Kanal

Akankah Presiden Terpilih 2024 Melanjutkan Kebijakan Jokowi?

Jujur saja, awalnya saya sendiri merasa judul di atas terlalu menampakkan kebodohan saya sebagai penulis. Paling tidak, tajuk itu jelas tidak merangsang rasa penasaran pembaca, karena toh bisa dijawab pendek dengan “ya” atau “tidak”. Bila perlu hujjah, argumen tinggal dicari dan dibelitkan kepada masing-masing opsi jawaban.

Kalau akhirnya saya justru memilih judul tersebut, pilihan itu tampaknya dilandasi asumsi bahwa pertanyaan sederhanalah yang justru mungkin menarik orang di tengah segala sesuatu yang sudah menjadi sedemikian rumit (sophisticated) saat ini. Belakangan, meski tak memerlukan perenungan lama, saya menyadari bahwa bahkan dari kebiasaan masyarakat kita pun, pertanyaan “Akankah presiden terpilih nanti itu benar-benar melanjutkan kebijakan Jokowi?” itu masih sukar untuk dijawab tegas.

Mungkin anda suka

Persoalannya, di satu sisi, sudah menjadi kebiasaan yang berakar kuat dari tradisi Islam di Indonesia untuk mengikuti kaidah kehidupan “Al-mubafazhatu ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil-jadidil ashlah” (Melestarikan yang baik-baik dari yang lama dan mengambil yang baru yang lebih baik). Dengan hidupnya kaidah ini dalam kehidupan masyarakat, bisa diharapkan berbagai kebiasaan, cara, serta kebijakan yang baik dari pemerintahan Presiden Jokowi yang berlangsung hingga saat ini, akan lestari dan terus berjalan berkesinambungan.

Namun tradisi ini tampaknya kian menguap seiring meletupnya semangat reformasi di tahun 1998. Meski belum dibuktikan secara lebih ilmiah berdasarkan riset dan survey, kita melihat semangat melestarikan yang baik dan mengambil yang baru kalau lebih baik itu semakin lenyap ditelan menguatnya sisi selfish dan individualistis yang dibawa modernisasi. Contoh mudah saja, bila tradisi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu baik karena tak hanya menjadi acuan eksekutif dalam meraih tujuan pembangunan namun juga memberi transparansi kepada rakyat, mengapa ia dibiarkan hilang. Akibatnya, meski pemerintah yang tengah berkuasa memiliki rujukan, pegangan itu tak sampai kepada rakyat sebagaiman yang terjadi di zaman Orde Baru, saat anak SMP saja mendalami dan mengerti GBHN.

Berbeda dengan yang dipercaya selama ini, di sisi lain pun, tampaknya orang Indonesia tak pernah ingin dianggap komunitas yang jumud dan mandek. Sikap itu pula yang barangkali menyebabkan setiap generasi cenderung selalu ingin tampil lain dibanding generasi yang menduluinya. Orang Indonesia selalu ingin tampil dan ‘unjuk diri’, serta menolak disamakan dengan yang lain.

Lihat saja, bahkan di awal-awal kemerdekaan, untuk menyikapi zaman yang berubah dari penjajahan ke alam merdeka, Gelanggang Seniman Merdeka yang didirikan di Jakarta tahun 1946 oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin, menyatakan sikap mereka dalam berbudaya. Mereka memproklamasikan Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isi pokoknya, antara lain, menyatakan:

“…kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat“. Sementara pula bagi mereka,”…revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan….” Jadi, dalam pikiran normal orang Indonesia, barangkali ada keyakinan kuat, bahwa ‘bangunan’ baru– ‘bangunan’ apa pun itu—hanya bisa berdiri manakala bangunan lama sudah hancur diratakan dengan tanah.

Sebenarnya hal itu alamiah saja. Bahkan sudah menjadi sifat manusia untuk meninggalkan legacy guna melanggengkan ingatan public akan dirinya. Apalagi manakala ia menjadi seorang pemimpin. Bukankah peribahasa, bagian mendasar budaya kita, menyebutkan, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”? Bahkan seekor serigala pun akan mengencingi batas-batas wilayahnya, untuk memberitahukan serigala yang memimpin kawanan lain, bahwa itu batas-batas kekuasaannya, yang terlarang mereka masuki.

Sebagai warga sebuah negara besar, kita pun (pernah) memiliki para pemimpin yang meninggalkan legacy gemilang. Bung Karno, misalnya, selain didekat-dekatkan meninggalkan legacy Pancasila, juga memiliki legacy lain, yakni Tri Sakti, yang dengannya sejatinya bangsa ini punya target mulia dan gemilang di depan, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya.

Sementara Pak Harto, sang Bapak Pembangunan, meninggalkan legacy berupa Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Bagi umat Islam, bahkan keharusan meninggalkan legacy itu menjadi kewajiban personal. Paling tidak, ada hadits Nabi yang menegaskan,”Sekiranya hari kiamat hendak terjadi sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi hari kiamat, hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad).

Legacy Jokowi

Jika setiap pemimpin relatif meninggalkan legacy, maka apakah yang menjadi legacy Presiden Jokowi yang akan beliau wariskan kepada Indonesia ke depan? Tampaknya banyak, dan masing-masing kita bisa menginventarisasikannya sendiri. Namun setidaknya ada dua legacy besar beliau yang paling banyak disebut-sebut public, yakni persoalan Ibu Kota Negara (IKN), dan Omnibus Law.

Lalu akankah IKN ini diteruskan presiden mendatang, seorang pemimpin nasional yang terpilih melalui kontestasi Pilpres 2024? Kalau politik pun dianggap sebagai ilmu ekonomi yang mengasumsikan adanya ceteris paribus—dengan syarat hal-hal lain tetap–, dan menganggapnya sebagai preparat dalam sebuah labu penelitian, dengan menafikan powerful-nya kehendak kelompok kecil oligarki, tampaknya jawabannya adalah tidak. Begitu pula dengan Omnibus Law.

Tampaknya siapa pun presiden terpilih nanti akan ogah dibebani IKN dan Omnibus Law yang penuh persoalan serta onak-duri. Tak akan ada tokoh politik—bahkan negarawan sekali pun—yang suka rela menerima getah dari sisa-sisa pesta makan cempedak yang dilakukan tokoh lain. Apalagi bila tokoh itu telah menjadi mantan yang (secara resmi) kekuasaannya telah hilang. Dalam Bahasa Sunda, tidak ada yang mau “ketempuhan buntut maung” alias bertanggung jawab pada hasil kelakuan orang lain.

Perlu diingat bahwa masa kekuasaan seorang presiden pasca-reformasi paling lama hanya dua periode alias 10 tahun. Dengan tidak adanya jaminan bahwa ia bisa terpilih untuk periode kedua, bisa dipastikan di tahun kedua berkuasa pun ia sudah mulai berpikir tentang legacy-nya sendiri. Apapun warisan yang membebani pekerjaannya dari pendahulunya, sangat mungkin akan disapa wassalam olehnya.

Sementara kita tahu, IKN dan Omnibus Law bukan ‘produk’ tanpa masalah. Terlalu banyak cendikiawan dan ahli yang melihat pemindahan IKN tersebut terlalu dipaksakan, dengan hasil yang mereka kuatirkan.

Guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Prof Susi Dwi Harijanti, menyatakan bahwa UU IKN pada akhirnya hanyalah justifikasi dari kebijakan politik penguasa. Dengan demikian, kata Prof Susi,prosesnya pun tidak demokratis.

Ia menunjuk bahwa pengesahan UU IKN itu disahkan hanya dalam proses waktu 42 hari, termasuk hanya dua kali konsultasi publik ke kampus-kampus di Samarinda, Medan, dan Makassar, pada 11 dan 12 Januari 2022 lalu. Belum lagi ia menunjuk naskah akademik (NA) yang menjadi dasar perancangan UU itu tak sesuai dengan kaidah akademik. Ia menyebut sejumlah besar contoh yang telah banyak dikutip media massa. Belum lagi fakta bahwa NA tersebut tak pernah diedarkan ke public sebelumnya, bahkan tidak pula di Pansus IKN.

Sebagaimana ditulis media-media massa, dalam rapat paripurna pengesahan RUU IKN, 18 Januari pagi itu, Ketua DPR RI, Puan Maharani juga kembali melakukan apa yang dilakukan mantan wakilnya, Azis Syamsuddin, saat mengesahkan RUU Omnibus Law menjadi UU: mengabaikan suara protes dari anggota DPR RI yang kritis soal RUU IKN tersebut.

”Jadi, pembentukan UU IKN itu membuktikan sekali lagi bahwa hukum itu hanya dijadikan sebagai justifikasi formal. Jadi yang penting ketika kita melakukan tindakan, mengeluarkan kebijakan, itu ada dasar hukumnya,”kata Prof Susi dalam wawancara panjang dengan Tirto.id, beberapa waktu lalu.

Mengutip Prof Kim Lane Scheppele, guru besar di Princeton University dalam artikel berjudul “Autocratic Legalism”, menurut Prof Susi, yang sekarang banyak dilakukan adalah tindakan-tindakan berdasarkan hukum, padahal hukum yang dibuat itu hanyalah “otokratik legalisme”.

“Apa tujuan akhir dari “otokratik legalisme”? Tujuan akhirnya adalah memper-besar kekuasaan bagi orang-orang tertentu dan ini akan mematikan demokrasi,”kata Prof Susi. Ia juga menunjuk buku yang ditulis dua orang cendikiawan politik dari Harvard University, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, “How Democracies Die”. “Demokrasi mati bukan oleh militer, tapi oleh mereka yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Jadi ini yang beberapa tahun ini saya khawatir, menunjukkan otokratik legalisme. Jadi bukan “rule of law”, tapi “rule by the law”. Menggunakan hukum hanya sebagai formalitas, dan ini mengkhawatirkan,”kata Prof Susi.

Seolah mengamini Prof Susi, sosiolog Nanyang Technological University (NTU) Singapura asal Indonesia, Sulfikar Amir, menyatakan hal serupa. Berkomentar dalam sebuah diskusi di YouTube, Sulfikar menyebut NA RUU IKN dikerjakan sangat buruk dan tidak kredibel. Kata dia, sebuah NA yang akan jadi landasan pembuatan kebijakan dengan biaya besar, sumber daya yang banyak, dan proyek jangka panjang seperti pemindahan IKN, seharusnya ditulis dengan lebih serius dan kompeten.

“Naskah akademik harusnya sama seperti sebuah disertasi S3, PhD. Di mana kajian literaturnya kaya, metodologinya valid, alasan-alasan dikemukan itu masuk akal, berdasarkan pertimbangan yang rasional,” kata Sulfikar. Sebuah NA, menurut dia, tak bisa menggunakan referensi daftar pustaka yang sudah terlampau jauh hingga 30-40 tahun, mengingat banyak yang terbit di tahun 1980-1990-an. Kata dia, teori-teori lawas tak mungkin digunakan sebagai rujukan utama bagi kebijakan seperti pemindahan IKN yang orientasinya untuk masa depan. “Sudah ketiggalan zaman, outdated,” katanya.

Berdasarkan hasil survey Centre for Strategic and International Studies (CSIS) terkait persepsi ahli terhadap pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), yang dilakukan 29 Maret-12 April 2022 lalu, hasilnya pun seharusnya membuat pemerintah memikirkan ulang rencana pemindahan IKN tersebut. CSIS mencatat, 58,8 persen ahli tidak yakin IKN berjalan sesuai target. Survei dengan jumlah sampel 170 orang tersebut menyasar kalangan peneliti, akademisi, wartawan, birokrat, hingga politikus. Tingkat pesimisme mereka terhadap program IKN pun cukup tinggi. “Sebesar 69,4 persen responden ahli menilai APBN tidak mampu mendanai program tersebut,”tulis CSIS dalam rilisnya.

Presiden Jokowi sendiri sudah pasti menginginkan rencana IKN yang dicanangkannya terus berjalan, siapa pun presiden setelah dirinya. Mungkin pertimbangan itu yang membuat Jokowi relatif menjaga kedekatan dengan semua kandidat kuat capres mendatang.

Paling tidak, tidak hanya berdekat-dekat dengan Ganjar Pranowo, antara lain seperti yang terlihat dari kehadirannya pada pembukaan Rakernas V Projo di Magelang, 21 Mei lalu. Jokowi juga tampak memelihara hubungan baik dengan Prabowo, yang diterimanya di Istana Yogyakarta saat perayaan Idul Fitri, 2 Mei lalu. Begitu pula dengan dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Misalnya, seberapa pun sibuknya, Jokowi hadir saat perhelatan Formula E di Ancol, Jakarta Utara.

Menurut analis politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam, langkah Jokowi itu tak lain sebagai upaya agar segala pekerjaan yang dilakukannya selama ini tetap berjalan di masa depan, manakala dirinya sudah tidak menjabat.

“Sebagai politisi, Jokowi kira-kira, siapa pun yang menang dalam pilpres bisa klaim penerusnya atau orangnya. Atau setidaknya bisa berkomunikasi lancar dengan siapa pun yang terpilih,”kata Imam, beberapa waktu lalu. [ inu]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button