Market

Ahli Lihat Kemungkinan Oligopoli dalam Perkara Kartel Migor di KPPU

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diingatkan untuk berhati-hati dalam menyimpulkan adanya kartel terkait kenaikan harga minyak goreng (migor) tahun lalu. Keseragaman harga (price parallelism) yang terjadi dinilai tidak serta merta membuktikan adanya kartel.

“Hati-hati dalam mengartikulasikan price parallelism, karena bisa saja dibentuk oleh interdependensi (saling ketergantungan) pelaku usaha di pasar oligopoli,” kata Ahli Ekonomi Ine Minara Ruky saat memberi keterangan dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng yang digelar KPPU secara daring di Jakarta, Jumat (24/2/2023).

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (26/2/2023), Ine menjelaskan, interdependensi pasar oligopoli sangat tinggi. Setiap keputusan yang diambil perusahan, berdampak pada perusahaan yang lain.

Keuntungan dan kerugian, sambung dia, juga ditentukan strategi input-output perusahaan lain. “Jadi, saling mengikuti, saling menyesuaikan harga itu wajar, selama tidak dilakukan melalui kesepakatan,” papar Ine.

Ia juga mengingatkan, pasar oligopoli (pasar dengan sedikit pelaku) bukan berarti ada kolusi atau kartel. “Oligopoli itu wajar, karena pada kenyataannya memang ada barriers to entry dan barriers to exit, dan informasi di pasar juga tidak perfect,” timpal Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini.

Ia pun menilai tidak mungkin ada kesepakatan kartel di antara produsen ketika terjadi kenaikan harga yang diikuti dengan kelangkaan minyak goreng pada tahun lalu. Hal ini disebabkan kartel tidak mungkin efektif dilakukan di saat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu singkat untuk mengatasi masalah minyak goreng.

“Berdasarkan konsepnya, kartel biasanya dilakukan di tengah kondisi pasar yang stabil. Sementara saat itu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu yang singkat. Melakukan kesepakatan kartel pada saat itu justru tidak rasional. Setiap kebijakan pasti akan mengubah perilaku pelaku usaha dan perhitungan cost yang harus dikeluarkan untuk melakukan kartel,” ujar Ine.

Oleh karena itu, sambung dia, kebijakan pemerintah yang terjadi saat itu harus dianalisis karena perilaku pelaku usaha tidak steril dari lingkungan kebijakan pemerintah. Di samping itu, motivasi pelaku usaha melakukan kartel adalah mendapatkan keuntungan jangka panjang.

Apabila kartel dilakukan dalam jangka pendek, maka probabilitas efektivitasnya menjadi kecil. Begitu juga, keuntungannya akan lebih kecil dan biaya yang harus dikeluarkan menjadi tidak rasional.

“Misalnya, kalau ada kartel harga dalam dua atau tiga bulan, kemudian di tengah-tengah berhenti, karena ada structural break berupa kebijakan harga dari pemerintah. Namun, beberapa bulan kemudian kebijakan dicabut dan terjadi lagi kartel. Menurut saya itu tidak masuk akal. Pelaku usaha pasti rasional. Apabila ingin melakukan kartel biasanya jangka panjang, tidak sepotong-sepotong begitu,” papar Ine.

Selain itu, lanjut Ine, keberhasilan kartel juga sangat bergantung berapa banyak pihak yang terlibat. Kartel semakin tidak efektif dengan semakin banyaknya peserta yang ikut dalam kesepakatan.

Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Para Terlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, serta membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.

Ine menambahkan, price parallelism memang sering digunakan sebagai indikasi adanya bukti tidak langsung (circumstantial/indirect evidence) untuk menduga adanya kesepakatan kartel. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan bukti langsung (hard evidence) adanya kesepakatan, misalnya surat perjanjian dan sebagainya.

Namun, otoritas persaingan usaha tidak boleh hanya berhenti pada price parallelism. Bisa saja keseragaman harga itu terjadi karena persaingan yang sangat ketat, atau ada shock pada biaya input yang dihadapi semua produsen yang mana input tersebut memiliki kontribusi tinggi dalam total cost.

Pembuktian dengan indirect evidence seperti price parallelism itu, menurutnya, hampir semuanya menggunakan analisa ekonomi. Tahap pertama, harus dibuktikan ada atau tidak price parallelism. Tahap kedua, menganalisis faktor-faktor yang memperkuat dugaan adanya kesepakatan dengan menggunakan plus factor sehingga tidak ada penjelasan rasional lain yang menyebabkan price parallelism tersebut.

“Jadi, harus melibatkan dua langkah, yaitu menemukan perilaku paralel dan melakukan analisa plus factor,” imbuhnya tandas.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button