News

Anies di Antara Pusaran Pilihan Politik NasDem-PKS-Demokrat

Senin, 31 Okt 2022 – 07:41 WIB

Anies Baswedan. (Foto: Istimewa)

Anies Baswedan. (Foto: Istimewa)

Ajang Pemilu Presiden 2024 tidak melulu membicarakan seputar calon presiden. Posisi bakal calon wakil presiden juga menjadi sorotan partai politik dan publik. Tarik menarik kepentingan pun sulit dihindari oleh semua partai politik dalam memilih calon wakil presiden (cawapres).

Posisi cawapres dianggap memang memiliki peran sangat penting dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Belakangan, yang hangat menjadi perbincangan adalah dinamika seputar memilih bakal cawapres pendamping Anies Baswedan yang sudah dideklarasikan oleh Partai NasDem sebagai bakal Capres 2024.

Anies sendiri telah menyebutkan tiga kriteria bakal cawapres yang akan mendampinginya di Pilpres 2024. Bagi Partai Demokrat, tiga kriteria yang disampaikan Anies dalam mencari pendamping sangat rasional dan realistis.

Ketiganya yaitu, pertama, memberikan kontribusi dalam proses pemenangan,. Kedua, membantu memperkuat koalisi dan stabilitas koalisi. Dan ketiga, membantu dalam pemerintahan yang efektif.

Seperti disebutkan Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, kriteria ini mencakup tiga hal dan tiga fase untuk saling mendukung antara Anies dan cawapresnya, baik saat Pemilu maupun setelah Pemilu bila nantinya memenangkan pemilihan.

Pada fase prapencapresan, seorang bakal cawapres berkontribusi pada terbentuknya koalisi dan pemenuhan ambang batas presidential threshold. Selain itu, bakal cawapres harus mempunyai relasi yang baik antarpartai guna menjaga soliditas koalisi. Artinya, pada fase prapencapresan, figur bakal cawapres juga bisa berkontribusi secara elektoral.

Kemudian, pada fase pencapresan cawapres pun mesti memiliki instrumen dan basis dukungan yang memadai untuk saling mengisi dan menguatkan guna mewujudkan kemenangan dalam Pemilu Presiden.

Berikutnya, fase pasca-Pilpres, yakni setelah memperoleh mandat rakyat pada kontestasi Pilpres maka figur cawapres juga bisa bekerja sama untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif.

Simbolis dan strategis

Begitu pentingnya posisi dan peran seorang cawapres diterangkan Direktur Eksekutif Trust Indonesia, Azhari Ardinal. Ia menjelaskan, capres dan cawapres ini adalah satu paket politik yang mempunyai nilai simbolis bagi rakyat Indonesia. Akan ada loyalitas dan kesetiaan yang dibangun pemilih pada pasangan kandidat ini menjelang kontestasi 2024 nanti.

Namun, kecerdasan politik publik terus bertumbuh dan mulai bisa membaca bahwa pasangannya capres ini lebih dipilih karena urusan kepentingan menang. Hal inilah yang membuat posisi cawapres menjadi sangat strategis di tengah tidak ada satu capres pun yang mampu mengendalikan semua instrumen politik untuk menang.

Hubungan pemilih dengan partai atau kandidat itu diikat oleh sosialisasi, kedekatan yang umumnya dibangun lewat proses yang panjang. Pertimbangan seseorang dalam memutuskan memilih kandidat atau partai lebih kompleks yang mengikat seperangkat nilai-nilai atau kepercayaan atau ideologi. “Jadi, posisi itu mungkin penting dalam syarat pencapresan, namun tidak akan berpengaruh besar kepada pemilih itu sendiri,” kata Azhari kepada Inilah.com, Minggu (30/10/2022).

Dalam pandangannya, hubungan pemilih dengan partai atau kandidat itu diikat oleh sosialisasi, kedekatan yang umumnya dibangun lewat proses yang panjang. Pertimbangan seseorang dalam memutuskan memilih kandidat atau partai lebih kompleks yang mengikat seperangkat nilai-nilai atau kepercayaan atau ideologi. Jadi, posisi itu mungkin penting dalam syarat pencapresan, namun tidak akan berpengaruh besar kepada pemilih itu sendiri.

Azhari juga menggarisbawahi, politik Pilpres itu adalah tentang mencapai akuntabilitas politisi kepada pemilih. Dan penilaian pemilih terkait hubungan dukungan parpol terhadap capres sudah dimulai dari bagaimana koalisi memilih sosok yang akan dimajukan.

Menyinggung apakah posisi capres sebaiknya dari kalangan parpol atau nonparpol tidak masalah, Azhari berpendapat bahwa dari parpol maupun nonparpol tidak menjadi penting, karena saat ini semakin banyak pemilih yang merasa tak lagi sejalan dengan ideologi partai.

“Ini yang menyebabkan menurunkan kesetiaan pemilih pada partai semakin menurun dan tidak masalah bagi pemilih dari kalangan atau di luar kalangan partai capres yang akan dipilih,” ungkap Azhari.

Azhari mencermati bahwa hal ini bisa dilihat dari kasus Anies di antara pusaran pilihan politik Partai NasDem, PKS, dan Demokrat. Begitu juga dengan Ganjar Pranowo di antara pusaran pilihan politik basisnya PDIP, yang memang publik yakin pilihan tegak lurus partai akan kepada Puan Maharani, namun jelas akan membelah sebagian pemilihnya di 2019 yang lalu.

Kemudian tiga parpol —Partai Golkar, PAN, dan PPP— yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang sampai saat ini belum juga mengumumkan capresnya lantaran tidak merasa yakin akan mencalonkan kader partainya sendiri di tengah begitu populernya dukungan publik kepada capres nonpartai. “Jadi iklim politik kita memang sudah berubah. Di mana ada perubahan psikologi, orientasi, dan persepsi publik berjalan lebih cepat daripada kemampuan partai mengadopsinya,” demikian Azhari menerangkan lebih lanjut.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button