News

Ahli Kubu Kuat Ma’ruf Dicecar Meeting of Mind Pembunuhan Yosua

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempertanyakan dan menguji pemahaman ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Arif Setiawan yang dihadirkan sebagai saksi ahli meringankan terdakwa Kuat Ma’ruf dalam sidang perkara pembunuhan berencana Brigadir J.

Hal itu berlangsung ketika Arif membeberkan tentang meeting of mind atau kesepahaman pikiran para terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Sebab, hal tersebut dapat berpeluang menjerat pada terdakwa sesuai dengan pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Bagaimana cara membuktikan meeting of mind? Untuk penasihat hukum, penuntut umum, dan hakim, bagaimana menentukan meeting of mind dan cara membuktikannya? Apakah dengan melihat dan mendengar pengakuan terdakwa saja atau melakukan penilaian dalam rangkaian peristiwa itu? Ini ada meeting of mind atau tidak yang berhubungan,” tanya Jaksa Shandy di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jalan Ampera Raya, Jaksel, Senin (2/1/2023).

“Satu, meeting of mind dalam bentuk sisi luar perbuatannya apa yang dilakukan. Kedua, kesepahaman berkaitan sikap batinnya. Bentuk perbuatannya kesengajaan ada hubungan sikap batin dan perbuatan. Meeting of mind, mesti harus ke yang sama. Itu tak bisa, mau tak mau apa yang sebenarnya pada saat itu apa yang saat itu dipikirkan pelaku. Pada diri pelaku apa yang dia ketahui. Mau tak mau,” jawab Arif.

Kemudian, Jaksa Shandy kembali mempertanyakan pembuktian meeting of mind apakah hanya bergantung pada pengakuan terdakwa atau membutuhkan alat bukti lain dalam menguak kasus pidana.

“Katakan pelaku tak mengakui. Lalu tools-nya apa? Atau harus menggunakan hal lain. Hal ini bersesuaian dengan peristiwa lain yang menyertai? Penilaian lainnya apakah hanya mendengar pengakuan?” tanya jaksa Shandy.

“Instrumen pembuktian tak hanya pengakuan, alat bukti lain bisa menjelaskan keterangan. Sejauh mana pengetahuannya, penginsyafannya. Maka, bisa melalui pengakuan terdakwa. Pengakuan itu baru satu, yaitu keterangan terdakwa, diperlukan alat bukti lain,” jawab Arif.

Lebih lanjut, Jaksa Shandy mempertegas pertanyaan dengan wewenang penyidik, jaksa, hingga hakim untuk menilai pembuktian meeting of mind terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J.

“Kalau penilaian ada pada hakim, bukan jaksa,” sahut Arif.

“Iya, kan tugas jaksa menyajikan, hakim yang menilai. Iya, artinya menilai dari satu rangkaian perbuatan berdasarkan alat bukti lain, bisa?” cecar Shandy.

“Bukti itu ada direct evidence dan ada indirect evidence. Tapi harus yang direct,” ungkap Arif.

Keabsahan Bukti

Jawaban Arif kembali memancing jaksa Shandy untuk melayangkan pertanyaan, terutama dalam menakar keabsahan bukti secara tidak langsung atau indirect evidence. “Sah enggak itu bukti indirect?” tanya Shandy.

“Bahwa dalam KUHAP, jalan keluarnya saksi bisa menggunakan alat bukti lain, yang hanya satu. Karena itu unsur penilaiannya itu (berada di tangan) hakim,” jelas Arif.

Shandy kemudian merujuk pada pasal 185 ayat 3 tentang keterangan saksi tunggal yang sah, jika didukung alat bukti yang lain. Untuk itu, ia melempar pertanyaan apakah bisa keterangan saksi tunggal ditopang dengan keterangan saksi lainnya. Sebab, keterangan saksi merupakan salah satu bagian dari alat bukti yang tercantum dalam KUHP.

“Hanya pandangan 185 ayat 3. Tapi dalam praktik, itu tak hanya peranan saksi, tapi bisa berantai dengan orang lainnya kan?” kata Jaksa Shandy.

“Konsekuensi sistem pembuktian dalam KUHAP jenis alat bukti itu limitatif. UU jenis alat bukti yang dipakai. Kedua, disebut saksi yang hanya satu, asasnya apakah itu alat bukti lain untuk menguatkan keterangan saksi. Dibatasi KUHAP hanya untuk melengkapi keterangan saksi,” ujar Arif.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button