Ototekno

Aplikasi Lensa AI Diduga Rasis dan Rampas Karya Seniman

Aplikasi Lensa AI tengah ramai memikat para pengguna di seluruh dunia, Namun di tengah ramainya tren tersebut, terdapat isu bahwa aplikasi Lensa AI menggunakan karya foto seniman lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi mereka dan mencerminkan sebuah perilaku rasis. Benarkah demikian?

Lensa AI merupakan sebuah aplikasi yang dikembangkan oleh perusahaan PRISMA. Magic Avatars sendiri adalah salah satu fitur kecerdasan buatan anyar yang terdapat pada aplikasi Lensa AI. Aplikasi ini menyediakan jasa edit foto dengan biaya tertentu. Untuk menggunakannya, pengguna harus menyiapkan 10 hingga 20 foto selfie dengan gaya berbeda.

Hasilnya pun membuat penggunanya terkesan, sehingga tak heran jika aplikasi ini viral dengan cepat di media sosial. Dalam sepekan terakhir, Lensa AI menempati posisi teratas di App Store dan Playstore dengan peningkatan pendapatan yang signifikan.

Lensa AI telah menembus 22,2 juta unduhan sejak 2018 dan telah menghasilkan USD 29 juta atau sekitar Rp452 Miliar dalam menarik biaya para konsumennya. Perilisan fitur Magic Avatar sendiri telah meningkatkan jumlah unduhan sebesar 631 persen dari 219.000 di bulan Oktober menjadi 1,6 juta di bulan November. Selain AS dan Brasil, Indonesia kini menjadi pasar yang paling aktif, dengan pemasangan aplikasi melonjak hingga 60 persen, menurut perusahaan analitik aplikasi SensorTower.

Screenshot (82) - inilah.com
Foto: Sensor Tower

Dari segi harga, pengguna harus membayar sebesar mulai dari USD 14,99 (Rp 230 ribu) hingga USD 49,99 (Rp 781 ribuan) untuk akses tak terbatas. Selain itu untuk menggunakan fitur Magic Avatar pengguna juga harus dikenakan biaya mulai dari USD 8 Rp50 ribu hingga USD 13 atau Rp129 ribu.

Stable Diffusion

Aplikasi ini menggunakan model AI open-source Stable Diffusion. Stable Diffusion sendiri gratis dan banyak digunakan untuk penelitian dan pengembangan. Lensa dibangun di atas generator gambar open source Stable Diffusion yang gratis namun bertindak sebagai perantara.

Hal ini memicu kekhawatiran akan bahayanya Lensa AI dengan model open-source yang dijalankannya, yakni Stable Diffusion yang dapat menghasilkan gambar dari prompt teks.

Menurut pengamat teknologi dari ICT Institute, Heru Sutadi, mengungkapkan hal ini menjadi dilematis karena kecenderungan kecerdasan buatan perlu mengakses foto di kamera aplikasi untuk izin. Sebab kalau tidak bisa, AI nya tidak bisa jalan memproses.

“Karena mungkin ada foto kita semua diambil, kalau tak mau dikatakan dicuri, seolah untuk dapat diproses,” kata Heru kepada inilah.com, Jumat (9/12/2022).

“Karena dari foto, perjalanan kita dapat diketahui dari geo location,” tambahnya.

Rasis dan rampok karya seniman

Selain itu situs hyperallergic juga menemukan AI dari data pengguna yang rasis dan penuh dengan prasangka bias yang dihasilkan Lensa dari data yang digunakan untuk membuat karya yang cenderung berwarna ‘Putih’.  Tentu hal ini membuat kesan buruk terhadap orang kulit hitam. Masalah ini bisa saja karena kurangnya keragaman dalam aplikasi AI tersebut.

Pihak Prisma belum menanggapi tuduhan tersebut saat dimintai keterangan.

Lain lagi dengan tuduhan beberapa seniman menuding Stable Diffusion telah menggunakan karya mereka tanpa izin.

NBC News mewartakan, Jumat (9/12/2022), Seniman Karla Ortiz misalnya, mengatakan perusahaan seperti Lensa mengeklaim mereka “membawa seni ke massa” namun menurutnya, “yang mereka bawa adalah pemalsuan, pencurian seni, dan penyalinan ke massa.”

Selain itu, filter yang berdasarkan model dari gaya artis populer, membuat beberapa orang mempertanyakan integritas dan etika filter.

“Seniman mengatakan, hei, Anda mengambil pekerjaan bertahun-tahun saya dan mengatakan seseorang dapat mengunggah 10 foto selfie dirinya dan mendapatkan ilustrasi ini,” kata Katie Love, CEO Love Social Media.

Kumpulan data dari Jaringan Terbuka Kecerdasan Buatan berskala besar (LAION) mendapat kecaman karena mengungkap informasi medis pribadi dan merusak gambar hak cipta dari jutaan seniman yang memposting karya mereka di situs seperti DevianArt, Pinterest dan ArtStation. Kini, para seniman kembali khawatir akan pendapatan mereka karena Lensa telah mengambil karya seni mereka sebagai sampel saraf AI-nya untuk mendapatkan keuntungan.

Grey Delisle - inilah.com

Meski Lensa mengeklaim ia tidak akan menyimpan data wajah penggunanya atau menjual gambar pengguna ke pihak ketiga dalam kebijakan privasinya, Lensa tetap memiliki hak untuk melakukan apapun yang diinginkan dengan data wajah penggunanya.

Jadi, para pengguna menghabiskan uang mereka untuk melepas hak atas wajah mereka sendiri. Bisa saja wajah pengguna dimasukkan ke dalam iklan digital untuk situs porno, scam ataupun semacamnya. Tentu tak ada yang menginginkan hal ini terjadi terlebih jika penggunanya adalah seorang influencer, streamer atau profesi lainnya yang memiliki hak cipta.

Merespons hal ini, Prisma Labs di utasnya di Twitter membantah bahwa AI “tidak akan menggantikan seniman digital” dan menentang karakterisasi bahwa Lensa merobek karya seniman.

“AI belajar mengenali hubungan antara gambar dan deskripsinya, bukan karya seninya,” tulis perusahaan itu.

Seeing plenty of thoughts online about the future of digital art in connection with AI generations, we decided to share some information on how AI generates images and why it will not replace digital artists. 🧵🧵🧵

— Prisma Labs (@PrismaAI) December 6, 2022

“Karena sinema tidak membunuh teater dan perangkat lunak akuntansi belum menghilangkan profesi [akuntan], AI tidak akan menggantikan artis tetapi dapat menjadi alat bantu yang hebat,” klaim mereka.

Meski Lensa memberikan kesempatan untuk meminta penghapusan data pribadi melalui email, itu tidak menjamin apakah mereka benar-benar menghapus data pribadi pengguna dari sistem mereka.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button