Kanal

Abudzar al-Ghiffari, Lidah Lurus Seorang Muslim Revolusioner [1]

Pada waktu akan meninggal, Nabi memanggil Abudzar dan sambil memeluknya berkata: “Abudzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nantinya.” Ucapan Nabi ternyata benar, Abudzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.

Ekonomi Islam terutama didasarkan pada prinsip-prinsip egaliter.  Tujuannya untuk mempertahankan persamaan antarmanusia melalui distribusi kekayaan secara merata, sehingga menghilangkan perbedaan antara si kaya dan si miskin. Islam telah menghancurkan sampai ke akar-akarnya prinsip yang memungkinkan si kaya semakin kaya dan si miskin kian miskin, yang menjadi ciri negara-negara kapitalis dan imperialis sejak dahulu kala. Islam menghalangi terjadinya eksploitasi si kaya terhadap si miskin.

Islam telah mengembangkan prinsip ekonominya untuk mengurangi berbagai perbedaan tersebut. Melalui zakat, orang kaya dibebani pajak yang tinggi untuk membantu orang yang miskin. Sistem perpajakan ini merupakan salah satu prinsip pokok Islam yang tidak boleh dilanggar setiap Muslimin sejati. Pelarangan pemungutan “bunga uang” dan keharusan membayar zakat setiap tahun merupakan pajak wajib yang dikenakan terhadap pendapatan. Salah satu dari dasar Islam ini merupakan langkah efektif untuk menghindari penumpukan kekayaan. Salah satu ciri seorang mukmin, yang disebutkan al-Ouran ialah distribusi kekayaan seseorang kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan. Nabi menyatakan, jika kaum Muslimin benar-benar membayar zakatnya dengan jujur, akan tiba waktunya ketika tidak terdapat lagi orang miskin penerima zakat.

Pada masa awal perkembangannya, Islam telah melahirkan sejumlah eksponen yang giat memperjuangkan prinsip egaliter. Mereka mengorbankan segala yang mereka miliki demi Allah. Banyak contoh kedermawanan dan kebajikan yang tiada taranya dapat ditemui pada diri para sahabat Nabi. Tapi tokoh paling menonjol dalam pendistribusian kekayaan pribadinya adalah Abudzar al-Ghiffari.

Ia lahir dari keluarga perampok Ghiffar, yang tinggal dekat jalur kafilah Mekkah-Syria. Tadinya ia bernama Jundab, tapi kemudian dikenal sebagai Abudzar, meneruskan kariernya sebagai pemimpin besar perampok yang melakukan teror di negeri-negeri di sekitarnya.

Tapi Jundab pada dasarnya memiliki hati yang baik. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan oleh serangannya kemudian menjadi suatu titik balik dalam perjalanan hidupnya. Ia bukan saja sangat menyesali segala perbuatan jahatnya, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.

Titik balik kehidupan Abuzar ini sangat penting, karena Islam menerima anugerah, salah seorang tokoh revolusioner yang paling jujur.

Bersama ibu dan saudara lelakinya Anis, ia hijrah ke Nejed Atas. Di sini menetap salah seorang paman dari pihak ibunya. Inilah hijrah Abudzar yang pertama dalam mencari kebenaran dan kebajikan. Tapi tempat ini pun dia tidak bisa tinggal lama. Ide-idenya yang revolusioner juga menimbulkar kebencian orang-orang sesuku, yang kemudian mengadukannya kepada sang paman. Kini giliran rumah pamannya yang terpaksa ia tinggalkan mengungsi ke sebuah kampung dekat Mekkah.

Bahkan sebelum masuk agama Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata,”Saya sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi Besar Islam.”

Saudara lelakinyalah, Anis, yang pulang dari Mekkah membawa kabar datangnya fajar baru: agama Islam. Pada waktu itu ajaran Nabi Muhammad SAW telah mulai mengguncangkan Mekkah dan membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab.

Mendengar hal itu Abudzar, yang telah lama merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasul Allah dan ingin bertemu dengan beliau. Pergi ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi Ka’bah, sebulan lebih lamanya ia mempelajari dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.

Ka’bah waktu itu masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi juga datang ke sana, untuk bersembahyang. Pada akhirnya, seperti yang diinginkannya, Abudzar mendapat kesempatan bertemu dengan Nabi. Di sana dan pada saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.

Mengenyampingkan segala risiko, Abuzar secara terbuka memimpin sembahyang dan berkhotbah tentang agama Islam di Ka’bah. Benar saja, pada suatu hari seorang penyembah berhala suku Quraisy menyerangnya dan untung ia dapat diselamatkan oleh Abbas, paman Nabi. Abbas mengingatkan si penyerang bahwa Abudzar anggota penting suku Ghiffar yang mendiami jalur perdagangan mereka ke Syria. Salah-salah lalu lintas perdagangan mereka bisa terancam. Keterangan itu sementara dapat menenangkan mereka.

Sejak saat itu Abudzar membaktikan dirinya kepada agama Islam dan kepada pendirinya. Ia segera mendapat tempat, bahkan termasuk yang terdekat dan terpercaya di antara para sahabat Nabi, yang sempat menimbulkan iri.

Abudzar ditugaskan Nabi mengajarkan agama Islam di kalangan sukunya sendiri. Dia pulang ke kampung halamannya dan sangat berhasil dalam tugasnya itu. Bukan hanya ibu dan saudara lelakinya Anis, tetapi hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diislamkannya. Dia tercatat sebagai salah seorang penyiar agama Islam yang pertama dan terkemuka.

Nabi sangat menghargainya. Ketika kemudian dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam “Perang Pakaian Compang-Camping”, dia diangkat sebagai Imam dan administrator kota itu. Pada waktu akan meninggal, Nabi memanggil Abudzar dan sambil memeluknya berkata: “Abudzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nantinya.”

Ucapan Nabi ternyata benar, Abudzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.

Abudzar dikenal gigih dalam mempertahankan prinsip egaliter Islam. Kesetiaannya pada dan penafsirannya mengenai “ayat-kanz” (tentang pemusatan kekayaan) menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga. Ayat ini dalam “Surah Taubah” dalam al-Quran berbunyi:

“Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah engkau himpun itu”. [Bersambung—dari : “Hundred Great Muslims”, Kh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan, 1984]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button