Hasil pemungutan suara atas rancangan resolusi tersebut akan dibawa ke hadapan Majelis Umum PBB. (Foto: AP/Yuki Iwamura)
Australia telah mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menegaskan ‘kedaulatan permanen’ warga Palestina atas sumber daya alam di wilayahnya. Ini menandai perubahan signifikan dari pendirian negara itu selama lebih dari dua dekade.
Mengutip laporan The Guardian, Kamis (14/11/2024), Australia telah memisahkan diri dari Amerika Serikat dan Israel dan bergabung dengan 158 negara, termasuk Inggris dan Selandia Baru, dalam mendukung resolusi komite PBB terbaru ini. Resolusi tersebut menegaskan kedaulatan permanen rakyat Palestina di Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan penduduk Arab di Golan Suriah yang diduduki atas sumber daya alam mereka.
Tujuh anggota, termasuk Amerika Serikat (AS), Kanada dan tentu saja negara zionis Israel, menentang resolusi tersebut, sementara 11 lainnya abstain. Resolusi tersebut kini akan diajukan ke Majelis Umum PBB. Ini menandai pertama kalinya pemerintah Australia memberikan suara mendukung resolusi kedaulatan permanen sejak diperkenalkan sekitar dua dekade lalu.
Juru bicara Menteri Luar Negeri Penny Wong menyatakan meskipun Australia tidak setuju dengan semua yang tercantum dalam resolusi itu, pemungutan suara tersebut mencerminkan kekhawatiran internasional atas tindakan Israel. Termasuk aktivitas permukiman yang terus berlanjut, perampasan tanah, pembongkaran, dan kekerasan pemukim terhadap warga Palestina.
“Kami telah menegaskan bahwa tindakan-tindakan tersebut merusak stabilitas dan prospek solusi dua negara,” tegas juru bicara tersebut. “Resolusi ini mengingatkan kita pada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menegaskan kembali pentingnya solusi dua negara yang telah didukung oleh kedua pihak.”
Australia juga mendukung rancangan resolusi lainnya, yang menyalahkan Israel atas tumpahan minyak di sebagian besar garis pantai Lebanon, serta negara-negara tetangga selama perang tahun 2006 dan menuntut negara tersebut membayar kompensasi.
Tak lama setelah pemungutan suara, misi AS di PBB menyatakan kekecewaannya atas resolusi tidak berimbang yang secara tidak adil mengkritik Israel. “Resolusi sepihak tidak akan membantu memajukan perdamaian. Tidak jika mereka mengabaikan fakta di lapangan,” kata Nicholas Koval, diplomat politik AS.
Laporan The Guardian itu juga menyoroti sikap pemerintahan Perdana Menteri Anthony Albanese yang telah secara bertahap menyesuaikan pendekatan Australia terhadap masalah Timur Tengah. Menurut media itu, pada Mei lalu, Australia mendukung pemungutan suara PBB untuk keanggotaan Palestina di majelis tersebut.
Ketika itu Wong menyatakan bahwa pemungutan suara tersebut dimaksudkan untuk memberikan Palestina hak tambahan yang sederhana untuk berpartisipasi dalam forum PBB dan menjelaskan bahwa Australia akan mengakui Palestina hanya ‘ketika kami merasa waktunya tepat’.
Sementara itu, Dewan Australia/Israel & Urusan Yahudi menyatakan bahwa pihaknya sangat prihatin atas perubahan sikap pemerintah Australia. Alex Ryvchin, salah satu kepala eksekutif Dewan Eksekutif Yahudi Australia, menggambarkan pemungutan suara tersebut sebagai indikasi jurang pemisah yang makin lebar antara Australia dan AS terkait isu Israel dan Palestina.
Sementara itu, Nasser Mashni, presiden Jaringan Advokasi Australia-Palestina, menyambut baik perubahan tersebut, dan menyebutnya sebagai pengakuan yang sudah lama tertunda. “Dukungan Australia menandai pengakuan atas dampak bencana perampasan dan penghancuran sumber daya Palestina oleh Israel yang tiada henti, dan mengirimkan sinyal jelas bahwa dunia menuntut pertanggungjawaban atas ketidakadilan ini,” jelasnya.
Mashni menekankan bahwa pemungutan suara ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah Australia. “Pemerintah Australia harus mengakui dan bertindak berdasarkan kewajiban hukumnya untuk menggunakan semua alat ekonomi, politik, dan diplomatik yang dimilikinya untuk membantu mengakhiri genosida, pendudukan ilegal, dan apartheid Israel di Palestina,” tambahnya.