Kelompok perlawanan bersenjata Palestina memutuskan melanjutkan operasi bunuh diri di wilayah Israel. Ini menandakan babak baru dalam pertempuran saat perang genosida Israel berlanjut melewati bulan kesepuluh.
Pada hari Senin (19/8/2024), gerakan Islam Palestina, Hamas , dan Jihad Islam Palestina (PIJ) mengaku bertanggung jawab atas ledakan Tel Aviv pada 18 Agustus. “Bekerja sama dengan saudara-saudara kami di Brigade al-Quds, sayap bersenjata PIJ, kami telah melaksanakan operasi yang terjadi di Tel Aviv,” kata Brigade al-Qassam, sayap bersenjata Hamas, dalam sebuah pernyataan pers, mengutip ke The New Arab (TNA).
“Serangan Tel Aviv terjadi sebagai respons terhadap kejahatan Israel yang terus berlanjut terhadap rakyat kami di Jalur Gaza,” kata al-Qassam, seraya bersumpah untuk melanjutkan serangan militer dan ledakan di kota-kota Israel.
Polisi Israel dan badan keamanan internal Shin Bet menggambarkan ledakan di Tel Aviv sebagai ‘serangan teroris’, mengklaim bahwa targetnya adalah sinagoga. Tersangka diidentifikasi sebagai seorang pria Palestina dari wilayah Nablus di wilayah utara Tepi Barat yang diduduki. Ledakan itu terjadi di dekat sebuah sinagoge. Otoritas keamanan Israel yakin bom itu meledak sebelum waktunya dan tersangka bermaksud meledakkannya di dalam sinagoge.
Tel Aviv terakhir kali menyaksikan operasi bunuh diri pada bulan Desember 2013 ketika sebuah bom meledak di sebuah bus Israel di daerah Bat Yam. Saat itu, otoritas Israel menuduh empat pemuda Palestina dari PIJ sebagai pelaku operasi tersebut.
Fase Baru Peperangan?
Osama Hamdan, pejabat senior Hamas, mengatakan dalam pernyataan pers bahwa “perlawanan Palestina masih memegang kartu yang dapat digunakan dalam konfrontasi. Kami telah mengembangkan taktik kami dalam memerangi musuh di mana saja, sepanjang waktu.”
Ia berpendapat bahwa Hamas yakin bahwa taktik perlawanan baru akan memiliki dampak positif tersendiri terhadap negosiasi dengan Israel. “Kejahatan Israel yang terus berlanjut terhadap rakyat di Gaza akan mendorong para pejuang kami mengembangkan lebih banyak metode untuk menghukumnya, bahkan di dalam kota-kota Israel,” imbuh Hamdan.
Kendatipun tampaknya gagal mencapai target, analis politik Palestina percaya bahwa operasi tersebut merupakan kekalahan bagi usaha militer dan keamanan Israel yang telah berlangsung selama 20 tahun. Sekaligus merupakan keberhasilan besar bagi perlawanan dalam hal waktu dan lokasi, serta mengatasi sistem keamanan yang rumit.
Dalam wawancara terpisah dengan TNA, analis Palestina menambahkan bahwa perlawanan Palestina kemungkinan mengadopsi taktik ini dalam menghadapi Israel, karena semua upaya diplomatik yang dilakukan mediator untuk menghentikan pertumpahan darah Israel di Gaza gagal.
“Israel tidak akan sanggup menanggung akibat dari operasi bunuh diri, terutama karena masyarakatnya telah kelelahan akibat perang yang sedang berlangsung di Gaza, baik secara ekonomi maupun keamanan,” kata Hussam al-Dajani, seorang analis politik yang berbasis di Gaza kepada TNA.
“Tidak diragukan lagi bahwa perlawanan Palestina [terutama Hamas dan Jihad Islam] unggul dalam jenis operasi bunuh diri ini. Mereka akan kembali ke garis depan dengan kekuatan selama Israel terus melakukan pembantaian terhadap penduduk di Gaza dan bersikeras menolak inisiatif gencatan senjata,” tambahnya.
Dalam berbagai kesempatan selama sepuluh bulan terakhir, tentara Israel mengklaim bahwa mereka telah membubarkan sebagian besar batalyon Brigade al-Qassam di Gaza. Militer Israel juga sedang mempertimbangkan pengurangan pasukannya di lapangan sambil tetap menjaga kemungkinan pengerahan operasi darat di Gaza setiap kali situasi keamanan dan lapangan menghendaki.
“Ini tidak berarti bahwa perlawanan Palestina di Gaza telah berakhir atau bahwa perlawanan itu tidak mengendalikan jalannya peristiwa di Tepi Barat yang diduduki dan di Israel sendiri,” kata Adnan Samara, seorang analis Palestina yang berkantor di Ramallah, di Tepi Barat yang diduduki.
“Perlawanan itu bersatu di semua arena Palestina dan oleh karena itu, perlawanan mungkin lebih suka mengalihkan konfrontasi ke Israel melalui jenis operasi militer ini. Perlawanan Palestina menggunakan operasi bunuh diri sebagai respons terhadap kolusi AS dan internasional dengan Israel dalam perang tidak manusiawi melawan Gaza,” tambah Samara.
Respons terhadap Kegagalan Diplomasi
Serangan bunuh diri oleh kelompok bersenjata Palestina dimulai pada tahun 1993 dan berlanjut hingga akhir tahun 2004. Saat itu, kelompok perlawanan bersenjata Palestina, termasuk Hamas, Jihad Islam, dan Fatah, melakukan setidaknya 281 serangan bunuh diri yang menewaskan sekitar 800 warga Israel dan melukai ribuan lainnya, menurut statistik Palestina.
Pada saat itu, meskipun ada perdebatan sengit mengenai taktik tersebut, mayoritas warga Palestina mendukung jenis operasi ini, menganggapnya sebagai senjata efektif yang berdampak pada Israel dan membuat semua pemukim berada di bawah tekanan dan ketakutan sepanjang waktu.
Namun Otoritas Palestina yang dipimpin Mahmoud Abbas, dengan tekanan dari pihak luar, terutama pendukung Barat, menganggap jenis operasi ini merugikan semua perjanjian dengan Israel.
“Israel menyalahkan operasi ini dan melancarkan invasi militer besar-besaran ke Tepi Barat serta Jalur Gaza yang diduduki untuk membunuh banyak warga Palestina tidak bersalah,” kata seorang pejabat Palestina yang berbasis di Ramallah, yang memilih untuk tidak menyebutkan namanya, kepada TNA.
Karena jalan buntu diplomatik, banyak warga Palestina berpendapat bahwa sekarang adalah waktu terbaik bagi kelompok perlawanan bersenjata melanjutkan operasi bunuh diri untuk menghukum Israel atas semua pembantaian dan kejahatannya terhadap warga Palestina.
Meskipun pelakunya kehilangan nyawa, serangan bunuh diri dianggap efektif. “Hal itu dapat diubah menjadi alat yang efektif menekan masyarakat internasional dan Israel serta memaksa Netanyahu melaksanakan perjanjian gencatan senjata di Gaza,” kata Samara.
Hani al-Masri, analis politik lain yang bermarkas di Ramallah, juga menyampaikan sentimen serupa. “Operasi bunuh diri adalah salah satu taktik terpenting perlawanan militer untuk mengekspresikan penolakannya terhadap status quo atau penerimaan terhadapnya,” kata al-Masri kepada TNA. “Perlawanan seharusnya memulihkan keseimbangan pencegahan antara mereka dan pendudukan, yang mungkin memaksa [Israel] untuk mempertimbangkan kembali penargetan warga sipil.”
Al-Masri menambahkan, “Perlawanan akan selalu mengingatkan [Israel] bahwa mereka tidak akan menikmati stabilitas. Perlawanan akan mengakhiri konsep keamanan di desa-desa dan kota-kota Israel, dan warga sipil Israel juga akan membayar harganya dalam perang ini.”
“Masyarakat Israel tidak tahan hidup dalam situasi ketidakstabilan dan kehidupan yang berbahaya sepanjang waktu, jadi mereka akan menekan pemerintah kriminal mereka untuk mengakhiri kejahatannya terhadap rakyat kami,” ujarn al-Dajani, analis yang berbasis di Gaza.