Apa yang Melatarbelakangi Protes Berujung Kekerasan di Bangladesh?


Protes yang berlangsung dua minggu di Bangladesh berubah menjadi kekerasan setelah kelompok yang terkait dengan partai berkuasa menyerang pengunjuk rasa mahasiswa di ibu kota, Dhaka. Lebih dari 400 orang terluka selama unjuk rasa menentang sistem kuota pekerjaan pemerintah di tengah meningkatnya pengangguran di negara tersebut.

Protes dimulai pada 1 Juli setelah Pengadilan Tinggi memberlakukan kembali kuota pekerjaan yang menyediakan sepertiga jabatan pegawai negeri untuk anak-anak pejuang yang berpartisipasi dalam gerakan pembebasan negara pada tahun 1971.

Siapa yang Melakukan Protes?

Mahasiswa dari berbagai universitas negeri dan swasta di seluruh Bangladesh menuntut reformasi dalam sistem kuota pekerjaan konvensional. Para pengunjuk rasa, mengutip laporan Al Jazeera, mengatakan mereka tidak berpihak pada kelompok politik mana pun dan menginginkan sistem rekrutmen berbasis prestasi yang adil bagi semua.

Fahim Faruki, seorang pengunjuk rasa dan mahasiswa hubungan internasional tahun ketiga di Universitas Dhaka, mengatakan para mahasiswa mengorganisir protes melalui grup Facebook dan tidak didukung organisasi politik mana pun. Gerakan protes ini kemudian dikenal sebagai gerakan Mahasiswa Melawan Diskriminasi. Ribuan mahasiswa dari Universitas Dhaka di ibu kota serta Universitas Chittagong telah melakukan aksi duduk menentang sistem kuota.

Apa yang memicu protes? Pada 5 Juni, Pengadilan Tinggi memerintahkan pemulihan kuota 30 persen untuk anak-anak pejuang kemerdekaan, dengan menganggap penghapusan kuota tahun 2018 sebagai tindakan ilegal. Perdana Menteri Sheikh Hasina dari Liga Awami telah menghapus sistem kuota setelah protes besar-besaran.

Pekan lalu, mahasiswa dari Universitas Dhaka memblokir persimpangan jalan utama dan kantor polisi di Shahbagh, alun-alun populer di Dhaka. Blokade yang dipimpin mahasiswa di alun-alun Shahbagh berlanjut selama beberapa hari.

Bagaimana Sistem Kuota di Bangladesh?

Pada 1972, bapak pendiri negara tersebut, Sheikh Mujibur Rehman, memperkenalkan sistem kuota, yang menyediakan persentase tertentu dari pekerjaan pemerintah untuk anak dan cucu orang-orang yang bertempur dalam perang kemerdekaan tahun 1971 dari Pakistan. 

Berdasarkan sistem ini, 44 persen pekerjaan pemerintah kelas satu dan dua didasarkan pada ‘prestasi’. Sisanya yang 56 persen diperuntukkan bagi komunitas tertentu. Pembagiannya, 30 persen untuk anak dan cucu pejuang kemerdekaan, 10 persen untuk wanita, kuota zila 10 persen untuk distrik ‘terbelakang’, 5 persen untuk etnis minoritas serta 1 persen untuk penyandang disabilitas fisik.

Para pengunjuk rasa antikuota menuntut agar kuota 30 persen untuk anak-anak pejuang kemerdekaan dihapuskan. Mereka mendukung penyediaan pekerjaan untuk kelompok etnis minoritas dan penyandang disabilitas. “Aksi protes kami bukan untuk menentang sistem kuota. Melainkan untuk reformasi sistem,” kata Faruki.

Pengunjuk rasa lainnya, Ayan, 23 tahun, yang juga merupakan mahasiswa jurusan hubungan internasional di Universitas Dhaka, setuju dan mengatakan mereka tidak ingin sistem kuota dihapuskan sama sekali, tetapi ingin persentase pekerjaan yang disediakan dikurangi.

Bagaimana Tanggapan Pemerintah?

Pemerintah telah mengerahkan polisi antihuru-hara menembakkan gas air mata dan menyerang dengan tongkat selama bentrokan keras antara pengunjuk rasa dan kelompok mahasiswa pro-pemerintah. Pasukan paramiliter juga dikerahkan di beberapa distrik di tengah meningkatnya ketegangan.

Pada hari Kamis (18/7/2024), mahasiswa pengunjuk rasa dari Universitas Comilla, di tenggara Dhaka, bentrok dengan polisi, yang melepaskan tembakan, demikian dilaporkan media lokal. Dua puluh orang, termasuk mahasiswa dan tiga polisi, terluka akibat kejadian tersebut.

Para pemimpin partai berkuasa dan menteri telah mencoba menggambarkan para pengunjuk rasa sebagai pihak anti-nasional dan menentang pemerintah setelah Perdana Menteri Hasina, yang telah berkuasa sejak 2009, menyebut mereka sebagai ‘Razakars’. Di Bangladesh, Razakar adalah istilah ofensif merujuk pada mereka yang mengkhianati Bangladesh dalam perang tahun 1971 dengan dukungan Pakistan.

“Mengapa mereka begitu membenci pejuang kemerdekaan? Jika cucu pejuang kemerdekaan tidak mendapatkan manfaat kuota, haruskah cucu Razakar juga mendapatkan manfaatnya?” tanya Hasina.

Sebagai tanggapan, para pengunjuk rasa meneriakkan slogan, “Siapakah kamu? Siapakah aku? Razakar, Razakar,” selama protes di Universitas Dhaka. Seorang pemimpin mahasiswa mengatakan slogan tersebut dipilih sebagai respons terhadap upaya pemerintah mendiskreditkan gerakan mereka.

Asif Nazrul, seorang profesor hukum di Universitas Dhaka, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pesan yang ingin disampaikan para mahasiswa melalui slogan-slogan mereka sudah jelas. “Saya ragu ada mahasiswa di Universitas Dhaka yang akan mengidentifikasi diri mereka sebagai Razakar,” katanya. Nazrul juga mengkritik tanggapan pemerintah, yang menyatakan pemerintah ingin meredam protes dan telah menemukan dalih yang tepat untuk melakukannya.

Berapa Warga Terbunuh dan Terluka?

Setidaknya lima orang tewas, kata pejabat polisi. Hingga Selasa (16/7/2024), lebih dari 400 orang terluka, dan 297 dirawat di Rumah Sakit Dhaka Medical College, kantor berita AFP melaporkan.

Para pengunjuk rasa menyalahkan sayap mahasiswa partai berkuasa, Liga Chhatra Bangladesh (BCL), atas kekerasan tersebut. Faruki mengatakan anggota BCL memanggil pengunjuk rasa ke dalam asrama universitas sebelum serangan. “Mereka mengepung kami dari gedung-gedung tinggi dan melempari kami dengan batu dan pecahan bata kecil. Banyak mahasiswa yang terluka.”

Faruki menambahkan bahwa BCL bersenjata, membuat para pengunjuk rasa tidak berdaya melawan mereka. “Kami tidak bersenjata. Bagaimana kami bisa mendapatkan senjata?”

Para mahasiswa yang berunjuk rasa mengatakan mereka juga tidak aman dari BCL di rumah sakit. “Liga mahasiswa masuk ke dalam Rumah Sakit [Dhaka Medical College] dan menyerang di sana,” Faruki menuduh.

Ayan berada di bangsal gawat darurat rumah sakit setelah beberapa temannya terluka dan mengatakan tidak ada keamanan atau polisi yang melindungi para pengunjuk rasa dari BCL.

Di sisi lain, Presiden BCL Saddam Hossain mengatakan lebih dari 100 pemimpin dan aktivisnya terluka dalam kekerasan tersebut, demikian dilaporkan Anadolu Agency. Hossain menegaskan bahwa mahasiswa tersebut telah diprovokasi.

“Mereka yang secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai ‘Razakar’ harus menghadapi konsekuensi. Orang-orang seperti itu tidak punya tempat di negara ini, dan kami telah memutuskan untuk secara politis menghadapi para mahasiswa yang memprotes reformasi kuota,” katanya.