Dongeng Bocah Sunda di Masa Lalu [2]: Badirian, Menikahkan Neng Markonah, Tebu Kebanggaan

dongeng-bocah-sunda-di-masa-lalu-[2]:-badirian,-menikahkan-neng-markonah,-tebu-kebanggaan
Dongeng Bocah Sunda di Masa Lalu [2]: Badirian, Menikahkan Neng Markonah, Tebu Kebanggaan

Kami sangat gembira jika mendapatkan tebu Markonah. Tebu jenis itu tak pernah saya temukan lagi sejak 1980-an, saat sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) digalakan Orde Baru. Markonah adalah tebu yang besar—besarnya lebih dari pergelangan tangan orang dewasa, gampang dipites (dipotong) dengan tangan, dan airnya–yang sangat manis– pun melimpah. Kami biasanya makan tebu tanpa alat apa pun! Untuk mengupasnya, hanya perlu gigi geligi terlatih. Kalau membayangkan kehebatan kami menggares tebu saat itu, tak jarang saya saat ini langsung merasa ngilu.

 

Waktu saya kecil, pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an, di Kadipaten, Kabupaten Majalengka, masih berdiri pabrik gula yang dibangun Belanda. Walanda, kata urang Sunda. Dari beberapa literatur yang saya baca setelah dewasa, pabrik itu didirikan 1876, atau enam tahun setelah berlakunya Undang-undang Gula 1870.

Di masa kanak-kanak, saya tahunya pabrik itu dibangun 1896, terlihat dari tulisan yang diterakan di cerobong asapnya yang tinggi menjulang. Tahun itu ternyata merupakan tahun perluasan bangunan pabrik yang dimiliki tiga orang, yakni Ny. JF de Vogel, istri Tuan Disderk Lucas; Ny. Willhemine de Vogel, istri Tuan Charles Fortune,  dan Julius Chorlotte de Vogel. Artinya pabrik itu memang milik swasta, seiring berlakunya Kapitalisme di ‘Hindia Belanda’ yang mengiringi Undang-undang Gula tersebut.  Pada waktu beroperasi yang waktunya sekitar 4-5 bulan dalam setahun, asap selalu ngelun (membubung), keluar dari cerobong tersebut. Kami menyebut bulan-bulan operasi pabrik gula yang tak setahun penuh karena usia panen tebu itu sebagai ‘musim giling’.

Bagi saya dan teman-teman segenerasi, pabrik gula itu memiliki arti sangat penting. Di saat musim giling, ada banyak ‘permainan’ bisa dilakukan. Sepulang sekolah, kadang tak perlu pulang ke rumah dulu untuk ganti baju, karena seingat saya kami hanya berseragam pada hari Senin. Berombongan, kami berjalan kaki menyambangi area pabrik. Biasanya masing-masing kami berbekal sepotong dua paku besar (waktu itu kami menyebutnya paku rarong).

Sambil menunggu kereta tebu—lokomotif hitam besar dengan serenceng gotrok atau gerbong terbukanya–datang, kami letakkan paku-paku itu melintang di atas rel. Biasanya agar tak langsung ‘loncat’ tergilas roda-roda besi kereta, paku itu kami ikat ke potongan bambu yang ditancapkan di sisi rel. Dengan berat kereta (saat itu orang-orang menyebutnya Setum, mungkin dari Stoom) apalagi ditambah sekian gotrok penuh tumpukan batang tebu, paku-paku itu pun tipis tergilas. Itulah yang kemudian kami asah dengan asahan batu, dan menjadi pisau pribadi kami masing-masing! 

Alhasil, sejak kanak-kanak pun kami sudah akrab dengan senjata tajam: pisau. Pisau-pisau sederhana itu menemani peralatan lainnya yang juga akrab bagi kami anak-anak: golok Si Cepot, golok kecil bulat, untuk membantu orang tua mencari kayu bakar di hutan kecil di daerah kami. 

Tapi bukan hanya itu permainan kami. Datangnya setum dan gotroknya tak hanya menggembirakan karena artinya proses pengerjaan ‘pisau’ kami berjalan. Kami juga terlatih membetot tebu dari gotrok. Bukan sebatang dua batang biasanya. Ada yang begitu ahli hingga dia merasa tak cukup membetot dari gotrok yang berjalan. Ia akan meloncat memanjat gotrok, lalu menurunkan satu dua ikatan besar tebu itu ke tanah. Meski kecepatan setum jauh dari laju commuter line di Jabodetabek, cara itu tetap saja berbahaya dan riskan. 

Yang paling membuat kami gembira, manakala mendapatkan tebu Markonah. Tebu jenis itu tak pernah saya temukan lagi sejak 1980-an, manakala sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) digalakan Orde Baru. Markonah adalah tebu yang besar—besarnya lebih dari pergelangan tangan orang dewasa, gampang dipites (dipotong) dengan tangan, dan airnya–yang sangat manis– pun melimpah. Pokoknya, setahu saya tak ada yang menandingi tebu Markonah. Kami biasanya makan tebu tanpa alat apa pun! Untuk mengupasnya, hanya perlu gigi geligi terlatih. Kalau  membayangkan kehebatan kami menggares tebu saat itu, tak jarang saya saat ini langsung merasa ngilu.

‘Musuh’ kami dalam permainan yang melibatkan Pabrik Gula Kadipaten itu tak lain adalah Kape. Bukan ‘Kape’ sebagaimana istilah Aceh yang berarti Kafir. Ini sih KP singkatan dari Keamanan Pabrik. Ada seorang Kape yang paling kami takuti saat itu. Namanya Pak Darma. Ayah teman sekelas saya saat SD; Asep Darmo. Meski tanpa kumis laiknya petugas keamanan saat itu, Pak Darma sangat ditakuti karena tak pernah menyerah jika mengejar. Tak jarang satu dua anak kena tertangkap dikejarnya. Lumayan ngeri kalau kena tangkap. Tidak pernah diproses aneh-aneh sih. Hanya,  dicubit atau dijewer telinga oleh Pak Darma pasti ingatnya lama. 

Biasanya musim giling diawali dengan pesta Badirian, atau pesta untuk menandai pemotongan tebu pertama. Pesta diawali ritual mengarak Panganten Tiwu (Pengantin Tebu). Biasanya yang dijadikan Panganten Tiwu itu tebu jenis Markonah tadi. Tebu yang jadi penganten adalah tebu yang pertama kali ditebang (Tiwu Indung), didahului pembacaan sekian banyak mantera dan doa-doa. Batang tebu yang dipotong kira-kira 29 batang banyaknya, dibagi menjadi dua ikatan. Ikatan pertama didandani laiknya pengantin perempuan, ikatan lainnya menjadi pengantin pria. Yang pria dipakaikan kemeja kampret, celana pangsi dan ikat kepala, seperti urang Sunda di masa lalu. Yang perempuan pun sama, berbaju kebaya baru dengan kain sinjang (jarik) untuk bawahan. Sanggul pun biasanya dipakaikan. 

Dua ‘sejoli’ itu kemudian diarak di hari pertama Badirian, dengan iring-iringan panjang, lengkap dengan segala macam bunyi-bunyian: kendang pencak, calung, reog dan dogdog. Bahkan ada kuda renggong atau kuda yang pandai menari meningkahi tetabuhan. Iring-iringan mengular, ditambahi peserta anak-anak yang biasanya tak mau hanya pasif menonton di pinggir jalan.

Pesta itu pada zaman saya kanak-kanak (pertengahan 1970-an hingga 1980-an) berlangsung sekitar tujuh hari tujuh malam. Nenek saya bilang, di masa mudanya Badirian bahkan bisa sampai dua pekan. Setiap sore dan malam bergiliran tampil aneka kesenian, mulai dari calung, angklung, ketuk tilu (disebut jaipong kemudian), kendang pencak, wayang kulit dan wayang golek, reog, sandiwara, sirkus sederhana, tong setan, sampai komodi putar saat zaman kian modern.

Seringkali ditampilkan pula olahraga rakyat yang disukai zaman itu, seperti ujungan (gulat tradisional Sunda), sampyong (olahraga saling pukul kaki dengan tongkat rotan), atau maenpo peupeuhan (adu tanding pencak silat satu lawan satu). Kabarnya, ayah saya adalah salah seorang jago sampyong di masa mudanya. Dengan demikian, secara tak langsung Badirian menjadi salah satu tradisi yang melestarikan kesenian dan olahraga tradisional saat itu. Apalagi waktu Badirian di sekitar sepuluh pabrik gula di Majalengka itu tak pernah bersamaan. Selalu ada perbedaan waktu, meski kadang hanya dalam ukuran pekan. Alhasil, kelompok-kelompok kesenian itu bisa hidup dari  ngamen satu ke lain Badirian. [  ]