Kanal

Ironi Utang Kita: Gali Lobang, Tutup Jurang

“Semua politikus sama. Mereka berjanji membangun jembatan, meski tidak ada sungai.” — Nikita Krushchev (bekas PM Uni Soviet, meninggal dunia 1971)

Agustus 2014. Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan pasangan Jokowi – Jusuf Kalla memenangi kontestasi Pilpres 2014. Tinggal menghitung hari Indonesia akan punya presiden baru. Presiden terpilih Joko Widodo, yang saat itu masih menjadi Gubernur Jakarta, tetap berkantor di Balaikota Jakarta. Suasana Balaikota selalu sesak dengan puluhan awak media. Maklum, saat itu Jokowi menjadi ‘media darling’. Semua pernyataan yang keluar dari bibir Jokowi akan menghiasi media arus utama di Tanah Air.

Banyak tema yang diberondongkan wartawan kepada Jokowi. Salah satunya soal isu utang negara sebagai sumber pembiayaan APBN. Sebab dalam janji kampanye, pria asal Solo itu selalu menggembar-gemborkan soal infrastruktur. Jokowi ketika itu kembali menegaskan pemerintahan yang dia pimpin tak akan menambah utang untuk memenuhi kebutuhan belanja negara. Caranya dengan melakukan pembekuan anggaran.”Ya penggunaan APBN itu secara efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu ngutang,” ujar Jokowi ketika itu, di Balai Kota DKI Jakarta Rabu (20/8/2014).

Awak media memang gencar mengklarifikasi soal janji kampanye. Sebab secara resmi team pemenangan Jokowi – Jusuf Kalla berulang kali menyampaikan soal janji untuk tak menambah utang negara. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo menyatakan Jokowi – Jusuf Kalla secara tegas akan menolak penambahan utang luar negeri baru apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden di periode 2014-2019. Hal ini pun tertuang dalam visi misi Jokowi-JK.

Menurutnya, Jokowi-JK mempunyai visi misi untuk menjalankan sejumlah program di bidang ekonomi dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Program tersebut, berharap dapat direalisasikan secepatnya jika resmi memimpin negara ini. “Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” ujar Tjahjo saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (3/6/2014).

Lebih jauh kata Tjahjo, Jokowi-JK akan menggenjot pembiayaan untuk program-program ekonomi, seperti pembangunan jalan, infrastruktur laut, bandara dan sebagainya dengan cara memaksimalkan penerimaan negara. Caranya? Menaikan penerimaan dari pajak, mengoptimalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan terus membuka pintu investasi lokal maupun asing.

Tapi lidah memang tak bertulang. Tahun pertama berkuasa, utang Pemerintahan Jokowi merangkak naik. Secara resmi hingga akhir 2015 utang pemerintah mencapai Rp3.089 triliun setara 223,2 miliar dollar AS, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 27 persen. Padahal, tahun 2014 utang pemerintah hanya tercatat sebesar Rp2.608 triliun atau setara dengan 209,7 dollar AS, dengan rasio terhadap PDB 24,7 persen. Kementerian Keuangan beralasan pertumbuhan utang itu sejalan dengan peningkatan di berbagai pos belanja infrastruktur. Sedangkan untuk realisasi belanja negara akhir 2015 sebesar Rp1.810 triliun. Jumlah utang tersebut dipergunakan untuk belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp724,3 triliun.

Belanja Non K/L sebesar Rp462,7 triliun, transfer ke daerah dan dana desa Rp623 triliun. Selain itu terdapat pengeluaran pembiayaan untuk Penyertaan Modal Negara ke BUMN sebesar Rp70,4 triliun.

Mengapa Jokowi balik badan soal janji untuk tak menambah utang negara? Dalam jejak digital yang akan tercatat hingga kiamat tiba, sebetulnya ada janj-janji lainnya yang belum direalisasikan hingga kini — sebut saja, misal: buyback Indosat, tak impor pangan (untuk kedaulatan pangan), mempersulit investasi asing dan tak akan bagi-bagi kursi menteri. Tapi bisa jadi sebetulnya Jokowi tak sepenuhnya keliru. Kita, segerombolan rakyat jelata, yang terlalu naif memaknai janji-janji kampanye seorang capres. Ada adagium terkenal yang dilontarkan Charles de Gaulle, bekas Presiden Prancis (1959 – 1969) yang fenomenal itu,”Politikus tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya.”

Dan kini, pada periode kedua Pemerintahan Presiden Jokowi, utang pemerintah terus membengkak. Pada Juni 2022 tercatat utang pemerintah Rp7.123,6 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto atau debt to GDP per Juni 2022 terkerek menjadi 39,56 persen. Utang pemerintah dibagi menjadi dua jenis, yakni surat berharga negara sebesar Rp6.301,8 triliun (88,5 persen) dan pinjaman sebesar Rp821,7 triliun (11,5 persen). Sementara itu, untuk total pinjaman hingga 30 Juni 2022 tercatat sebesar Rp821,7 triliun yang dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain pinjaman dalam negeri Rp14,7 triliun dan pinjaman luar negeri Rp806,3 triliun. Besarnya utang ini, terutama dalam denominasi asing, yang menekan nilai tukar rupiah. Saat ini Dollar Amerika bertengger di kisaran Rp15.000, jauh lebih tinggi dibanding saat pertama kali Jokowi menjadi presiden pada 20 Oktober 2014. Ketika itu nilai tukar rupiah masih di level 12.000 per dollar Amerika.

Namun pemerintah tampaknya masih cukup percaya diri. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah dapat menjaga level rasio utang pada 40,7% terhadap PDB atau di dalam batas aman sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan rasio utang negara-negara lainnya. “Level rasio utang pada 40,7% dari PDB sebuah rasio yang relatif sangat moderat rendah dibandingkan banyak negara-negara baik di lingkungan ASEAN, G20 dan emerging country lainnya,” ujarnya. Pemerintah tampaknya akan terus menambah utang untuk membiayai beberapa proyek ambisius, seperti Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dan proyek Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur.

Apa dampak utang itu? Ekonom senior Rizal Ramli mengungkap beban cicilan dan bunga utang yang dibayarkan tiap tahunnya kelewat tinggi. Untuk beban cicilan saja, pemerintah harus menyiapkan Rp400 triliun per tahun, sementara beban bunga mencapai Rp405 triliun per tahun. Artinya, pemerintah harus menyiapkan Rp805 triliun setiap tahun. “Untuk bayar bunganya saja masih pinjam. Itu bukan gali lobang tutup lobang, tapi gali lobang tutup jurang,” ujar Rizal Ramli.

Rizal Ramli mengingatkan krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka setelah negara tersebut menyatakan bangkrut lantaran gagal membayar utang luar negeri. Pemimpin Sri Lanka ugal-ugalan membangun proyek infrastruktur yang dibiayai oleh China. “Misalnya sebagai hadiah untuk Presidennya di kampungnya Rajapaksa, dibikinlah airport besar. Begitu selesai, nggak ada isinya. Ya, jadi ambisi untuk loncat dengan cepat, dengan bangun infrastruktur dibiayai oleh China. Dan, akhirnya tidak mampu bayar. Kolaps,” kata Rizal.

Apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti Sri Lanka?

Setiyardi Budiono

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button