News

Anies, Benarkah Antitesis Jokowi?

Tentang perbedaan ini bahkan media kelas dunia pun pernah menuliskannya.  Pada edisi 6 Juni 2020, The Economist menuliskan sebuah artikel berjudul “Indonesia’s President Has a New Rival”, yang sebagian menjelaskan perbedaan sikap dan aksi keduanya dalam melawan pandemi COVID-19.  

Tidak semua kebenaran akan disambut dengan eluk-elukan dan tabuhan rebana. Contoh paling aktual tampaknya adalah ujian sikap yang tengah dihadapi politisi Partai NasDem, Zulfan Lindan. Hanya menyuarakan pikirannya, itu pun di forum yang seharusnya memerdekakan pikiran terbuka, “Adu Perspektif” bertema “Adu Balap Deklarasi, Adu Cepat Koalisi”, yang dihelat detik.com, Zulfan harus kehilangan amanah di internal partai. Ia dinonaktifkan dari jabatan Ketua Teritorial Pemenangan Pemilu Sumatera 1 DPP Partai NasDem. Dalam kesempatan itu Zulfan menyebut Anies sebagai antitesis dari Presiden Jokowi.

Niat Zulfan sih tampaknya mentereng. Ia ingin bicara soal filsafat dialektika ala Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf terkemuka Jerman. “Pertama apa, Jokowi ini kami lihat sebagai tesa, tesis, berpikir, dan kerja. Tesisnya kan begitu Jokowi. Lalu kami mencari antitesa, antitesisnya siapa? Dari antitesis Jokowi ini yang cocok itu Anies,” kata Zulfan. Seterusnya ia bicara soal adanya perbedaan yang jelas antara Jokowi dan Anies. Dengan begitu, Zulfan menyimpulkan bahwa Anies merupakan antitesis dari Jokowi. Itu saja.

Tetapi tentu, sebagai urusan internal partai–meski NasDem sebuah partai terbuka– publik harus menahan diri.  Toh, Zulfan sendiri, apapun alasannya, tampaknya tak lagi mempersoalkan penonaktifan dirinya.

“Pada 20 April 2020 itu saya sudah mengundurkan diri dari DPP NasDem, karena diangkat Menteri BUMN, ditunjuk sebagai Wakil Komisaris Utama Jasa Marga. Otomatis saya harus mundur dulu,” ujar Zulfan dalam sebuah diskusi setelah pencopotan dirinya. Jadi, kata Zulfan, sebenarnya dia pun heran dengan surat teguran yang baru diterimanya justru setelah urusan itu geger di media massa. Dengan penerimaan DPP partai NasDem atas pengunduran dirinya pada 28 April 2020, Zulfan sebenarnya sudah tak lagi berada dalam jabatan struktural di DPP NasDem.

Sebenarnya, ungkapan bahwa Anies itu merupakan antitesis Jokowi itu bukanlah hal baru. Zulfan sejatinya hanya mengulang pernyataan banyak orang sebelumnya, tentu yang paling sering, Rocky Gerung. Bukan sekali dua Rocky mengatakan hal itu, meski kadang dengan kalimat lain. Yang terang benderang, Rocky mengatakan ada perbedaan yang jelas antara kedua figur politikus tersebut.

Yang gampang terlihat, kata Rocky, adalah perbedaan buku yang dibaca Anies dan Jokowi. Pada konten yang diunggah Senin (23/11/2020) di akun YouTube Rocky Gerung Official, Rocky menyoal Anies yang mengisi akhir pekan dengan membaca buku “How Democracies Dies” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Saat itu Rocky membandingkan unggahan Anies di akum medsosnya itu dengan foto Presiden Jokowi tengah membaca komik “Si Juki“, yang beredar 2016.

Tidak hanya pilihan buku, respons keduanya terhadap vonis bersalah atas polusi udara yang terjadi di Jakarta pun berbeda jelas. Beberapa jam setelah vonis PN Jakarta Pusat yang dibacakan Kamis (16/9/2021) itu, Gubernur Anies Baswedan menegaskan tidak akan mengajukan banding. Ia bahkan memastikan siap untuk menjalankan seluruh perintah majelis hakim guna mengatasi masalah polusi udara di Jakarta.

“Pemprov DKI Jakarta memutuskan tidak banding dan siap menjalankan putusan pengadilan demi udara Jakarta yang lebih baik,” tulis Anies dalam unggahan di akun Twitter-nya @aniesbaswedan.  Untuk itu, kata dia, Pemprov DKI sudah melakukan sejumlah hal dalam memperbaiki kualitas udara di Jakarta, salah satunya adalah mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 66/ 2019.

“Salah satu poin dalam Ingub Nomor 66/2019 adalah Pemprov DKI Jakarta ingin memastikan tidak ada angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi beroperasi di jalan dan penyelesaian peremajaan seluruh angkutan umum melalui program Jak Lingko pada 2020, sesuai amar keputusan Majelis Hakim poin 1A” kata Anies.

Berbeda dengan Pemprov DKI yang langsung menyatakan tidak mengajukan banding, pemerintah pusat memerlukan waktu lama untuk mengambil sikap atas putusan PN Jakpus itu. Belakangan, Presiden dan tiga menteri lain yang diputuskan bersalah untuk soal itu, akhirnya melakukan banding, hal yang disesalkan para penggugat yang melakukan class action tersebut.

Mengilas-balik konvensi Partai Demokrat 2013, perbedaan keduanya juga sempat diutarakan kader Partai Demokrat, Ramadhan Pohan. Menurut Ramadhan, Anies yang merupakan 100 tokoh intelektual paling berpengaruh di dunia versi majalah Foreign Policy, itu lebih unggul dibandingkan Jokowi.

“Anies beda dengan Jokowi. Jokowi kalau ada yang mampet coba perbaiki sendiri. Tapi Anies menginspirasi orang, dia gerakkan masyarakat dan dia tidak kerja sendiri,” kata Ramadhan kepada Liputan 6.com, pada Agustus 2013 itu.

Tak hanya dari sisi intelektual, dari sisi kesederhanaan pun, menurut Ramadhan, Anies jauh lebih sederhana dibandingkan Jokowi. Anies tumbuh besar menjadi seorang tokoh dari kalangan rakyat biasa, sementara Jokowi tumbuh besar dan menjadi tokoh dengan berlatar belakang seorang pengusaha.

Lainnya, kata Ramadhan yang saat itu menjabat wakil ketua Komisi I DPR, Anies tak hanya jago dalam teori, tetapi juga andal dalam bertindak.

Tentang perbedaan ini bahkan media kelas dunia pun pernah menuliskannya. Pada edisi 6 Juni 2020, The Economist menuliskan sebuah artikel berjudul “Indonesia’s President Has a New Rival”, yang sebagian menjelaskan perbedaan sikap dan aksi keduanya dalam melawan pandemi COVID-19.

Di situ  antara lain disebutkan, bahkan penamaan aksi mereka pun berbeda. Manakala Jokowi memberi nama “new normal”, Anies mengedepankan konsep “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi” untuk kondisi tersebut.

Tulisan itu juga menyoal aneka perbedaan sebelumnya dalam menghadapi pandemi, mulai dari pemerintah pusat yang kurang responsif terhadap program penanganan COVID-19 yang digagas Anies, sampai soal signifikannya perbedaan data antara Istana dengan Balai Kota.

Terlalu banyak untuk disebutkan detil perbedaan berdasarkan komentar banyak tokoh di media massa. Misalnya, perbedaan keduanya merespons tawaran nyapres saat masih memegang amanah. Sementara Jokowi dianggap segera menangkapnya dengan antusias, Anies, terbukti pada Pilpres 2019, bisa menolak itu.

Yang terbaru, datang dari CEO Polmark Indonesia, Eep Saefullah Fatah. Saat diminta menjadi salah satu panelis dalam acara yang digelar inilah.com, Eep mengatakan, kepemimpinan keduanya berbeda karena Anies sendiri bukanlah seorang petugas partai.

“Pak Jokowi itu sudah jadi pekerja partai sejak jadi Walikota di Solo, bukan ketika jadi presiden. Dan Anies berhasil tidak jadi pekerja partai selama lima tahun jadi gubernur,” kata Eep.

Oh ya, setelah berpanjang-panjang, sejatinya buat apa kita mempersoalkan perbedaan? Bukankah perbedaan di antara manusia memang hal yang digariskan Allah. Di SMA, hukum Darwin I saja bicara tentang niscayanya perbedaan.

“Tidak ada dua individu yang persis sama,” kata penulis mahakarya “The Origin of Species” itu. Buat pembaca muda, kaum milenial dan Z yang unyu-unyu, pernyataan itu persis syair lagu Drake, penyanyi rap asal Kanada. “We don’t dress alike. We don’t rap alike. I shine different. I rhyme different”.

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button