Pemerintah Amerika Serikat (AS) menilai kebijakan halal Indonesia menjadi hambatan teknis perdagangan dan menjadikannya salah satu alasan penerapan tarif resiprokal 32 persen terhadap produk asal Indonesia. Hal ini tercantum dalam dokumen resmi National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR).
AS secara spesifik mempersoalkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dan seluruh regulasi turunannya, mulai dari Keputusan Menteri Agama hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan BPJPH. Washington menyebut kebijakan ini mengganggu akses pasar dan menambah beban biaya bagi pelaku usaha AS yang mengekspor produk ke Indonesia.
“Pemangku kepentingan AS khawatir Indonesia menyelesaikan banyak peraturan ini tanpa memberitahukan rancangan kebijakannya ke WTO dan tidak mempertimbangkan masukan dari pihak internasional,” tulis laporan tersebut.
Sertifikasi Halal Wajib Dinilai Tak Transparan
AS menyoroti bahwa Indonesia menetapkan sertifikasi halal secara wajib dan bertahap untuk berbagai produk: makanan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, hingga barang konsumsi umum. Namun, proses penyusunan dan pemberlakuan regulasi ini dinilai tidak transparan, bahkan disebut melanggar prinsip dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (TBT Agreement).
Dokumen itu juga menyebut sejumlah keputusan pemerintah sebagai “dokumen hidup” yang bisa berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan publik, seperti Keputusan Menag No. 816/2024 yang menetapkan kewajiban sertifikasi halal berdasarkan kode HS.
Akreditasi Sertifikat Halal AS Dipersulit?
Sorotan juga diarahkan pada Peraturan BPJPH Nomor 3 Tahun 2023, yang mengatur proses akreditasi Badan Penyelenggara Halal (BPH) asing, termasuk dari AS. USTR menilai regulasi tersebut menciptakan persyaratan dokumentasi yang memberatkan, prosedur akreditasi yang berbelit dan mahal, serta ketentuan rasio auditor yang dianggap tidak proporsional.
“Kebijakan ini menunda prosedur akreditasi secara tidak perlu bagi BPH AS yang ingin mendapatkan pengakuan untuk mengekspor produk bersertifikat halal ke Indonesia,” tulis laporan tersebut.
Langkah terakhir yang diwajibkan adalah membuat Perjanjian Pengakuan Bersama (MRA) antara BPH asing dan BPJPH.
Amerika Terus Tekan di WTO
Sejak 2019, AS secara rutin menyampaikan protes terhadap penerapan sertifikasi halal Indonesia di forum Komite TBT WTO dan Komite Perdagangan Barang WTO. AS menilai, penerapan undang-undang ini seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih inklusif dan terbuka terhadap kepentingan perdagangan global.
Diketahui, tahapan kewajiban sertifikasi halal di Indonesia berlaku bertahap hingga tahun 2039, termasuk untuk produk makanan, alat kesehatan, hingga obat resep.
Kritik dari AS ini menambah daftar panjang sengketa dagang yang membayangi hubungan bilateral Indonesia-AS. Sebelumnya, AS juga menyoroti kebijakan TKDN, sistem pembayaran QRIS, serta lemahnya perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia.
100%
Halaman 1 dari 1