Pemerintahan Prabowo-Gibran yang resmi dilantik pada 20 Oktober 2024, sebaiknya jangan pernah remehkan masyakarakat kelas menengah. Karena kelompok ini pegang kunci sukses setoran pajak. Ketika ada masalah maka setoran pajak bakal terganggu.
Dalam Seri Analisis Makroekonomi Indonesia Economic Outlook Kuartal III-2024 yang disusun Tim Kajian Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI, membeberkan peran penting kelas menengah terhadap penerimaan pajak. Khususnya dari pajak penghasilan, pajak properti, hingga pajak kendaraan bermotor.
“Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara, menyumbang 50,7% dari penerimaan pajak,” dikutip dari kajian yang disusun Jahen F Rezki, Teuku Riefky, Faradina Alifia Maizar, Muhammad Adriansyah, dan Difa Fitriani di Jakarta Kamis (8/8/2024).
Kontribusi dari kelas menengah, menurut tim LPEM FEB UI, sangat penting untuk mendanai program pembangunan publik, termasuk investasi infrastruktur dan sumber daya manusia. Untuk mendukung investasi tersebut, sangat penting untuk menjaga daya beli, baik kelas menengah maupun calon kelas menengah.
“Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka mungkin berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan,” tulis tim LPEM FEB UI.
Ironisnya, meski kontribusi terhadap pajak cukup jumbo, LPEM FEB UI mencatat, jumlah kelas menengah di Indonesia menyusut jumlahnya. Berimplikasi langsung pada penerimaan pajak yang kini kian merosot.
Pada 2023, kelas menengah di Indonesia mencakup sekitar 52 juta jiwa dan mewakili 18,8 persen dari total jumlah penduduk. Namun, jumlah penduduk kelas menengah baru-baru ini mengalami penurunan.
Antara 2014 hingga 2018, jumlah penduduk kelas menengah bertambah hingga lebih dari 21 juta jiwa, meningkat dari 39 juta jiwa menjadi 60 juta jiwa. Atau proporsi masing-masing meningkat dari 15,6 persen menjadi 23 persen.
Namun, sejak saat itu, penduduk kelas menengah mengalami penurunan hingga lebih dari 8,5 juta jiwa. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk kelas menengah hanya mencakup 52 juta jiwa dengan proporsi populasi sekitar 18,8 persen pada saat ini.
Kelas menengah didefinisikan sebagai kelas yang terdiri dari mereka yang memiliki peluang kurang dari 10 persen menjadi miskin alias rentan miskin di masa depan. Itu berdasarkan konsumsi saat ini.
Selain jumlahnya yang terus menyusut, konsumsi kelas menengah juga LPEM FEB UI anggap terus merosot, seiring dengan semakin lemahnya daya beli mereka. Permasalahan ini pun berdampak langsung terhadap penerimaan negara karena kontribusi mereka yang besar terhadap total penerimaan negara.
Pada 2023, total konsumsi dari kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah adalah 82,3 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Terdiri dari porsi calon kelas menengah sebesar 45,5 persen, dan kelas menengah menyumbang 36,8 persen.
Namun, tren mereka mengalami perbedaan dalam lima tahun terakhir. Porsi konsumsi calon kelas menengah meningkat dari 42,4 persen pada 2018. Sebaliknya, porsi konsumsi kelas menengah turun dari 41,9 persen pada periode yang sama.
“Penurunan ini menunjukkan pengurangan konsumsi kelas menengah, yang mencerminkan potensi penurunan daya beli mereka,” tulis tim kajian LPEM FEB UI dalam risetnya.
Dengan catatan itu, tak heran maka penerimaan pajak pemerintah saat ini merosot. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan hingga 30 Juni 2024 atau semester I-2024, penerimaan pajak hanya Rp893,8 triliun.
Atau turun 7,9 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, sebesar Rp970,2 triliun. Penerimaan pajak pada paruh pertama tahun ini, baru 44,9 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Meski begitu, Sri Mulyani menganggap, penerimaan pajak yang turun itu karena harga-harga komoditas yang anjlok atau mengalami normalisasi, sehingga setoran pajak penghasilan atau Pajak Penghasilan (PPh) badan ikut merosot. Di antaranya adalah harga minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara.
“Dari sisi pajak Rp893,8 triliun terutama kalau kita lihat levelnya sebetulnya cukup comparable ini disamping penerimaan yang berasal dari komoditas base mengalami penurunan yang sangat tajam seperti yang kami sampaikan dari harga CPO, batu bara, dan beberapa harga komoditas lainnya,” ucap Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7/2024).