Ototekno

Alasan Rendahnya Progres Pembangunan BTS yang Disampaikan BAKTI Dinilai Absurd

Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia (BAKTI) melaporkan saat ini dari 4.200 BTS yang ditargetkan selesai pada Maret 2022 sebanyak 1900an BTS sudah selesai dibangun dan memberikan layanan (on air).

“Saat ini, rata-rata progres pembangunan BTS 4G fase pertama 1.900 lokasi sudah on air, dan 2.300 lokasi lainnya mencapai 86%,” ujar Direktur Sumber Daya dan Administrasi Bakti, Fadhilah Mathar dalam keterangan tertulisnya kepada Inilah.com, Jumat (15/04/2022).

Masih jauhnya jumlah BTS yang dibangun dari target yang diharapkan dalam keterangan tertulisnya, BAKTI menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkannya seperti tantangan geografis dimana pembangunan BTS 4G yang dilaksanakan BAKTI Kominfo, mayoritas bertempat di desa di daerah 3T yang sangat sulit dijangkau, hambatan trasportasi serta pembatasan mobilitas barang dan orang akibat pandemi.

Selain itu, kelangkaan pasokan microchip secara global dan gangguan keamanan yang secara spesifik terjadi di Papua, di mana jumlah lokasi BTS yang dibangun di Papua dan Papua Barat mencapai sekitar 65% dari total BTS yang dibangun oleh BAKTI di seluruh Indonesia juga menjadi penyebab keterlambatan pembangunan BTS 4G di daerah 3T.

Menanggapi hal tersebut, Alamsyah Saragih, Praktisi Kebijakan Publik yang sedang melakukan telaah terhadap sektor telekomunikasi khususnya pemerataan akses telekomunikasi ke wilayah 3T, alasan yang diberikan BAKTI bisa dipahami namun berlebihan.

“Hingga Maret 2022, di Papua, konsorsium Lintas Arta, Huawei dan SEI justru berhasil mencapai kinerja 89% Ready For Installation. Sementara di luar Papua Fiberhome, Telkom Infra dan MTD secara keseluruhan hanya mencapi 57%, meskipun beberapa subkontraktor mereka ada yang bisa mencapai 80%. Jadi inti masalah bukan pada kendala geografis,” jelas Alamsyah

Lebih lanjut dijelaskan Alamsyah, terkait alasan pandemi, fase pertama proyek pembangunan BTS 2021 sudah diperpanjang hingga 31 Maret 2022.

Beberapa subkontraktor disampaikannya memiliki kinerja yang tinggi ditandai oleh pembayaran yang lancar.

Namun masih banyak pembangunan yang terhambat karena masalah pembayaran.

“Faktanya justru terjadi kelambanan di daerah luar Papua karena banyak subkontraktor level-2 tak dibayar sesuai perjanjian seperti yang ramai diberitakan. COVID-19 sudah tidak relevan lagi dijadikan alasan setelah proyek diperpanjang,” imbuhnya.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi capaian, yakni kondisi geografis, keamanan dan pembayaran kepada subkontraktor. Terkait alasan gangguan keamanan yang menjadi penyebab kelambatan pembangunan, Mantan Komisioner Ombudsman ini menjelaskan di wilayah Papua dengan gangguan keamanan tinggi, masih ada konsorsium yang berhasil mencapai Ready For Installation (RFI) hingga 89% sites.

Lintasarta dan Huawei relatif berpengalaman dalam pembangunan menara BTS out door. Manajemen logistik relatif baik, dan pembayaran kepada subkontraktor tak bermasalah.

“Di wilayah kerja IBS-ZTE hanya mencapai 31%. Berdasarkan informasi dari lapangan, selain terjadi inseden penembakan pekerja, juga pernah terjadi kendala akibat sistem pengangkutan material yang sekaligus dan tak tersortir. AKibatnya terjadi penumpukan di gudang dan diperlukan waktu agak lama untuk melakukan penyortiran dan pengiriman ke lokasi. Pembayaran kepada subkontraktor relatif tak bermasalah,” jelas Alamsyah.

Namun demikian di luar Papua dan Papua Barat, yang dikerjakan oleh konsorsium Fiberhome, Telkom Infra dan MTD hanya mencapai 57% RFI meskipun tingkat risiko keamanan rendah. Konsorsium ini memiliki persoalan pembayaran kepada subkontraktor.

Beberapa subkontraktor level-2 terpaksa menurunkan kecepatan kerja akibat tagihan tak dibayar sesuai perjanjian.

Hal ini diperkirakan akan melanggar Perpres Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan UU Jasa Konstruksi apabila Berita Acara Serah Terima dilakukan tanpa bukti kelengkapan administratif terkait pembayaran kepada subkontraktor.

Screenshot 2022 04 15 15 16 58 41 A1b1bbe5f63d5b96c1a0f87c197ebfae Picsay - inilah.com

Oleh karena itu dengan progres pembangunan BTS yang rendah ini, Alamsyah menyarankan sebaiknya proyek pembangunan tahap 2 tidak dilanjutkan sebelum terlebih dahulu evaluasi teknis untuk fungsionalitas BTS yang sudah dibangun untuk mengetahui apakah service standard dapat terpenuhi dan tak berbeda satu dengan lainnya.

Selain itu perlu dilakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu oleh BPK terkait proses lelang awal dan realisasi pembayaran hingga ke subkontraktor dan pekerja di lapangan karena proyek strategis nasional juga bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja.

Tujuannya agar dapat mengetahui akar masalah sesungguhnya keterlambatan pembangunan BTS ini. Sehingga dapat mencari solusi konstruktif agar akselerasi pembangunan BTS daerah 3T dapat segera terwujud.

“Jangan sampai proyek pembangunan BTS BAKTI ini mengalami nasib serupa dengan proyek Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) yang pernah digagas Kominfo cq BP3TI (sekarang BAKTI). Hingga saat ini proyek tersebut mangkrak dan berpotensi menimbulkan pemborosan uang negara sebesar Rp. 1,4 triliun,” pungkas Alamsyah.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ibnu Naufal

Menulis untuk masa depan untuk aku, kamu dan kita.
Back to top button