Agar Ekonomi Berkualitas, BI Siapkan Insentif Agar Bank tak Pelit Guyur Kredit Sektor Padat Karya


Bank Indonesia (BI) tak pernah berhenti mendorong bank agar rajin menyalurkan kredit untuk sektor usaha. Disiapkan insentif menarik bagi perbankan yang gencar memberikan kredit, ketimbang borong surat utang. 

“Kita ingin pertumbuhan ekonomi menjadi lebih berkualitas, menyejahterakan. Ini yang ke depan kita evaluate. Kita mapping, sebagian besar sudah labour intensive, tinggal bagaimana kita optimalkan,” kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M Juhro, Jakarta, Selasa (24/9/2024).

Dia bilang, selama ini BI menyediakan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) untuk mengungkit pertumbuhan kredit demi menggerakkan aktivitas ekonomi. Ke depan, ruang lingkup insentif KLM diperluas, menyasar sektor padat karya.  

“Selama ini hanya untuk sektor hilirisasi minerba, perumahan, pariwisata, otomotif, perdagangan hingga jasa sosial,” ungkapnya.

Insentif itu, lanjutnya, bisa berupa pemotongan setoran Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah yang wajib disetorkan secara rata-rata ke BI. Di mana, besaran insentif terbesar 4 persen.

Solikin bilang, dampak positif dari insentif KLM sudah terlihat dari kinerja penyaluran kredit nasional yang konsisten tumbuh sejak Januari 2024 di atas 10 persen.  “Kredit tumbuh 11,4 persen. Ini konsisten sejak awal tahun, tumbuhnya di atas 10 persen. Jadi ini menunjukkan ekonomi dari sisi pembiayaan, masih berjalan bagus,” ungkap Solikin.

Data BI menunjukkan, capaian insentif KLM sebesar 3,44 persen atau setara Rp256,06 triliun pada September 2024. Secara sektoral, insentif KLM utamanya dikontribusikan dari sektor hilirisasi dan inklusif, atau rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM).

Realisasi KLM per kelompok bank, yakni Bank Pembangunan Daerah (BPD) senilai Rp24,35 triliun, dan rasio insentifnya di angka 3,17 persen; bank BUMN Rp118,56 triliun dengan rasio insentif 3,83 persen; bank umum swasta nasional (BUSN) Rp110,54 triliun dengan rasio insentif 3,23 persen; dan kantor cabang bank asing (KCBA) Rp2,61 triliun dengan rasio insentif 1,61 persen.

Namun, diakui Solikin, masih ada beberapa subsektor yang tidak dapat tercakup, yaitu sektor dengan tingkat risiko kredit yang tinggi, seperti tekstil dan konstruksi. Serta kredit nonperumahan untuk bangunan sipil (konstruksi jalan tol, bangunan, jembatan, dan konstruksi lain yang terkait pemerintah), karena mayoritas merupakan proyek yang dijalankan BUMN karya dengan kinerja kurang baik.

“Kita akan evaluasi, mana yang kurang. Dulu kita hanya bicara sektor prioritas saja, sektor yang slow driver dan sebagainya. Nanti sektor yang sudah dapat insentif banyak, kita arahkan ke yang lain. Syaratnya berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi, daya ungkit, sumber pertumbuhan ekonomi baru,” pungkasnya.