Pasca-libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan kembali menderita akibat tekanan hebat di perdagangan Selasa (8/4/2025).
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, memperkirakan IHSG berpotensi melemah hingga 7 persen. Hal tersebut, menurutnya, membuka peluang Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali menghentikan sementara aktivitas perdagangan atau trading halt karena tekanan signifikan di pasar.
“Ya, kalau saya lihat, ada potensi suspend besok dalam transaksi IHSG. Mungkin sekitar pukul 11.00, itu bisa masuk sesi pertama yang akan disuspensi. Karena prediksi saya, penurunan yang tadinya di kisaran 2-3 persen kemungkinan akan naik menjadi 5-7 persen. Kalau sudah di angka segitu, kemungkinan besar akan terjadi suspensi sementara,” ujarnya saat dihubungi Inilah.com, Senin (7/4/2025).
Ibrahim menjelaskan, kondisi global saat ini, menjadi faktor utama yang memantik potensi kejatuhan IHSG. Menurutnya persoalan ini tidak hanya dialami Indonesia, melainkan hampir semua negara.
Menurutnya, ada beberapa faktor utama yang menjadi pemicu tekanan pasar. Pertama, rilis data tenaga kerja di Amerika Serikat yang hasilnya jauh lebih baik dibandingkan ekspektasi. Hal ini mendorong Bank Sentral AS untuk tetap mempertahankan suku bunga tinggi.
“Ini membuat dolar kembali mengalami penguatan yang cukup signifikan,” tambahnya.
Selain itu, dampak dari perang dagang yang dilontarkan oleh Presiden Donald Trump juga tak bisa diabaikan. Sebagai pengingat saja, Trump baru saja mengumumkan tarif baru sebesar 10% pada hampir semua barang impor yang masuk ke AS.
Tak hanya itu, Trump memberlakukan tarif resiprokal atau timbal balik terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia yang berada di angka 32 persen.
“Hampir semua negara terkena dampaknya, salah satunya Indonesia, dengan tarif mencapai 32 persen. Ini di luar dugaan, karena sampai saat ini, Amerika adalah tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia. Sehingga hal ini tentu akan berpengaruh terhadap ekspor-impor dan neraca perdagangan,” papar Ibrahim.
“Selama ini, neraca perdagangan kita selalu surplus. Tapi dengan kebijakan tarif 32 persen ini, bisa saja ke depannya kita mengalami defisit,” katanya.
Ia juga menilai pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret. Tak salah, bila pemerintah membuka komunikasi dengan AS walau hingga saat ini belum ada keputusan pasti.
“Ini juga menjadi alasan bagi pemerintah untuk segera melakukan komunikasi tingkat tinggi dengan Amerika, walaupun sampai saat ini belum ada keputusan yang pasti,” ungkapnya.