Market

Asal Produktif, Jokowi Bisa Cetak Uang untuk Pendanaan IKN Nusantara

Ekonom memberikan opsi kepada Pemerintahan Jokowi terkait pendanaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur (Kaltim) selain dana investor, anggaran pemerintah, atau urun dana masyarakat alias crowfunding. Opsi tersebut adalah cetak uang (printing money) melalui skema tanggung renteng atau burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah.

“Asal produktif, bisa saja itu (burden sharing) dialihkan untuk pendanaan IKN Nusantara. Tapi, ada risiko. Risikonya ya tentu inflasi dan risiko kurs rupiah,” kata Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (28/3/2022).

Mungkin anda suka

Ia mengungkapkan hal tersebut lantaran anggaran pemerintah tergerus hingga Rp1.200 triliun untuk penanganan pandemi COVID-19. Pada saat yang sama, belum ada investor yang definitif berkomitmen berinvestasi dalam proyek IKN setelah Softbank menyatakan mundur.

Cetak uang kartal printing money adalah sebuah instrumen moneter yang sudah bank sentral gunakan sejak berabad-abad lalu. Seluruh bank sentral memiliki kewenangan penuh untuk melakukannya.

“Semua negara di dunia hampir sama. Baik emerging market maupun negara maju masih melakukan burden sharing,” ujarnya.

Namun, David menggarisbawahi, untuk meminimalisir risiko inflasi dan kurs akibat aksi printing money, tindakan itu harus diiringi dengan produksi barang-barang dari hulu sampai hilir di dalam negeri.

“Itu cetak uang tak masalah, enggak apa-apa, asalkan produktif. Orang sering beranggapan, wah ini cetak uang nanti inflasi. Padahal enggak. China juga cetak uang, Amerika cetak uang. Saat AS cetak uang banyak negara yang mau menerima duit dia kecuali Rusia yang hanya terima Rubel karena faktor sanksi Barat atas operasi militer di Ukraina,” papar David.

Berkaca dari Jerman pasca-Perang Dunia I

David mencontohkan Jerman pasca-Perang Dunia I yang hancur. “Dalam beberapa tahun, enggak sampai 10 tahun, Jerman bisa kuat lagi ekonominya dengan cetak uang. Dia mengandalkan, dari hulu sampai hilir industrinya sehingga menguat lagi,” ungkap dia.

Bahkan, lanjut David, industri senjata Jerman kembali bangkit dan Diktator Adolf Hitler bisa kembali memimpin perang pada Perang Dunia II. “Kalau baca sejarah, Jerman bangkit lagi dengan cetak uang,” ucapnya tandas.

Ia menegaskan, tak masalah cetak uang selama dapat menggerakkan ekonomi di IKN sehingga menjadi pusat pertumbuhan baru. Apalagi, jika banyak investor yang masuk berinvestasi di sekitar Ibu Kota baru itu melalui pembangunan industri yang berkaitan dengan teknologi dan sektor lain yang dapat memperkuat ekonomi.

Akan tetapi, David mengingatkan hal itu harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi masih sangat besar. “Masyarakat kita kurang cinta produk dalam negeri,” tuturnya.

Yang masalah, kata dia, printing money untuk proyek-proyek konsumtif dan biayanya juga berasal dari utang dan lain-lain. “Ini masalah karena banyak produk-produk yang kita impor. Pastinya akan ada tekanan ke current account (neraca perdagangan),” ungkap David.

“Tujuan konsumtif, tujuan spekulatif, atau tujuan produktif. Selama (cetak uang itu) tujuannya produktif, saya pikir tak ada masalah,” imbuhnya.

Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) III Gubernur BI dan Menteri Keuangan, Bank Sentral masih akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana ataupun dari pembelian melalui Greenshoe Option.

Skema burden sharing ini untuk program pemulihan ekonomi nasional. BI dan pemerintah berbagi beban atau kompromi tanggung renteng untuk membiayai penanganan COVID-19. Hingga akhir 2022, BI memperkirakan pembelian SBN dengan skema tersebut bakal tembus Rp1.000 triliun.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button