News

Ali Fauzi, Mantan Teroris yang Baru Saja Meraih Gelar Doktor

Ali Fauzi Manzi, mantan narapidana terorisme, sempat tercekat menyeka air mata ketika memberi pidato pada momen kelulusannya meraih gelar doktor mewakili lebih dari 2.000 wisudawan Universitas Muhammadiyah Malang, pekan lalu.

“Di majelis ini saya mohon maaf sebesar-besarnya, saya dan saudara saya melakukan aksi terorisme dan kemudian dihujat masyarakat,”ujar Ali, 51 tahun dalam balutan toga almamater, disambut tepuk tangan para wisudawan lainnya di aula universitas tersebut.

Mantan ahli bom Jamaah Islamiyah (JI)– kelompok yang terafiliasi dengan jaringan Al-Qaidah– itu berhasil meraih gelar doktor dalam pendidikan agama Islam, setelah menyelesaikan disertasi berjudul “Moderasi Beragama Bagi Para Eks Napiter” dalam waktu 3,5 tahun. Disertasi Ali meraih predikat sangat memuaskan.

Ali mengatakan pertemuannya dengan para penyintas bom Bali dan keluarga korban membuatnya mendedikasikan hidup untuk membantu mantan militan seperti dirinya untuk berintegrasi kembali ke masyarakat. “Saya menangis terharu, saya dulu dibuang dan dibenci, ternyata saya bisa meraih pendidikan akademik tinggi,”ujar Ali.

Dalam disertasinya, dia meneliti enam bekas narapidana terorisme (napiter), yang berasal dari kelompok JI dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), mengenai alasan mereka menjadi anggota teroris. Komunitas JI, ujar Ali, memperoleh proses pendidikan (tarbiyah) yang cukup Panjang, sementara anggota ISIS hanya mengeyamnya secara singkat.

Menurut Ali, tidak mudah mengungkap motif sebenarnya mereka bergabung dalam jaringan terorisme karena para mantan teroris tersebut banyak yang teguh menyimpan rahasia. Meski banyak responden yang tidak berterus terang, namun Ali menyimpulkan motif mereka bergabung itu karena keyakinan agama dan ideologi yang terpapar melalui pendidikan.

“Mereka bergabung karena setelah ada proses radikalisasi paham jihad dari ustaz dalam doktrin jihad yang keliru,” ujar dia.

Ali Fauzi mengatakan pertemuannya dengan para korban bom Bali dan kerabatnya pada 2011 telah menyadarkan dirinya. “Hati saya tercabik-cabik,” katanya kepada BenarNews, mengingat penyesalannya saat melihat para penyintas korban teroris-me yang cacat seumur hidup atau kehilangan orang yang mereka cintai selamanya.

Dia kemudian mendirikan Lingkar Perdamaian, sebuah yayasan yang berfokus membantu mantan terpidana teroris dan militant, untuk meninggalkan jaringan radikal dan kembali ke masyarakat.

Ali Fauzi tidak terlibat secara langsung dalam kasus bom Bali. Tapi dia adalah saudara tiri dari “Trio Bom Bali” –Ali Imron, Ali Ghufron dan Amrozi –para anggota JI yang berada di balik serangan terorisme di Bali pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang dan hingga kini merupakan aksi teror paling mematikan di Indonesia.

Bersama rekannya Umar Patek yang bebas bersyarat pada Desember tahun lalu, Ali Fauzi adalah perakit Bom Bali pada malam 12 Oktober 2002 itu. Ghufron dan Amrozi dieksekusi regu tembak pada tahun 2008, bersama dengan pelaku bom Bali lainnya, Imam Samudra. Ali Imron menjalani hukuman seumur hidup dan telah bekerja sama dengan polisi dalam program deradikalisasi.

Ali sendiri menghabiskan tiga tahun berjuang bersama Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina selatan pada tahun 1990-an. Dia kembali ke Filipina selatan pada tahun 2002 untuk memimpin kamp militan.

Ali ditangkap oleh pihak berwenang Filipina dan dideportasi ke Indonesia pada tahun 2004, di mana dia dipenjara selama tiga tahun setelah dihukum atas dakwaan terorisme. Pada tahun yang sama ia menjalani rehabilitasi dan program deradikalisasi di Mabes Polri.

Dia mengatakan ketika ia sakit dan terluka, dirinya mendapat perlakuan yang baik oleh polisi. “Saya diperlakukan dengan baik. Saya pikir saya akan disiksa dan mengalami kekerasan,” katanya.

Pahami akar radikalisasi

Ali menemukan bahwa pendekatan moderasi beragama kepada bekas napiter tidak akan berhasil jika kita tidak mampu mengetahui proses radikalisasinya, menurut hasil penelitiannya.

Sampai sekarang, kata dia, belum ada model moderasi beragama secara tepat untuk semua mantan napiter. Ali menambahkan jika model tersebut ditemukan, maka akan banyak eks napiter yang kembali ke Islam wasathiyah atau moderat.

“Ibarat penyakit, dokter harus mendiagnosis sakit apa? Dianalisis untuk menentu-kan obat dengan dosis yang tepat,” ujarnya.

Sedangkan selama ini banyak usaha deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88, menyamaratakan setiap individu, kata Ali.

Seperti di Yayasan Lingkar Perdamaian, Ali melakukan pendekatan secara individu, mulai dengan berdiskusi, dan kajian kitab salah satunya Kitab “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Mujtahid”–buku fikih yang membahas tentang fikih perbandingan madzhab.

“Jangan akhiri perbedaan dengan permusuhan. Ulama terdahulu sangat toleran terhadap perbedaan. Tidak menganggap diri paling benar,” ujarnya.

Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Muhammad Fauzan menyampaikan bahwa sejak awal kurikulum universitasnya mendesain Islam moderat. Wisuda kali ini menjadi momen bersejarah dengan wisudawan mantan teroris yang bertobat, kata Fauzan. “Di sini menemukan ekosistem untuk perbaiki pola pikir beragama. Dulu destruktif kini melakukan deradikalisasi,” ujar Rektor.

Kini Yayasan Lingkar Perdamaian tengah menangani tiga bekas napiter yang awalnya berlatar belakang anggota polisi, yaitu Bripda Nesti Ode Samili, mantan anggota Polda Maluku Utara; Bripda Rini Ilyas, eks anggota Polda Maluku; dan Briptu Eko Ristanto, bekas anggota Polres Sidoarjo.

“Eko terpapar di Lapas Lowokwaru Malang, setelah dipecat dengan tidak hormat dan dihukum akibat menembak tokoh agama,” kata Ali.

Ali Fauzi berharap, Umar Patek, tersangka pengebom Bali yang bebas bersyarat pada Desember tahun lalu setelah masa tahanannya dikurangi 7 tahun, menggantikannya sebagai duta damai berkeliling Indonesia.

Umar Patek yang turut menghadiri wisuda Ali Fauzi merupakan kawan karib sejak menjalani pendidikan militer di Afghanistan, menjadi kombatan di Moro, Filipina,  hingga bersama-sama merakit bom Bali pertama untuk menghancurkan Sari Club dan Paddy’s Pub yang menewaskan 202 orang.

“Dia mau dan mampu menggantikan posisi saya. Memberikan pencerahan mengenai bahaya terorisme,” kata Ali

Umar mengaku bangga menyaksikan mantan teroris bisa menjadi doktor dan mengamini hasil penelitian Ali. Ia mengaku terpapar radikalisme setelah mengikuti taklim yang dipimpin Ali Gufron alias Mukhlas – kakak tiri Ali Fauzi.

“Siapa bilang teroris bodoh-bodoh. Tidak mudah untuk dapat gelar doktor. Pendidikan mengalahkan terorisme. Ini pesan kuat bagi saya dan mantan napiter lain,” kata Umar menambahkan bahwa Ali Fauzi menginspirasi bekas napiter untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Sebelumnya, Ali menempuh pendidikan sarjana di Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah, Lamongan, untuk membekali diri sebagai pengajar di Pondok Pesantren Al Islam yang diasuh kakaknya Mochamad Khozin.

Setelah menamatkan pendidikan sarjana, dia melanjutkan S2 Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Surabaya, sebelum akhirnya menamatkan program doktoral Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang. [BenarNews]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button