Market

Akademisi: Dipaksa Ikuti HET, Pengusaha Tekor Saat CPO Mahal

Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak dari UI, Prof Haula Rosdiana mengatakan, pengusaha sempat mengalami kerugian lantaran dipaksa menjual minyak goreng (migor) sesuai HET ketika harga CPO melambung.

“Ada pengorbanan produsen (migor) berkaitan dengan HET (harga eceran tertinggi), bagaimana dia tetap harus menjual meskipun rugi dibawah harga keekonomisan,” kata Haula di Jakarta, dikutip (30/12/2022).

Selain itu, dia mempertanyakan kewajiban industri minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), sebelum mengekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Sekitar Maret 2022, ketika Menteri Perdagangan M Lutfi, industri migor dipaksa menjual produknya di bawah HET Rp14 ribu per liter. Padahal, saat itu, harga minyak sawit mentah atau CPO sebagai baku migor di pasar dunia, cukup tinggi.

Kebijakan yang ditempuh Mendag Lutfi bertujuan mulia, mengatasi krisis migor yang bikin sengsara para ibu rumah tangga. Tak berhenti di situ, pengusaha juga dipaksa menjalankan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Semuanya demi menjamin ketersediaan migor di tanah air.

Namun, kebijakan tersebut tidak efektif. Migor tetap saja menghilang di pasaran. Kalau pun ada, harganya mahal.

Ke depan, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam menjalankan kebijakan sektor kelapa sawit. Agar tercipta keselarasan aturan serta kepastian hukum. “Jangan tiba-tiba menunjuk orang untuk menghitung kerugian negara tanpa metode yang jelas,” tegas Haul yang sempat menjadi saksi ahli dalam sidang dugaan korupsi PE ekspor CPO di PN Tipikor, Jakarta.

Selanjutnya dia menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, sulit dibuktikan secara akurat. “Artinya, hingga saat ini, belum ada aturan yang mengatur penggunaan metode penghitungan kerugian perekonomian negara,” katanya.

Menurut Haula, hal ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir. “Kalau ini belum diatur bahaya, karena setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi,” ungkapnya.

Akademisi Universitas Al Azhar, Dr Sadino menjelaskan, istilah uang penganti berbeda dengan ganti rugi. Yang namanya uang pengganti harus berdasarkan perhitungan riil dan sesuai fakta. Artinya yang diterima terdakwa dan keuntungan terdakwa. Jika terdakwa tidak dapat keuntungan dan tidak dapat BLT bagaimana suruh mengganti BLT ya.

“Adanya jumlah uang pengganti ya harus didukung bukti dan perhitungan riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa bukti tanda terima dan tentu menerima dengan cara melawan hukum. Sementara, uang ganti rugi itu bisa bersifat subjektif yang berasal dari kerugian riil dan bisa ditambah dengan potensi keuntungan yang diharapkan jika uang itu dikelola,” tambah Sadino.

Menurut Sadino, masalah utamanya adalah perbuatan administrasi semua, sehingga dasar tuntutan tidak mengindahkan fakta-fakta di persidangan yang juga menyebutkan eksportir sudah memenuhi DMO yang menjadi prasyarat pemberian Persetujuan Ekspor.

“Sebagai pengurus asosiasi ya wajar ketemu yang penting tidak mempengaruhi pejabat apalagi tidak ada suap terkait pengurusan persetujuan ekspor. Apalagi terdakwa hadir dalam pertemuan tersebut bukan sebagai karyawan atau direksi sebuah perusahaan melainkan asosiasi,” jelasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button