Kanal

Antara Menang dan Kerbau

Mohammad Hatta pada 11 Juni 1957 menegaskan, “Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya…. Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib.” (Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik, LPE3S, Jakarta, 1990, halaman 504-505. Bandingkan, Mohammad Hatta, Bung Hatta Berpidato Bung Hatta Menulis, Penerbit Mutiara, Jakarta, 1979, halaman 73-93)

Barangkali, dari beragam sumbangan pemikiran, perilaku, tindakan, dan capaian kehidupan Hatta, yang terus akan berkembang dan bermasalah menyangkut demokrasi dan nasionalisme di Indonesia. Rujukan Hatta tentang demokrasi juga beragam, mulai dari alam pikiran Yunani, sampai alam pedesaan Indonesia.

Atas dasar demokrasi dan nasionalisme, Perhimpunan Indonesia (PI) menerbitkan buletin paling terkenal di Belanda, “Indonesia Merdeka”, yang menyebabkan Hatta dan kawan-kawan diadili yang, uniknya, justru tak dibela kalangan komunis Belanda yang getol berbicara tentang kolonialisme (MR JEW Duijs, Membela Mahasiswa Indonesia Di Depan Pengadilan Belanda, PT Gunung Agung, Jakarta, 1985, halaman 3), sebagaimana dukungan yang diterima oleh Ibrahim Tan Malaka ketika ditangkap dan dibuang ke Belanda, lalu menetap di Moskwa, Uni Soviet. (Harry A Poeze, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (I), PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1988, halaman 263)

Di bidang ekonomi, Hatta tak lupa mencantumkan demokrasi ekonomi, lalu menemukan bentuk ideal koperasi berdasarkan ritual perjalanannya di negara-negara Skandinavia dan akarnya dalam masyarakat desa. Begitupun dalam sosialisme, ia tak lupa mencantumkan sosialisme demokrasi. Tanpa demokrasi, sosialisme akan kehilangan arah, dukungan, dan tujuan. Dari keseluruhan bangunan pikiran itu, Hatta dengan tegas menyebutkan agama yang ia anut, Islam, sebagai fundamen. Ia menjadikan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai roh atau landasan tauhid sila-sila berikutnya. Ini juga sesuai dengan falsafah utama alam Minangkabau, adat basandi syara’ (agama, syariat), dan syara’ basandi Kitabullah (Al Quran).

Demi penghormatan atas demokrasi, Hatta mundur dari pemerintahan, mengubah dwitunggal menjadi dwitanggal, di alam kemerdekaan. Sekalipun para pendukungnya meradang, lalu meletuskan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di kampung kelahirannya, yang didominasi oleh panglima militer di Sumatera dan Sulawesi, juga Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi, Hatta menolak bergabung. Sebaliknya, ia mengecam kekerasan militer dalam memadamkan pembangkangan itu. Hatta menulis risalah kecil bernama “Demokrasi Kita” (DK).

“Apa yang terjadi sekarang ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki, (yang) lambat laun digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi dari sejarah dunia!” (Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting), Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Jakarta, 1992, halaman 112)

Ketika Hatta mengecam Bung Karno yang tidak mendorong proses demokratisasi, ia tidak mengalami tindakan fisik, berupa penahanan. Padahal, Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, Ida Anak Agung Gde Agung, dan tokoh Masyumi dan PSI lainnya masuk penjara. Soekarno hanya menyindir Hatta, berdasarkan bisikan orang-orang di sekelilingnya.

Hatta juga tak memilih kawan bergaul, saking demokratis dan egaliternya. Ia “tersandung” dalam kasus Sawito yang sebetulnya kasus biasa, tetapi menjadi luar biasa ketika tokoh-tokoh seperti Hatta, Buya Hamka, Kardinal Justinus Darmojuwono, dan TB Simatupang ikut menandatangani dokumen yang dijadikan oleh Soeharto untuk menyatakan konspirasi politik penggulingannya. Padahal, usia Hatta sudah 74 tahun bahkan ia harus memakai kaca pembesar untuk membaca. (Tempo, 2 Oktober 1976)

Sikap Hatta yang ‘kurang teliti’ itu mendapat perlakuan buruk. Ia dipaksa menandatangani konsep surat yang bukan ditulisnya sendiri, sehingga tidak menggambarkan kekhasan bahasanya. Ia “diinterogasi” oleh Jaksa Agung lewat surat tanggal 18 Desember 1976. Ia juga ditanya soal pemberian maaf untuk Soekarno. Hatta mengalami gangguan yang tak masuk akal, diusik, untuk sekadar pertaruhan politik di sekitar pembantu-pembantu Soeharto.

Hatta juga dikenal sebagai nasionalis sejati. Ia berjuang di Belanda dan daratan Eropa, bersama dengan pejuang-pejuang lain dari beragam garis ideologi dan negara di tengah bangkitnya kerja sama antikolonialisme di kalangan kaum pergerakan di berbagai belahan Dunia Ketiga. Ia amat percaya Indonesia pasti merdeka. Demi tujuan itu, Hatta rela untuk tidak menikah.

Pepatah klasik adat Minangkabau, “Kawinilah ibumu sebelum kawin dengan orang lain!” hidup dalam dirinya. Mengawini ibu ini maksudnya adalah mencukupi kebutuhan ibu kandung, bahkan kalau bisa mencari uang agar ibu bisa pergi ke tanah suci, Mekah, Arab Saudi. Hatta menerapkannya dengan cara yang lain, tidak menikah sebelum Ibu Pertiwi merdeka. Parameter pencapaian kemerdekaan hakiki, langsung melekat dalam dirinya, sebagaimana ukuran lain dalam kedisiplinan, ketelitian, pendidikan, demokrasi, agama, dan kemajemukan.

Hatta tidak hanya menulis dan berpidato, tetapi langsung memakainya. Hatta bisa disebut “buah pikiran yang berjalan”. Ia hidup dari pikiran-pikirannya, dan pikiran-pikirannya hidup dari dia. Satu kombinasi yang kemudian secara tajam diterjemahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai sufi dalam bidang agama Islam (Nurcholish Madjid, “Bung Hatta: Dari Demokrasi Minangkabau ke Demokrasi Indonesia”, pada Pidato Kebudayaan untuk Acara Peringatan 100 Tahun Bung Hatta, Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia, Jakarta, 7 Juni 2002). Tepatnya, sikap zuhud terhadap dunia.

Dari mana Hatta memperoleh seluruh esensi demokrasi dan nasionalisme itu? Kenapa nasib demokrasi dan nasionalisme meredup, atau menyimpang? Sebaiknya kita menyelam ke masa silam, menyangkut pergumulan Sumatera Barat (Sumbar) dalam awal abad ke-20, ketika kaki Gunung Merapi dan Singgalang dikuasai oleh bangsa kulit putih, sejak tahun 1837. Sumbar pada tahun-tahun itu menjadi muntahan lava berbagai bentuk pemikiran. Sekolah gabungan modern dengan tradisional sedang marak. (Taufik Ismail et.al., (ed), “Manusia Dalam Kemelut Sejarah”, LP3S, Jakarta, 1978, halaman 219-243)

Kaum adat dan kaum agama menjadikan sekolah dan media massa sebagai arena perdebatan. (Khairul Jasmi, Surat Kabar Minang: Konfigurasi Pemikiran Menakjubkan, dalam majalah Pantau, Tahun II Nomor 022 – Februari 2002, Jakarta, halaman 56-59)

Di Batavia, sastrawan-sastrawan Minang sedang riuh-rendahnya memikirkan, merenungkan, mengolok-olok, atau merumuskan kebudayaan modern. (Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusasteraan Indonesia Modern, edisi baru, cetakan ke-3, Djambatan, Jakarta, 1990, halaman xii-xiv).

Padang, Medan dan Jakarta adalah segitiga pertumbuhan pengetahuan dan kebudayaan dalam skala massif, dengan lingua franca Melayu yang egaliter.

Sementara, Belanda sedang mengalami pendinginan arah invasi teritorial, setelah lelah menghadapi perjuangan rakyat Aceh yang baru berakhir tahun 1904. Dalam tingkat global, Jepang baru saja mengalahkan Rusia dalam perang tahun 1905. Kekalahan Rusia adalah awal kebangkitan Asia atas dominasi bangsa-bangsa kulit putih Eropa. Dunia Eropa-Amerika juga sedang bergejolak dengan Perang Dunia Pertama dan dilanjutkan dengan Perang Dunia Kedua.

Nasionalisme dan demokrasi

Hatta adalah tipikal manusia yang berjalan lurus. Satu pepatah Minang mungkin hidup dalam dirinya, sejauh-jauhnya terbang bangau, pasti kembali ke kubangan. Sekalipun terkenal sebagai orang yang berpendidikan Belanda dan modern, Hatta tak kehilangan jati dirinya. Ia hanya mengambil apa yang dianggap perlu dari pemikiran, struktur pemerintahan, sampai konsepsi demokrasi dan nasionalisme yang didapatkan dari pengembaraan di Eropa. Hampir keseluruhan rujukannya dapat dipulangkan ke Nagari asal, sekaligus kontra interpretasinya.

Dari Nagari, Hatta menemukan prototipe dari Indonesia, kebudayaannya, juga bentuk hubungan kekuasaan dalam bingkai demokrasi. Ketika bercerita tentang pasar di Bukittinggi, Hatta menulis, “Pasar dan pekan (pasar-Red) itu teratur baik”. Bukan pemerintah setempat yang mengaturnya, melainkan Nagari menurut tradisi. Waktu politik mulai masuk ke daerah Minangkabau sering terdengar perkataan orang di pasar Bukittinggi dengan menunjuk ke rumah Asisten Residen yang tidak jauh dari situ: ‘Beliau itu di situ berkuasa, memerintah seluruh Agam, tetapi di sini kita yang kuasa. Ini anak negeri yang punya. Di sini masih berlaku Plakat Panjang, yang sudah dirobek-robek oleh Belanda.” (Mohammad Hatta, Memoir, Tintamas, Jakarta, 1979, halaman 4).

Hatta termasuk salah satu pemikir besar Indonesia yang tak memutuskan mata rantai atau tali-temali budaya dari daerah asalnya, termasuk dari dunia pertamanya. Ia tak mengalami sindroma budaya, sebagaimana digambarkan dalam novel “Salah Asuhan”. Hatta juga bercerita tentang linglungnya orang-orang Indo yang sekapal dengannya ketika sampai di Pelabuhan Rotterdam (Mohammad Hatta, op.cit., halaman 104). Tetapi ia juga tak terjebak dengan simbol-simbol adat, sebagaimana juga tidak dalam posisi anti-asing secara kurang proporsional.

Dalam berpakaian, Hatta malah lebih dikenal dengan pakaian resmi, dan tidak pernah menggunakan pakaian adat. Istri Hatta bahkan menggunakan kebaya dan tidak menggunakan kerudung yang tertutup ketika menikah tanggal 18 November 1945, sebagai tanda ia bukanlah orang yang terjebak dengan simbol-simbol agama. Hatta tak punya dan tak memakai gelar Datuk (penghulu).

Ia mengaku lupa nama suku ibunya, padahal suku penting bagi orang Minang, mungkin juga sebagai penghormatan kepada ayah tirinya Mas Agus Haji Ning yang merupakan keturunan ketujuh dari Pangeran Sidang Bajak, atau bisa jadi sebagai kritikan atas adat istiadat yang tak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Keadaan ini sangat berbeda dengan Orde Baru, ketika Minang mengalami Golkarisasi dan feodalisasi, yang terlihat dari penggunaan gelar Datuk oleh hampir seluruh pejabat di Minang, bahkan juga turut dilekatkan kepada pejabat di luar Minang.

Dalam demokrasi, Hatta malah pernah berpolemik tajam dengan seorang penulis yang menyebut nama “Si Rakyat” yang menulis di majalah “Persatoean Indonesia”. “Si Rakyat” mengkritik penggunaan nama Volkssouvereiniteit sebagai bahasa Belanda dan menyimpulkan demokrasi Indonesia sebagai barang impor. Hatta membalas: “…perkataan ‘demokrasi’ yang dipakai oleh Si Rakyat tidak asli. Perkataan itu juga import!….Partai-partai Indonesia disuruh memakai semboyan ‘Demokrasi Indonesia’… “Sebagai contoh disebutnya pengertian demokrasi di Minangkabau: Sepakat. …. ia mengutip suatu pepatah Minangkabau, yaitu: ‘Kemenakan beraja (tunduk seperti diperintah raja-Red) ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat’. Mufakat siapa? Bukan mufakat rakyat, melainkan mufakat penghulu saja. … sudah banyak benar sekarang jumlah kemenakan yang tiada mau lagi ‘beraja’ ke mamak dan penghulu….” (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1976, cet. 2, halaman 123-129)

Inilah kritik Hatta atas model “permufakatan” adat yang esensinya tidak melibatkan masyarakat. Idealisasi Hatta atas adat Minang dalam sejumlah hal justru bertentangan dengan pemahaman orang banyak.

Hatta tak mengalami semangat nasionalisme radikal, sebagaimana label yang diberikan kepada Tan Malaka. Ia juga tak berubah menjadi seorang yang sangat liberal, sekalipun pengacaranya berasal dari kalangan liberal Belanda, apalagi nasionalisme puritan ala Soekarno yang terkenal dengan Trisaktinya (merdeka di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berdaulat di bidang budaya). Ia tak suka menggado-gadokan berbagai aliran ideologi yang saling bertentangan, sebagaimana dilakukan oleh Soekarno atas Marxisme, Islamisme, dan nasionalisme, yang berubah menjadi Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) di usia tua.

Dalam membangun pemikiran, Hatta amat hati-hati, nyaris kompromis. Tetapi kompromismenya bukan tanpa batas, ketika ia mundur dari kursi Wapres, juga tidak bersedia bergabung dengan PRRI, atau memilih Pendidikan Nasional Indonesia (PNI), ketimbang bergabung dalam Partai Rakyat Indonesia (Partindo) dalam urusan koperasi dan nonkoperasi dengan Belanda. Hatta bukan orang yang melampaui batas-batas yang sanggup dijalani. Dalam nasionalisme, ia tahu dan mengerti mana yang tubuh, mana bayangan dari tubuh ketika diterpa matahari. Ia tak melangkah melebihi bayangan diri sendiri, atas nama utopianisme semu. Makanya, ia jarang terjerembab.

Dalam demokrasi, ia memilih pendekatan kemanusiaan, walau sering disatu-nafaskan dengan pemikiran sosialisme. Dasar kerakyatan Hatta dalam demokrasi, dibangun atas kesadaran rakyat sendiri, dan bukan elite. Dalam bentuk negara, pemikiran Hatta berkembang menjadikan Indonesia sebagai negara serikat, walau gagal. Tetapi ia tetap mampu memasukkan Pasal 18 dalam UUD 1945, juga berbagai catatan di seputar UUD 1945, dalam Aturan Penjelasan dan Aturan Peralihan. Hatta juga dikenal sebagai penggagas awal desentralisasi dalam skala luas, termasuk desentralisasi partai politik dan pemilu sistem distrik. Minang, memang terkenal dengan susunan Nagarinya, membentuk “pemerintahan” berdasarkan konfederasi Nagari.

Demokrasi model Hatta juga bukan demokrasi yang bersifat tunggal. Ia suka demokrasi multipartai, dengan melahirkan Maklumat X tahun 1945, untuk menolak fasisme Jepang. Namun ia kecewa Pemilu 1955 tidak menghasilkan pimpinan-pimpinan politik yang andal, akibat banyak anggota DPR yang sebetulnya “ditunjuk” oleh partainya, bukan langsung dipilih rakyat. Yang dipilih rakyat ialah partai atau kelompok dalam daftar Pemilu.

Sistem daftar seperti ini mengurangi demokrasi, katanya, dan malah cenderung pada oligarki. Tapi Hatta juga bukan tokoh yang anti pada partai, atau bermaksud menguburkan partai-partai. Hatta malah mengingatkan berbahayanya sistem kepartaian yang dibangun oleh Soeharto, yang membatasi jumlah partai dan melahirkan massa mengambang.

Dalam nasionalisme, Hatta tak berlaku chauvinistik. Ia bukan lagi orang pemerintah ketika Soekarno atas nama Demokrasi Terpimpin mengusir 40.000 orang Belanda dari Indonesia, dan melakukan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda di bidang perkebunan dan eksploitasi minyak tahun 1957.

Ia tak punya peran ketika Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) awal tahun 1965 dan Soekarno mempersiapkan suatu konferensi besar New Emerging Forces (Conefo). Padahal, sebelumnya, Hatta penyumbang konsep “Mendayung di Antara Dua Karang”, lalu prinsip itu lebur termuat dalam Dasasila Bandung dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955. (Mohammad Hatta-Gde Agung, “Surat Menyurat Hatta dan Anak Agung: Menjunjung Tinggi Keagungan Demokrasi dan Mengutuk Kelaliman Diktatur”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, halaman)

Hatta juga menggagas Program Ekonomi Benteng, mirip dengan yang dilakukan oleh Mahathir Mohamad di Malaysia, untuk melindungi ekonomi pribumi. Dalam metode perjuangan yang terbagi menjadi koperasi dan nonkoperasi di masa Jepang, Hatta memilih menempuh cara koperasi, lalu bergabung dalam Poetera (Pusat Tenaga Rakyat). Bersama Soekarno dan Ki Bagus Hadikusumo, ia pergi ke Tokyo bulan November 1943, lalu bertemu Tenno Heika. Ketiganya dianugerahi Bintang Ratna Suci, Kelas II untuk Soekarno, dan kelas III untuk Ki Bagus dan Hatta, hingga menggemparkan golongan Kempetai (polisi rahasia) Jepang.

Tetapi ketika dibuang ke Bangka, dengan tegas Hatta menolak menemui pimpinan Belanda di Jakarta untuk berunding, karena ia wakil presiden. “Bukan aku yang perlu bicara dengan PM Drees, tetapi mungkin ia yang perlu dengan aku. Sebab itu ia mesti datang ke Bangka,” kata Hatta. (Mohammad Hatta, Memoir, op.cit., halaman 546)

Hatta tak kehilangan gagasan-gagasannya, dalam dua rezim otoriter pribumi. Ia bergerak dengan cara tersendiri. Ia tetap menulis surat kepada Soekarno, juga ke berbagai orang dekat dan jauh. Ia rajin mendatangi tempat-tempat di seluruh negeri, lantas menuliskan pemikirannya atas masalah yang dihadapi rakyat. Di masa Orde Baru, ia nyaris sangat miskin, tak mampu membayar kebutuhan rumah tangganya. Gubernur DKI Ali Sadikin, atas dasar keprihatinan, membantu Hatta untuk mendapatkan keringanan biaya listrik dan air untuk rumahnya dengan terlebih dahulu minta persetujuan DPRD DKI Jakarta. (Ramadhan KH, Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992, halaman 240)

Ia jarang berkunjung ke luar negeri, dan memilih membaca dan menulis. Ia tak mengalami sindroma apapun, setelah tak lagi aktif, dan tetap disiplin dalam hidupnya, dengan bangun pagi.

Masa depan nasionalisme dan demokrasi

Ketika Hatta meninggal tahun 1980, jutaan rakyat Indonesia menangisi kepergiannya. Penyanyi Iwan Fals membuatkan lagu khusus untuknya. Iwan seperti mengeluh pada Tuhan dengan lirik lagunya; “Tuhan, begitu cepat semua. Kau panggil satu-satunya yang tersisa, proklamator tercinta. Jujur, lugu, dan bijaksana, mengerti apa yang tersimpan dalam jiwa, Indonesia. Hujan air mata dari pelosok negeri, waktu mendengar engkau pergi. Berjuta kepala tertunduk haru, mengenang seorang sahabat…” Padahal, Iwan jarang memuja orang. Hatta pergi, tetapi tidak hilang dari ingatan orang-orang.

Di tengah krisis nasionalisme, dalam arus globalisasi yang menghempaskan identitas primordial dan sektarian, apa yang bisa dipelajari dari Hatta? Banyak, sekalipun realisasinya sungguh tak ada, kalau kita melihat dangkalnya nilai perdebatan di kalangan pemimpin Indonesia kini. International Monetary Fund (IMF) hendak ditendang, padahal Indonesia berutang. Indonesia kini adalah sebuah negeri yang sangat miskin, korupsi menggurita, juga penuh dengan konflik vertikal, horizontal, dan komunal yang ironisnya berpusar pada elitisme dan egoisme chauvinistik.

Metode nasionalisasi diulangi, bahkan dalam bentuk sempit kedaerahan, dalam kasus Maklumat Rakyat Sumbar tanggal 1 November 2001, tanpa kejelasan apakah keuntungan yang didapatkan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Semen Padang jauh lebih besar dari mudaratnya, atau hanya menguntungkan segelintir kalangan. Di tingkat nasional, politisi yang sekaligus negarawan sungguh jarang menyampaikan visi tentang Indonesia kini dan masa depan, sekaligus menyelamatkan agar perahu retak Indonesia tak lantas tenggelam.

Lalu, apa manfaat dari mempelajari riwayat Hatta? Keprihatinan. Ia telah menyusun bangunan pikiran tentang Republik Indonesia. Hampir tak ada yang terlewatkan. Prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi telah ia tegaskan dan perjuangkan.

Menonton apa yang terjadi di negeri ini, sungguh tak sebanding dengan apa yang telah dikerjakan Hatta. Mengingat Hatta, dalam kondisi elite negeri ini yang lebih suka berbeda untuk persoalan yang sudah jelas, seperti korupsi, hanyalah menonton sampah-sampah kehidupan yang tak berarti apa-apa bagi pembangunan (kembali) demokrasi. [Dsy]

Indra J Piliang

*Tulisan lama, pernah dimuat Kompas pada Jumat, 9 Agustus 2002, tatkala penulis masih menjadi peneliti politik dan perubahan sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button