Kanal

Iwan Fals: Kembali Kritis Atau Justru Ia tak Pernah Berubah?

Iwan pernah tampil dengan syair-syair kritis yang simbolik, sejak muncul tenar melalui album yang sering dianggap sebagai debutnya, “Sarjana Muda”, 1981. Ia berubah menjadi lebih tegas, lugas dan to the point seiring kedekatannya dengan Rendra mulai 1990. Kini, saya sendiri menilai Iwan kembali kepada jati dirinya, kritis, namun penuh bijak dan santun. Itu yang membedakannya dengan epigonnya di awal 1980-an saat itu, Doel Sumbang

Oleh   : Darmawan Sepriyossa*

Pertengahan pekan ini media sosial diramaikan potongan video konser Iwan Fals,  “Bertalu Rindu: Ikrar”, yang digelar di Leuwinanggung, Bogor, Sabtu (29/10/2022) lalu. Potongan video Iwan membacakan puisi WS Rendra, “Kecoa Pembangunan” di sela-sela nyanyian “Balada Pengangguran” itu viral dan mendapatkan banyak komentar di media sosial.

Sekian banyak respons mengemuka di medsos. Di akun Twitter @yaniarsim yang turut mengunggah potongan video tersebut, yang hingga Rabu lalu dipirsa sekitar 152 ribuan akun, sekian banyak orang tampak terkejut. “Dia lupa kalau dia pendukung kecoa,”kata akun [email protected], sambil menyertakan emoji mengakak. “Mungkin sdh bosan,”timpal akun @ade_item88, juga dengan emoji mengakak. Namun ada juga yang membela.  “klo yg dimaksud @iwanfals pasti bukan rezim joko,”kata akun @ahm4dz4in, dengan emoji tawa.

Asal tahu saja, sejak Pilpres 2014 banyak kalangan warganet melihat Iwan merupakan pendukung berat Jokowi. Latar belakang itu yang membuat beragam komentar miring di atas terasa wajar. Bahkan via dunia maya pula, pada tahun-tahun awal periode pertama pemerintahan Jokowi, manakala berbagai persoalan sosial mulai meruyak, banyak warganet mempertanyakan Iwan yang menurut mereka ‘diam’, kehilangan sifat kritisnya.

Semua itu tampaknya berawal dari kunjungan Jokowi ke rumah Iwan pada Kamis, 3 April 2014, beberapa saat sebelum Pemilu berlangsung. Sebenarnya Iwan sendiri sudah mengklarifikasi pertemuan itu, sehari setelahnya.

“Biasa saja,” kata Iwan, usai didatangi Jokowi yang saat itu masih gubernur DKI Jakarta meski sudah menjadi bakal calon presiden dari PDIP tersebut. Jokowi memang saat itu datang bersama Ketua MPR (saat itu) dan politisi senior PDI-P, Sidarto Danusubroto, selain politisi Eva Kusuma Sundari dan sejumlah relawan Seknas Jokowi.

“Saya banyak didatangi politisi sebelumnya. Pernah antara lain, Gubernur Jawa Barat (saat itu) Ahmad Heryawan; mantan Menteri Kehutanan, MS Kaban; mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault; dan mantan Ketua MPR, Amien Rais,”kata Iwan. Kepada Jokowi, saat itu Iwan bahkan menyatakan dirinya berharap Jokowi tak memanfaatkan kedatangan itu sebagai upaya mencari dukungan politik.

“Ini bukan pertemuan politik. Mas Iwan sudah lama kenal dengan saya sejak di Solo. Jadi, jangan dikait-kaitkan dengan masalah politik,”ujar Jokowi, menjawab pernyataan Iwan di hadapan wartawan. Namun apa hendak dikata, pertemuan itu segera dianggap public sebagai dukungan Iwan kepada Jokowi.

Sebenarnya, pihak Iwan juga bukan tak pernah membantah rumor soal dukungannya kepada Jokowi itu. Pada 23 Mei 2014 itu pihak Iwan sudah membantah memberikan dukungan. “Kami sebagai manajemen Iwan Fals, dengan ini menyatakan bahwa isu yang beredar tentang Iwan fals mendukung Jokowi adalah tidak benar. Bahwa pilihan Iwan Fals terhadap capres adalah privasi beliau, dan tetap memilih untuk bersikap netral pada publik. Mohon agar info ini cukup menjelaskan dan tidak ada simpang siur selama Pilpres ini,” tulis manajemen Iwan Fals di Twitter.

Tercatat 15.292 orang menyukai (like) posting tersebut, sementara muncul 1.452 komentar untuk itu. Umumnya mereka mendukung sikap Iwan Fals.

Tetapi ketika sekian waktu setelah itu Iwan Fals terkesan ‘sakit gigi’ atau mungkin ‘sariawan’, sementara aneka persoalan sosial ramai membuat gundah masyarakat, orang-orang pun wajar bertanya-tanya.  Maka manakala pada 30 November 2018, saat Iwan mencuit, “Pemuda Muhammadiyah netral di Pilpres 2019, sama doong…” , mengomentari pilihan netral yang diambil Pengurus PP Pemuda Muhammadiyah, yang direspons sekian banyak warganet dengan negatif, benar-benar tak terduga.

Misalnya, mereka yang tampaknya kebanyakan merupakan generasi milenial ke bawah itu berkomentar:

Sejak gabung dengan Jokowi, si @iwanfals berubah jadi watak penipu. Watak pengkhianat partisan penjual asset bangsa. Sekarang ngaku netral?” cuit @yan_tanuwidjaya. “Ya gitu deh kalo udah deke-deket Pemilu ngakunya netral,”tulis akun @ziannnaralendra. Itu sekadar dua contoh dari sekian banyak komentar bernada miring yang muncul.

Belakangan, Iwan bahkan tak jarang seolah mendukung Jokowi, atau keluarga dan karibnya. Misalnya, pada Mei 2021, Iwan mencuitkan dukungan kepada Kaesang Pangarep untuk jadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Sang Legenda optimistis anak bungsu Jokowi itu pantas dan cocok. “Kayaknya cocok nih jadi menpora,” cuit Iwan di akun Twitter-nya, @iwanfals. “Di samping senang sepak bola, badannya sterek, muda lagi, siapa tau olahraga kita maju pesat, melesat cepat, dan tentu saja hebat, filingku sih gitu, gimana situ,”ia menambahkan. Tentu saja, posting itu pun memicu banyak respons pro dan kontra.

Itulah tampaknya yang membuat public cenderung memandang Iwan merupakan pendukung kuat Jokowi, lepas dari diakuinya atau tidak.

Maka ketika akhir Oktober itu Iwan terkesan lain dengan kembali kritis, banyak netizen yang terkesan kaget, sebagaimana terekam pada respons-respons mereka di atas. Respons yang bagi sebagian kalangan lain yang tetap intens mengikuti perkembangan bermusik Iwan, datang dari mereka yang tidak sepenuhnya mengikuti perkembangan Iwan.

Akun @MoeizFals, misalnya. Seraya memosting unggahan berjudul “Kata siapa Iwan Fals Tidak Kritis Lagi?”, Abdul Muis menyertakan judul-judul lagu baru Iwan Fals yang dibuatnya untuk merespons aneka krisis sosial, sesuai lini masa. Misalnya,  pada 2020 Iwan merilis lagu “Almari”, yang berisikan kritik terhadap korupsi dana Bansos. Pada tahun itu pula Iwan merilis “Sempak”, lagunya tentang maraknya korupsi, “Benar-benar Benur” (tentang korupsi Menteri Kelautan), “Apakah Masih?” yang dibuatnya dalam keprihatinan atas pembantaian anggota Laskar FPI.

Pada 2021, Iwan merilis, antara lain, “Sulit Terkendali” (soal COVID-19), “Polisi dan Bajingan”, “Buzzer” (tentang fenomena negatif medsos). Sementara tahun ini Iwan telah pula merilis “Pliss Piss” dan “Minyak Goreng” atas kelangkaan dan buruknya pengelolaan minyak goreng.

Tentang konser “Bertalu Rindu: Ikrar” sendiri, sejatinya Iwan sejak lama telah mengagumi penyair WS Rendra. Kekagumannya itu ia tuangkan dalam lagu “Willy” yang terekam dalam album “Ethiopia” yang memasuki pasar tahun 1986. Willy adalah panggilan buat penyair Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra), yang setelah menjadi Muslim berubah menjadi Willy Sulaiman Rendra. Pada 1986 itu ‘Si Burung Merak’ yang banyak menuliskan puisi kritik sosial dan sindirin politik, memang memilih uzlah (menyepi) dari public, karena ancaman pihak penguasa saat itu. Lewat lagu “Willy”, Iwan menyuarakan rasa rindunya kepada sang penyair yang seolah hilang ditelan bumi.

Si anjing liar dari Jogjakarta/Apa kabarmu?

Kurindu gonggongmu/Yang keras hantam cadasDi mana kini kau berada?

Tetapkah nyaring suaramu?/Di mana runcing kokoh paruhmu?

Tetapkah angkuhmu hadang keruh?

Baru empat tahun kemudian, ketika Iwan mengalami perkembangan spiritual pesat akibat pelarangan “Konser 100 Kota”-nya, Rendra dan Iwan digabungkan nasib dalam membentuk band kolosal ’Kantata Takwa”. Selain Iwan dan Rendra, personel Kantata Takwa saat itu tercatat Setiawan Djodi, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo (alm), Budhy Haryono, Eet Sjahranie, Donny Fattah, Embong Rahardjo, Raidy Noor, Nanoe (alm), Naniel (alm), Inissisri (alm), Totok Sihad dan Iwan S.H.

Konser Kantata tahun 1990 tercatat merupakan konser terbesar yang digelar di Indonesia, yang terselenggara dengan sangat aman, hingga saat ini. Wajar bila pada 2007, album “Kantata Takwa” masuk ke peringkat ke-64 di dalam daftar “150 Album Indonesia Terbaik” yang diterbitkan Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Desember 2007. Dalam daftar itu, lagu Iwan, “Bongkar” menjadi peringkat pertama lagu terbaik Indonesia sepanjang masa.

Jika filsuf Heraklitos bilang “Panta rei” untuk menegaskan tak ada satu pun hal yang tak berubah di alam ini, itu juga terjadi pada Iwan Fals. Tetapi, yang tampak di mata saya, perubahan itu adalah perubahan Iwan yang kian dewasa dan matang, seiring usia. Iwan pernah tampil dengan syair-syair kritis yang simbolik, sejak muncul tenar melalui album yang sering dianggap sebagai debutnya, “Sarjana Muda”, 1981. Ia berubah menjadi lebih tegas, lugas dan to the point seiring kedekatannya dengan Rendra mulai 1990. Kini, saya sendiri menilai Iwan kembali kepada jati dirinya, kritis, namun penuh bijak dan santun. Itu yang membedakannya dengan epigonnya di awal 1980-an saat itu, Doel Sumbang. [ ]

*fans Iwan Fals sejak muda, mendirikan Fals Fanatik Fans saat SMP tahun 1983, di antara teman-temannya di Majalengka.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button