News

Airlangga, di Antara yang Bergerak dalam Diam

Hingga hari ini, setiap kali sebuah lembaga survei–apa pun namanya–merilis hasil penelitian mereka, publik selalu akan menemui setidaknya lima nama berikut. Posisi mereka seringkali bergantian, tergantung lembaga survei mana yang merilis hasil. Namun kelima nama ini senantiasa ada, menjadi lima nama teratas hasil survei. Mereka adalah Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Agus Harimurty Yudhoyono (AHY) dan Ridwan Kamil.

Ada nama-nama lain setelah kelimanya. Sandiaga Uno, Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, bahkan Tri Risma Harini, sesekali nongol ikut jadi ‘cameo’ yang meramaikan bursa calon. Sedikit sekali, bila tak boleh dikatakan nyaris tak ada, lembaga survei yang menyebut-nyebut para ketua umum partai yang lolos ambang batas parlemen seperti Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar, atau Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Dalam sebuah artikel, situs berita TEMPO bahkan secara menohok memilih judul “Survei Capres 2024: Prabowo, Anies dan Ganjar Teratas, Airlangga Nol Koma”.

Munculnya nama seperti Anies, Ganjar, Ridwan Kamil dan AHY tentu saja harus membuat publik gembira. Setidaknya, dengan usia mereka yang relatif muda, itu berarti kaderisasi tidak sama sekali mampet, meski hal ini terkesan alpa dilakukan parpol. Dari keempat nama tersebut, secara nisbi hanya Ganjar yang bisa diklaim PDIP sebagai kadernya. Anies dan Ridwan Kamil relatif muncul karena upaya dan perjuangan sendiri. Sementara AHY, meski datang dari Partai Demokrat, tampaknya akan banyak yang sepakat bahwa kemunculannya sukar disebut karena adanya kaderisasi yang berjalan baik di partai tersebut.

Persoalannya, euforia publik terhadap nama-nama ‘baru’ itu boleh jadi akan membentur tembok realitas politik yang ada. Katakan, yang pertama, Anies Baswedan. Anies adalah nama yang paling bergaung saat ini sebagai calon pengganti Jokowi yang menurut Konstitusi tak lagi bisa ikut dalam kontestasi presidensi 2024.

Anies, terutama di dunia medsos, adalah nama yang paling bersipongang disebut sebagai calon presiden. Wajar, selain muda dan cerdas, prestasinya sebagai pengemban amanah gubernur DKI Jakarta pun tak bisa dipandang dengan mata sebelah. Apalagi Anies belum tercatat memiliki persoalan yang berhadapan diametral dengan warga. Itu yang membedakannya dengan, katakan saja, Ganjar Pranowo, yang memiliki catatan suram dalam kasus Wadas, misalnya.

Kemunculan mutakhirnya di publik, yakni di Masjid UGM, Yogya, hari itu menyepuh warna medsos, dari Facebook hingga Instagram, dengan gambar, status dan video. Di antara ribuan massa yang menyemut, teriakan “Anies Presiden!” tak lagi tertahankan bergaung dari massa pendukung.

Namun haling dan rintang yang menghadang Anies sangat kasat mata. Posisinya sebagai politisi tanpa partai yang selama ini telah memberinya keuntungan, untuk urusan Pilpres justru menjadi kendala terbesarnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa bagi parpol, momen Pilpres adalah masa-masa memanen. Mereka akan memprioritaskan orang dalam—terlebih lagi ketua umum—untuk berlaga. Menjadi presiden akan membuat partai jadi lokomotif yang bisa menarik seluruh gerbong kepentingan kelompok untuk ikutan.

Bukankah saat ini ‘syaraf keadilan’ kita sebagai warga negara pun tak lagi tergetar manakala mendengar kabar bahwa partai politik mematok sejumlah rupiah sebagai ‘mahar’? Di tengah berlakunya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya pasal 222 yang mensyaratkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen, Anies punya banyak ‘PR’ untuk dikerjakan.

Setidaknya yang terbayang mata awam, ia harus menyediakan sekian banyak ‘mahar’ agar bisa menggandeng partai-terpartai politik untuk mendukungnya. Atau, ia harus bisa menciptakan kondisi yang lebih ramah dan pas dalam aturan main demokrasi dan keadilan. Misalnya, menggalang dukungan publik agar pasal 222 UU No 7 tahun 2017 itu direvisi total. Saat ini pun, UU tersebut bukan tidak digugat via Mahkamah Konstitusi.

Yang masih berproses adalah gugatan enam parpol ‘kecil’, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Keadilan Persatuan (PKP), Partai Bulan Bintang (PBB), Hanura, Perindo, dan Garuda, ke MK. Namun peluangnya belum bisa menerbitkan optimisme. Paling tidak, selama ini MK via ketuanya yang kabarnya kini menjadi ipar Presiden, Anwar Usman, telah menolak enam gugatan berkaitan dengan uji materi UU tersebut.

Enam gugatan itu antara lain diajukan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo; Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan warga sipil.

Artinya, perjuangan Anies sepertinya masih akan panjang.

Ganjar pun punya masalah yang sama, meski ia nyata-nyata politisi kader partai. Persoalan Ganjar, ia masih harus berhadapan dengan benteng kokoh nepotisme—dalam arti netral—yang hidup di PDIP. Bukan hanya internal PDIP, publik pun mafhum bahwa garis keluarga di Partai Banteng sudah pasti lebih memilih untuk mengajukan Puan Maharani, putri mahkota partai, alih-alih Ganjar.

AHY, sang putra mahkota Partai Demokrat, meski jelas akan mendapatkan suara threshold partai tersebut, persoalan yang ia hadapi lebih berat dibanding Anies. Benar ia memiliki 7,8 persen suara Demokrat yang diraih dalam Pemilu 2019 lalu. Tetapi dengan pengalaman kepemimpinan yang masih banyak disangsikan publik, ditambah elektabilitasnya yang sering dipandang masih ‘biasa saja’, jalan yang terbentang di hadapannya sepertinya masih jauh, berliku dengan banyak aral dan rintang.

Merujuk beberapa persoalan di atas, apalagi Ridwan Kamil (RK), tentunya. Untuk menjadi gubernur, RK didukung penuh Partai Nasdem. Tetapi dalam kontestasi presidensial, Nasdem punya lebih banyak calon lain untuk dilirik, didukung–dan tentu saja—sekaligus tempat bergantung.

Nama-nama tersembunyi

Yang menarik, selain nama-nama calon yang hingar bingar disebut orang, ada nama-nama yang jarang disebut tapi potensi mereka dalam tata politik Indonesia saat ini lebih nyata dan riil. Mereka para persona yang ibarat pepatah Latin “fenum habet in cornu” atau banteng dengan jerami di tanduk. Orang yang bisa sangat ‘berbahaya’.

Mungkin saja mereka selama ini dianggap publik tak ada, setidaknya kurang terasa. Bisa karena memang tak ada prestasi yang menyeruak ingatan warga, tetapi bisa juga karena hal lain. Di era informasi dan post-truth saat ini, bukankah kita menyaksikan bahwa ‘prestasi’ kadang—atau lebih sering?– hanya hasil citra yang difabrikasi dan disebarviralkan secara massif.

Artinya, ‘tidak berprestasinya’ seseorang boleh jadi hanya karena ia tidak terliput—atau kurang sering minta diliput—media massa. Bisa jadi pula karena tokoh tersebut merasa bahwa yang berhak mengklaim prestasi yang ditorehkannya adalah atasannya. Itu kemudian membuatnya kurang antusias mengekspos atau bahkan mengklaim semua prestasi yang berada di wilayah dan ruang amanahnya sebagai prestasi pribadinya semata. Dan selalu ada anomali di setiap kondisi. Bahkan di masa ketika semua orang tak malu-malu lancung mengakui semua hal baik sebagai prestasinya sendiri.

Saya melihat paling tidak dua nama memenuhi kriteria ‘berpotensi besar namun kurang dipandang’ tersebut. Puan Maharani tentu saja salah seorang darinya. Puan tak hanya datang dari partai besar pemilik 19,33 persen suara. Ia bahkan putri mahkota ketua umum partai yang masih kuat memegang budaya politik berdasar garis keturunan itu. Artinya, dalam peta politik Indonesia saat ini, kasarnya sendirian pun PDIP bisa ‘petantang-petenteng’ mengusung calon presiden. Tentu saja PDIP tak akan melakukan itu. Tetapi sebagai parpol pemenang Pemilu, di atas kertas ia tak akan kesulitan menggaet dukungan partai lain.

Yang kedua adalah Airlangga Hartarto (AH), ketua umum Partai Golkar. Sebagai tokoh yang sudah digadang-gadang parpol pemenang ketiga Pemilu 2019 yang memiliki suara 12,31 persen namun dengan jumlah kursi lebih banyak dibanding runner-up, Gerindra, AH layak diperhitungkan. Mungkin saja saat ini elektabilitas AH, sebagaimana hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) masih berada di angka 0,1 persen.

Kelebihan Airlangga dibanding Puan, elektabilitas Airlangga masih di atas Puan. Posisinya sebagai Menko Perekonomian pun bisa membuatnya dianggap memiliki kapasitas yang lebih baik dalam memimpin negeri. Dalam rilis hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Februari lalu, tercatat ada 0,4 persen responden yang menyebut nama AH, sementara nama Puan dan Muhaimin bahkan tidak disebut responden.

Selanjutnya, pada simulasi semi terbuka 29 nama, jumlah responden yang memilih AH tercatat 0,9 persen, diikuti Muhaimin (0,3 persen), dan Puan (0,1 persen). Pada simulasi tertutup 10 nama, AH tercatat memperoleh 1,3 persen sedangkan Puan hanya mendapat 0,8 persen, nama Muhaimin tidak dimasukkan dalam simulasi ini.

Keuntungan AH, ia berada di partai nasionalis yang dalam sejarah politik Indonesia terbukti bisa bersinergi dan berkolaborasi dengan banyak parpol, apa pun garisnya. Misalnya, pada Pilpres 2019 lalu Partai Golkar mendukung calon presiden dari PDIP (Jokowi). Pada 2014, partai berlambang beringin itu mendukung Prabowo dari Gerindra. Pada 2009 bahkan Golkar punya calon sendiri untuk bertarung, Jusuf Kalla, dengan menggandeng Wiranto (Hanura).   Sementara pada 2004 Golkar juga punya pengalaman mendorong calonnya, Wiranto yang memenangkan Konvensi Partai Golkar, dengan Salahuddin Wahid dari garis Islam.

Dengan catatan sejarah itu, tidak heran bila saat ini pun sudah ada yang menggadang-gadang agar Anies yang memiliki elektabilitas tinggi berkolaborasi dengan AH. Direktur Gerakan Perubahan dan tokoh Islam, Muslim Arbi, misalnya. Dalam hitung-hitungan Muslim yang dibukanya kepada Kantor Berita Politik RMOL, kans Anies-Airlangga sebagai pasangan pada Pilpres 2024 lebih memungkinkan diraihnya kemenangan, dibanding bila Anies menggandeng AHY.

Namun tentu saja, bicara politik adalah bicara berbagai kemungkinan. Semua hitung-hitungan di atas kertas, dengan sebanyak apa pun variabel yang dipertimbangkan, tetap saja sebuah ‘a posse ad esse’ alias masih kemungkinan. Apalagi bukankah kita tahu dalam politik pun berlaku adagium “hostis aut amicus non est in aeternum, commode sua sun in aeternum? Kalimat Latin itu hanya gagah-gagahan saja untuk kalimat yang telah lama kita ulang-ulang hingga menempel di benak,”Tak ada lawan dan kawan abadi, hanya ada kepentingan yang abadi”.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button