13.000, tetapi memang harganya naik,” kata Presiden, saat itu. 

Wajar bila jawaban tersebut dianggap hanya setingkat lebih mendingan dibanding pernyataan Presiden Sukarno di kala Indonesia mengalami krisis pangan (baca: beras) pada pertengahan 1960-an itu. Di tengah semua itu, Bung Karno justru menggubah sebuah lagu,”Mari Bersuka Ria”, berirama Lenso, dinyanyikan para penyanyi top ibu kota saat itu: Bing Slamet, Nien Lesmana, dan Rita Zahara. 

Perhatikan liriknya, antara lain: 

“Siapa bilang bapak dari Blitar

Bapak kita dari Prambanan

Siapa bilang rakyat kita lapar

Indonesia banyak makanan

Mari bergembira.. bergembira bersama…”

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) pada 2 Maret 2024, harga beras kini mulai bergeser. Tak banyak. Harga beras medium berada pada Rp 14.390 per kilogram, sedangkan beras premium mencapai Rp 15.870 per kilogram. Harga ini masih tetap di atas HET. 

Bansos yang Gila-gilaan

Lain dengan versi pemerintah, banyak kalangan meyakini tingginya harga beras terkait erat dengan digenjotnya program Bantuan Sosial (bansos) beras secara  jor-joran oleh pemerintah menjelang Pemilu kemarin. Diduga kuat, itu dilakukan buat menggenjot elektabilitas Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden yang ikut kontestasi. Akibatnya, cadangan beras pemerintah yang tersimpan di gudang Perum Bulog, dalam sekejap susut dalam jumlah yang sangat duilah!

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Dwi Andreas Santosa, misalnya, secara teori percaya Bansos yang disebut-sebut mengeruk cadangan beras pemerintah setidaknya 1,3 juta ton itu cukup memberikan pengaruh. “Sudah barang tentu dengan Bansos tersebut mengurangi cadangan beras pemerintah,”kata Prof Dwi kepada Inilah.com. Dengan adanya pengurangan tersebut, sudah tentu  intervensi yang mampu dilakukan pemerintah pun menjadi terbatas.

Demikian pula politisi Senayan dari F-PKS, Hidayatullah. Menurut Hidayatullah, munculnya ketidaknormalan, dalam artinya naiknya harga beras, disebabkan cawe-cawe Presiden mengintervensi Pemilu dalam bentuk jor-jorannya program Bansos beras. Diduga hal itu dilakukan untuk memenangkan salah satu pasangan calon.

Sinyalemen yang lebih bergaung seputar itu datang dari mantan Menteri Jokowi, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Tom  menilai kurangnya ketersedia-an beras yang berdampak pada melonjaknya harga saat ini tidak terlepas dari kebijakan Bansos besar-besaran yang dikeluarkan menjelang Pemilu 2024, beberapa waktu lalu. “Kondisi pasar beras di Indonesia yang lagi kacau balau…hampir pasti ada kaitannya dengan kebijakan yang diambil di bulan-bulan Pemilu, terkait Bansos,”kata Tom, Selasa (27/24) lalu. Dia menyebut indikasi itu terlihat seiring dikurasnya stok Bulog sampai 1,3 juta ton.

post-cover
Progam bansos beras 10 Kg menggerus cadangan beras pemerintah yang tersimpan di gudang Perum Bulog. Diduga pemicu kelangkaan di sejumlah pasar tradisional dan ritel modern. (Foto: Antara).

Dari lapangan, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey,  juga menyebut keterkaitan antara kenaikan harga beras dengan kebijakan pemerintah dalam penyaluran bantuan pangan 10 kg tersebut. 

Tetapi soal itu dibantah langsung Presiden Jokowi sendiri. Alih-alih menjadi pangkal sebab, menurut Jokowi, Bansos beras 10 kg itu justru dimaksudkan untuk menstabilkan harga. Menurut Jokowi, dengan menambah pasokan melalui Bansos, pemerintah berupaya menciptakan keseimbangan antara permintaan dan pasokan beras di pasar.  “Tidak ada kaitan dengan bantuan beras pangan, sama sekali tidak ada. Bahkan ini bisa membantu mengendalikan situasi karena pasokannya melalui Bansos ke masyarakat,”ujar  Jokowi di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Kamis (15/2). 

Jokowi mengklaim, dalam stabilisasi harga beras, pemerintah menggunakan prinsip dasar permintaan dan penawaran. Baginya, dengan adanya bantuan beras melalui Bansos, harga beras di pasar akan terkendali. 

Apa pun sejatinya yang terjadi, seharusnya urusan pangan rakyat tidak seharusnya menempati prioritas yang rendah. Kebijakan apa pun yang terkait pangan rakyat, hendaknya dipikirkan baik-baik. Bukan omong kosong bila pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian UI di Bogor, yang menjadi cikal bakal IPB, pada 27 April 1952, Presiden Sukarno melontarkan pernyataan profetik bahwa, ”Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa.” 

Belakangan, keyakinan Sukarno tersebut dikuatkan hasil penelitian FAO pada 2000,  yang mengungkapkan bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang akan sulit atau bahkan tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Bila itu terjadi, rakyat banyak akan senantiasa berada pada situasi SOS alias berteriak “Save our souls” atawa selamatkan jiwa kami!”  

[dsy/vonita/rizki/diana/reyhaanah/clara]

Sumber: Inilah.com