Pengamat Teknologi Informasi Heru Sutadi menilai tudingan pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia terkait minimnya transparansi regulasi digital dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai tuduhan yang mengada-ada dan bermuatan tekanan politik dagang.
Pernyataan ini disampaikan menyusul laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR), yang mencantumkan Indonesia sebagai negara dengan berbagai hambatan perdagangan, termasuk dalam hal sistem pembayaran dan perlindungan HKI.
“Kalau begitu, repot ya. Kita mau negosiasi, malah ditekan. Regulasi digital di Indonesia sangat transparan dan fair untuk semua pemain, termasuk asing,” kata Heru kepada inilah.com, Senin (21/4/2025).
QRIS dan GPN Disorot, Heru: Itu Persaingan, Bukan Diskriminasi
AS menyoroti penggunaan sistem Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan program nasional Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai potensi hambatan akses bagi penyedia jasa pembayaran asing seperti Visa dan MasterCard.
Namun Heru menilai tudingan tersebut tidak berdasar. Menurutnya, kehadiran pemain internasional di sektor pembayaran Indonesia tetap berjalan tanpa hambatan berarti.
“Visa dan MasterCard bebas beroperasi di Indonesia. QRIS dipakai luas karena lebih inklusif, bukan karena kita menutup akses asing. Itu hasil kompetisi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa sistem pembayaran nasional justru hadir untuk meningkatkan efisiensi dan keterhubungan antar sistem, bukan sebagai mekanisme penghalang.
“GPN itu tujuannya integrasi, bukan isolasi. Negara lain juga melakukan hal serupa. Apa salahnya kita memperkuat sistem sendiri?” tambahnya.
AS Dinilai Cari-cari Alasan Tekan Indonesia
Lebih jauh, Heru menyatakan bahwa tuduhan AS terkait sistem pembayaran dan perlindungan HKI bisa jadi hanyalah bagian dari strategi dagang dalam merespons kebijakan tarif resiprokal Indonesia.
“Jangan-jangan ini cuma cara mereka melemahkan posisi kita di meja perundingan. Kalau kita turuti sekarang, besok bisa muncul permintaan lain yang lebih mengada-ada,” ujarnya.
Heru pun menyindir sikap AS yang disebutnya tidak konsisten dengan prinsip dagang yang adil.
“Maksud hati negosiasi, malah dicari-cari. Sekali-sekali Indonesia yang katanya Macan Asia, perlu mengaum. Jangan cuma mengembik, apalagi membebek,” pungkasnya.