News

Sesal Warga ‘Kampung Satu Ginjal’: Desa Ternodai, Hidup Susah Terlilit Utang

Penyesalan mendalam dirasakan sejumlah warga Majalaya yang tergoda menjual ginjal. Sudah mencemari nama desa, nasib pun tak berubah, malah terlilit utang.

Belakangan ini publik dihebohkan dengan pengungkapan kasus jual beli ginjal ilegal yang dilakukan oleh sindikat internasional Kamboja. Sejauh ini, pihak kepolisian telah menetapkan belasan orang sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu.

Mungkin anda suka

Viralnya kasus jual beli ginjal sindikat internasional Kamboja ini, kembali mengorek luka lama para warga Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Desa ini dikenal sebagai kampung satu ginjal.

Raut kesal terpancar jelas dari wajah Dasep, warga Desa Wangisagara, Majalaya, ketika bercerita dengan tim Inilah.com, Jumat (28/7/2023). Ia mengaku benci harus mengingat masa kelam yang terjadi pada 2015 silam. Dirinya merasa hidup sudah damai dengan keluarga kecilnya saat ini, namun terusik kembali karena dikaitkan dengan fenomena jual beli ginjal, lantaran desanya sudah terlanjur terlabeli ‘kampung satu ginjal’.

Dengan berat hati, ia mengenang kembali luka lama yang disesali. Dasep menyebut, secara keseluruhan ada 200 warga Kecamatan Majalaya yang terbujuk untuk menjual ginjalnya.

Setidaknya, di daerahnya terdapat 50 orang korban, dari jumlah itu ada beberapa warga yang memang dekat dengannya. Mereka adalah Ipan Sopyan, Edi Midun, Jajang, Bayu dan Dadan. Menurut Dasep, ia dan rekan-rekannya mendapatkan uang kisaran Rp70-90 juta. Saat dibujuk, Dasep dan para korban diming-imingi uang ratusan juta rupiah. “Wanita ada, dan banyak. Cuma memang yang terkenalnya kebetulan desa saya ini,” ujarnya.

Dasep mengaku dirinya mendapatkan uang Rp85 juta rupiah dari calo penjual ginjal, bahkan agar Dasep percaya sang calo sampai memberikan uang Rp15 juta. Belakangan uang tersebut dihitung sebagai utang, dipotong dari uang Rp100 juta yang seharusnya ia dapat.

Kemiskinan jadi alasan Dasep, Ipan Sopyan, Edi Midun dan para warga lainnya, mau menjual ginjalnya. Dasep mengaku uang tersebut ia gunakan untuk melunasi utang orang tuanya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kenapa si Ipan juga sampai ikutan donor ginjal itu karena saat itu dia uangnya habis, rumah dijual, motor dijual, sampai dia nekat mencuri mesin air dan uang. Akhirnya memutuskan untuk donor ginjal itu,” tutur Dasep.

Ilustrasi Bekas Operasi Ginjal - inilah.com
Ilustrasi luka bekas operasi ginjal. (Foto: jawapos).

Kisah Edi Midun tak kalah menyedihkan dari Dasep dan Ipan Sopyan. Kepala Puskesmas Wangisagara, Teti mengungkapkan bahwa Edi Midun adalah yang paling sering sakit-sakitan usai menjual ginjal. “Waktu itu sakit sampai satu bulan, lemes dan demam aja enggak sampai muntah darah atau semacamnya. Paling ada sedikit rasa ngilu saja di bekas luka ginjal,” ungkapnya kepada Inilah.com.

Salah satu kerabatnya, Diki bercerita bahwa Edi Midun adalah warga pertama Majalaya yang mendonorkan ginjalnya pada 2014 lalu dengan imbalan Rp70 juta.

Diki menjelaskan bahwa Edi Midun memang saat itu sedang terlilit utang. Harapannya dari menjual ginjal ada sisa uang untuk membeli rumah dan modal buka usaha. “Iya, Midun mau mendonorkan ginjalnya untuk bayar utang, tahu-tahu utang enggak lunas duit (dari donor ginjal) habis,” ujar Diki.

Harapan Dasep, Edi Midun, dan Ipan Sopyan untuk bisa merubah nasib dari menjual ginjal, hanya sebatas khayalan. Uang gepokan yang mereka terima sudah habis, masa kejayaan tak bisa lagi dinikmati hanya menjadi sebatas cerita. Pada akhirnya mereka bertiga harus hadapi kenyataan, mesti bekerja keras menghidupi keluarga, jangan ambil lagi ‘jalan pintas’.

Dasep saat ini sibuk bekerja sebagai pemulung, sedangkan Edi Midun harus rela jarang pulang ke kampung, mencari rezeki sebagai supir pengangkut buah di Garut. Begitu pula dengan Ipan Sopyan yang banting tulang sebagai kuli bangunan di Cianjur.

Kenangan buruk yang dialami para warga ini, ingin dikubur dalam-dalam oleh pihak Kecamatan Majalaya. Memilih fokus memperbaiki kesejahteraan warga, sekaligus memberi penanganan kesehatan bagi para warga yang menjadi korban jual ginjal.

“Sejak kasus ini diungkap oleh kepolisian tahun 2018 sampai saat ini tidak ada lagi penjualan ginjal. Pemerintahan Kecamatan sedang fokus penanganan kesehatan masyarakat yang sudah terlanjur menjadi korban jual ginjal ini berupa pemeriksaan rutin di Puskesmas.,” kata Camat Majalaya Gugum Gumelar saat dihubungi Inilah.com.

Soal kemiskinan yang jadi persoalan utama, tak ditampik oleh Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Desa Wangisagara, Asep Sutisna. Menurut data yang ia miliki, total penduduk di desa sebanyak 15.154 orang dengan perbandingan jenis kelamin laki-laki 7.822 orang dan perempuan 7.332 orang, terbagi dalam 4.512 Kartu Keluarga (KK). Keluarga miskin cukup tinggi yaitu sebanyak 1.226 KK, dengan jumlah pengangguran dari rentang umur 16-30 tahun sebanyak 1.300 Orang.

Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Desa Wangisagara, Asep Sutisna.
Paling kiri: Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Desa Wangisagara, Asep Sutisna. (Foto: Inilah.com).

Mayoritas mereka bekerja sebagai buruh tani dan buruh pabrik. Para warga menggantungkan hidup dari lahan sawah seluas 90 hektar dan enam pabrik bergerak di bidang usaha tekstil dan roti. Sayangnya upah yang mereka dapatkan jauh dari rata-rata upah minimum regional (UMR) Kabupaten Bandung.

“Jadi mereka ini buruh harian lepas terkadang menggarap sawah orang, ada buruh pabrik juga, ataupun bekerja kuli. Upah pabrik saja cuma rata-rata sekitar Rp2-2,5 juta kalau pegawai lama mungkin sampai 3 juta. Rata-rata masih jauh dari UMR Kabupaten Bandung yang mencapai 3 juta sekian,” ujar Asep Sutisna kepada Inilah.com di kantornya, Jumat (28/7/2023).

“Buruh tani itu musiman, di desa ini panen tiga kali setahun tidak setiap hari mereka bekerja. Misalnya mereka membajak sawah 1 hari dari jam 7-12 siang hanya Rp70 ribu sekarang. Tambah lagi menyewa mesin traktor Rp150 ribu namun harga bisa disesuaikan. Memang mereka tidak setiap hari mereka, membajak sawah sekitar 2 mingguan sebelum tandur menanam padi,” papar Asep.

Masalah kemiskinan ini diklaim dapat teratasi secara perlahan, dengan sejumlah bantuan sosial pemerintah dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) andalan mereka, Niagara, disebut sudah bisa menghasilkan untung miliaran rupiah. BUMDes Niagara pun digadang-gadang untuk menjadi salah satu BUMDes percontohan nasional.

“InsyaAllah di Desa Wangisagara jumlah masyarakat miskin di sini sekarang sudah berkurang lumayan signifikan berkat adanya BUMDes. Bahkan pada tahun 2022 keuntungan yang dihasilkan dari BUMDes sampai Rp1,5 miliar. Program BUMDes ini juga salah satu tujuannya adalah membantu masyarakat miskin, jompo dan yatim piatu,” tutur Kepala Desa (Kades) Wangisagara E. Gandi, di kantornya, Jumat (28/7/2023).

Meski demikian, satu BUMDes memang belum bisa membuat kesejahteraan segera merata. Kesan kemiskinan pun belum bisa sepenuhnya terhapuskan dari aura Desa Wangisagara. [Reza/Rizki]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button