Market

RI Naik Status ke Upper Middle Income Country, Berkah atau Musibah?

Bank Dunia telah meningkatkan status Indonesia menjadi ‘Upper Middle Income Country’ atau negara menengah ke atas dari status sebelumnya di kelompok negara menengah ke bawah. Ini jelas menggembirakan. Namun ada risiko lain mengintai.

Berdasarkan klasifikasi terbaru, Indonesia menyandang status upper middle-income country karena memiliki Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita sebesar US$4.580 di tahun 2022 sehingga melebihi standar yang ditetapkan sebesar US$4.466.

Klasifikasi Bank Dunia yang diperbarui setiap tahun setiap 1 Juli ini dibagi menjadi empat kategori berdasarkan PNB per kapita. Mereka adalah berpenghasilan rendah (USD1.035), berpenghasilan menengah ke bawah (USD1.036-USD4.045), berpenghasilan menengah ke atas (USD4.046-USD12.535) dan berpenghasilan tinggi (>USD12.535). Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai faktor untuk menentukan apakah suatu negara dapat menggunakan fasilitas bank, seperti harga pinjaman.

“Bank Dunia per Juli 2023 kembali memasukkan Indonesia dalam grup upper middle income countries. Ini proses pemulihan yang cepat setelah kita turun ke grup lower middle income countries di 2020 karena pandemi,” ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam arahan pengantar Sidang Kabinet, Senin (3/7/2023).

Hanya saja, meskipun naik kelas, Jokowi menekankan masih banyak tantangan dihadapi Indonesia ke depan. Terutama pada paruh kedua tahun ini yang baru saja berlangsung. “Beberapa tantangan yang perlu diwaspadai Indonesia adalah lingkungan global yang masih tidak stabil akibat ketegangan geopolitik yang masih berlangsung. Hal tersebut bisa berimbas pada pertumbuhan ekonomi dan aktivitas perdagangan dalam negeri, seperti penurunan kinerja ekspor,” katanya.

Apalagi berbagai lembaga internasional memprediksikan perlambatan ekonomi global akan berlanjut di tahun ini. Misalnya, IMF memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 2,8 persen, Bank Dunia lebih rendah lagi yakni 2,1 persen dan OECD memperkirakan 2,6 persen. Selain itu, ada juga kekhawatiran kenaikan suku bunga global yang diperkirakan masih akan berlanjut bahkan sampai tahun depan. Hal ini akan mendorong tingkat inflasi dunia.

Bank Dunia sempat menurunkan level Indonesia ke negara berpenghasilan menengah ke bawah karena pandemi covid-19. Peningkatan status Indonesia membuktikan bahwa ketahanan ekonomi negara dan pertumbuhan berkelanjutan telah terjaga dengan baik dalam beberapa tahun terakhir.

Status baru ini juga diharapkan semakin memperkuat kepercayaan dan persepsi dari investor, mitra dagang, mitra bilateral, dan mitra pembangunan ekonomi. Selain itu, peningkatan status juga diharapkan dapat mendorong investasi, meningkatkan kinerja transaksi berjalan, mendorong daya saing ekonomi, dan memperkuat dukungan keuangan.

Namun mesti diingat bahwa perubahan status jadi naik ke upper middle income countries itu harus dicermati karena beberapa hal. Misalnya perubahan status ini terdorong oleh pendapatan ekspor komoditas olahan primer dan setengah jadi sehingga sifatnya hanya sementara.

Pasar ekspor dan harga komoditas berisiko menurun seiring fluktuasi permintaan global. Apalagi IMF sudah memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 2,8 persen, Bank Dunia lebih rendah lagi yakni 2,1 persen dan OECD memperkirakan 2,6 persen. Sehingga bisa berpotensi menambah tekanan terhadap ekspor komoditas yang berarti mengurangi pendapatan ekspor dan pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Faktor suku bunga juga akan menjadi penentu. Saat ini kecenderungan suku bunga global untuk naik tetap berlanjut bahkan hingga di tahun depan. Ini akan menimbulkan ancaman lain yakni inflasi dunia yang akan kembali tinggi.

Faktor lain yang juga harus menjadi menjadi perhatian adalah perubahan status ini adalah dalam hal pinjaman luar negeri. Memang Indonesia dapat memperoleh bunga rendah di pasar karena rating utangnya semakin membaik. Investor juga akan semakin percaya dengan Indonesia. Namun yang sedikit mengkhawatirkan adalah Indonesia akan sulit mendapatkan pinjaman skema hibah dan pinjaman lunak.

Status baru ini juga memberi konsekuensi lain. Di satu sisi, kondisi ini akan memberikan perspektif positif bagi investor sehingga pembiayaan lebih mudah, namun posisi ini akan memunculkan efek negatif. Misalnya terkait dengan bisa dilakukannya peninjauan ulang bahkan pencabutan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang diberikan mitra dagang di banyak negara.

Artinya, RI tidak bisa mendapatkan lagi sejumlah fasilitas GSP dalam perdagangan seperti tarif preferensi yang menguntungkan terhadap sejumlah komoditas ekspor dari Tanah Air. Pada akhirnya juga akan mengurangi daya saing produk ekspor Indonesia di manca negara.

Jadi perubahan status menjadi naik ini harus disikapi dengan cermat. Selain berpotensi mengalami penurunan kembali seiring beberapa tantangan yang akan mengadang, juga harus disusun langkah-langkah yang tepat dan terukur menuju peningkatan status berikutnya. Paling tidak butuh pertumbuhan ekonomi 7% untuk mencapai level negara maju.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button