AI Makin Pintar, Pengembang Game Jadi Panik dan Cemas


Sebuah survei terbaru dari Game Developers Conference (GDC) mengungkapkan bahwa hampir satu dari tiga pengembang video game memiliki pandangan negatif terhadap kecerdasan buatan (AI). Angka ini naik drastis dari hanya 18% pada tahun lalu, menunjukkan adanya peningkatan kekhawatiran di kalangan pengembang terhadap dampak AI dalam industri ini.

Survei ini tidak hanya memotret persepsi pengembang game, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan global tentang apakah AI akan menggantikan pekerjaan manusia, sebuah kekhawatiran yang semakin meluas bahkan di luar industri teknologi.

AI Semakin Meresap, Sentimen Negatif Pengembang Meningkat

Lebih dari separuh pengembang yang disurvei menyebut perusahaan mereka sudah menggunakan alat berbasis AI, membuktikan bagaimana teknologi ini dengan cepat mengakar di industri game. Namun, sentimen terhadap AI justru memburuk. Jika tahun lalu 21% pengembang percaya AI berdampak positif pada pembuatan game, tahun ini angkanya turun menjadi hanya 13%, menurut laporan Wired.

Salah satu penyebab perubahan ini mungkin terkait dengan fakta bahwa 10% pengembang kehilangan pekerjaan dalam setahun terakhir. Meskipun tidak semua pemutusan hubungan kerja ini terkait AI, kemampuan teknologi generatif untuk secara otomatis membuat kode, teks, musik, video, dan aset kreatif lainnya menimbulkan ancaman bagi keterampilan tradisional yang selama ini menjadi inti industri video game.

Kekhawatiran Lain: Hak Kekayaan Intelektual, Konsumsi Energi, dan Bias

Selain risiko pengurangan pekerjaan, survei GDC juga mengungkapkan kekhawatiran lain di kalangan pengembang game:

  • Pencurian Kekayaan Intelektual (IP): AI yang menghasilkan konten mirip karya kreatif manusia menimbulkan pertanyaan tentang orisinalitas dan kepemilikan.
  • Konsumsi Energi: Penggunaan AI yang intensif daya menambah beban terhadap keberlanjutan lingkungan.
  • Kualitas Konten AI: Banyak pengembang menilai hasil AI sering kali tidak memenuhi standar kualitas industri.
  • Bias dalam Model AI: Ketidakadilan yang mungkin muncul dalam hasil AI turut menjadi perhatian.

Portal VentureBeat juga mencatat adanya isu regulasi terkait penggunaan AI di industri game, terutama dalam menjaga etika dan keadilan di tengah perkembangan teknologi.

Perbedaan Usia dan Adopsi AI

Menariknya, survei GDC menunjukkan pola adopsi AI yang berlawanan dengan tren umum. Sebanyak 47% pengembang berusia di atas 55 tahun melaporkan menggunakan alat AI, dibandingkan hanya 28% pengembang berusia 18–34 tahun. Data ini kontras dengan survei lain, seperti laporan dari Gusto dan Google, yang menunjukkan bahwa generasi muda seperti Gen-Z dan Milenial lebih banyak menggunakan AI dalam pekerjaan bisnis mereka.

Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tingkat ketersediaan alat AI untuk tugas tertentu dan bagaimana AI mendukung kebutuhan kreatif yang berbeda di berbagai sektor.

Industri Game: Model untuk Penetrasi AI di Sektor Lain

Industri video game, yang diproyeksikan bernilai USD 193 miliar pada 2033 di pasar AS saja (naik dari USD 62 miliar pada 2024), memiliki pengaruh besar terhadap bagaimana teknologi AI diterima. Jika AI terus menyusup ke tempat kerja melalui dunia game, sektor lain—terutama yang lebih kecil atau kurang teknis—dapat menjadikan pengalaman ini sebagai model untuk adopsi teknologi di masa depan.

Namun, jika survei GDC menjadi indikasi, tantangan dalam menghadapi kecemasan karyawan terhadap AI dan potensi PHK dapat menjadi masalah yang meluas, tidak hanya di industri game tetapi juga di sektor bisnis lainnya.