Dengan berbagai pertanyaan yang muncul terkait bagaimana sebaiknya arah kebijakan infrastruktur di pemerintahan Prabowo mendatang, penting untuk mengambil pelajaran dari pengalaman pemerintahan sebelumnya.
Kebijakan infrastruktur perlu dirancang dengan mempertimbangkan tantangan yang dihadapi, seperti keterbatasan anggaran, masalah birokrasi, dan dampak lingkungan.
Di sisi lain, kritik yang telah disampaikan harus dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki kebijakan yang ada. Dengan solusi yang tepat, pembangunan infrastruktur dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pemerintahan Prabowo masih menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritas utama dalam anggaran 2025, dengan alokasi dana sebesar Rp 400,3 triliun. Fokus utama dari alokasi ini adalah pengembangan infrastruktur pendidikan, kesehatan, konektivitas, pangan, energi, serta kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi, termasuk keterbatasan anggaran yang diperparah oleh meningkatnya beban utang negara yang mencapai Rp 7.700 triliun atau sekitar 40% dari PDB pada tahun 2023.
Situasi ini memicu kekhawatiran akan keberlanjutan fiskal jangka panjang, terutama jika pemerintah tidak mampu menyeimbangkan antara ambisi pembangunan dan kebutuhan untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah telah memperkenalkan dua skema pembiayaan kreatif, yakni Hak Pengelolaan Terbatas (HPT) dan Pengelolaan Peningkatan Perolehan Nilai Kawasan (P3NK). HPT dirancang untuk mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) dan aset-aset milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai sumber pendanaan alternatif, sementara P3NK bertujuan untuk memanfaatkan peningkatan nilai tanah yang terjadi sebagai akibat dari investasi pemerintah di suatu kawasan tertentu.
Kedua skema ini diharapkan mampu menarik lebih banyak partisipasi dari sektor swasta dalam pendanaan proyek infrastruktur, yang pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, keberhasilan implementasi kedua skema ini bergantung pada adanya pengawasan yang ketat dan mekanisme regulasi yang solid untuk memastikan bahwa pengelolaan aset negara tetap berjalan sesuai dengan kepentingan nasional.
Kendati demikian, penerapan skema pembiayaan ini juga menghadapi risiko yang tidak boleh diabaikan. Skema HPT, misalnya, memiliki potensi risiko di mana aset strategis milik negara bisa jatuh ke tangan swasta yang tidak bertanggung jawab atau tidak kompeten. Untuk itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pengawas independen, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut dikelola secara profesional dan transparan. Begitu pula dengan skema P3NK, yang sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk meningkatkan nilai tanah di kawasan yang diinvestasikan.
Jika proyek-proyek pemerintah gagal meningkatkan nilai tanah di kawasan tersebut, skema ini bisa menjadi kurang menarik bagi investor swasta, yang pada akhirnya akan membebani APBN lebih lanjut.
Sementara itu, reformasi birokrasi yang lebih mendalam diperlukan untuk mendukung pelaksanaan proyek infrastruktur dengan lebih efisien.
Proses perizinan yang panjang dan berbelit-belit sering kali menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan proyek infrastruktur. Contoh nyata dari dampak negatif birokrasi ini adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang mengalami pembengkakan biaya hingga Rp 27 triliun akibat keterlambatan perizinan dan konflik lahan. Reformasi birokrasi harus melibatkan penyederhanaan regulasi, tetapi juga mencakup perubahan budaya birokrasi yang masih kental dengan praktik korupsi dan kolusi. Selain itu, penguatan kapasitas sumber daya manusia di lembaga-lembaga terkait infrastruktur juga sangat penting agar pegawai pemerintah mampu mengelola proyek secara profesional dan efisien.
Pengembangan infrastruktur di pedesaan menjadi salah satu aspek yang sering kali terabaikan dalam kebijakan pembangunan. Pembangunan infrastruktur di wilayah pedesaan harus didasarkan pada pendekatan yang berbasis kebutuhan riil masyarakat, bukan semata-mata pada pertimbangan ekonomi.
Banyak wilayah pedesaan di Indonesia yang masih kekurangan akses terhadap infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih. Oleh karena itu, diperlukan pemetaan yang akurat untuk mengetahui kebutuhan infrastruktur di setiap desa, sehingga pembangunan dapat dilakukan secara tepat sasaran dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat pedesaan. Pemberdayaan masyarakat lokal juga penting untuk memastikan bahwa mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proyek infrastruktur di wilayah mereka.
Selain itu, banyak proyek infrastruktur yang dibangun tanpa memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial secara memadai. Contoh yang sering terjadi adalah proyek reklamasi pantai dan pembangunan jalan tol, yang meskipun memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga telah menimbulkan kerusakan ekosistem dan konflik sosial yang serius.
Untuk itu, penegakan hukum terkait analisis dampak lingkungan (AMDAL) harus dilakukan dengan lebih tegas dan transparan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap proyek infrastruktur yang dilaksanakan telah melalui proses AMDAL yang komprehensif dan melibatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, masyarakat yang terdampak oleh proyek infrastruktur harus mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, serta ada mekanisme penyelesaian sengketa lahan yang efektif untuk mencegah kerugian bagi masyarakat.
Ketergantungan pada utang luar negeri juga menjadi salah satu risiko terbesar dalam pembiayaan proyek infrastruktur di Indonesia. Dengan utang negara yang terus bertambah, kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur tanpa membebani anggaran negara semakin terancam. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius dalam meningkatkan pendapatan negara, misalnya melalui reformasi perpajakan dan peningkatan efisiensi pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, pengelolaan utang luar negeri harus dilakukan secara lebih prudent, dengan memastikan bahwa utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang produktif dan berkelanjutan.
Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi faktor kunci dalam memastikan keberhasilan pembangunan infrastruktur. Pemerintah perlu menyediakan akses yang mudah bagi publik untuk mendapatkan informasi terkait proyek infrastruktur, termasuk anggaran, progres, dan hasil evaluasi proyek. Keterbukaan informasi ini penting untuk mencegah terjadinya korupsi dan memastikan bahwa anggaran yang digunakan benar-benar memberikan hasil yang maksimal. Selain itu, partisipasi publik dalam pengawasan proyek infrastruktur harus ditingkatkan, dengan memperkuat mekanisme pengaduan masyarakat agar mereka dapat melaporkan penyimpangan atau masalah dalam pelaksanaan proyek.
Adopsi teknologi dan inovasi menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan infrastruktur.
Pemerintah perlu mendorong pengembangan teknologi lokal di sektor konstruksi dan manajemen proyek yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Penggunaan teknologi digital seperti Building Information Modeling (BIM) dapat membantu mengoptimalkan desain dan konstruksi proyek, sementara penggunaan blockchain dapat meningkatkan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa. Selain itu, teknologi ramah lingkungan harus diadopsi secara lebih luas untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan.
Dengan mempertimbangkan kritik dan analisis ini, pemerintah mendatang diharapkan mampu merumuskan kebijakan infrastruktur yang lebih komprehensif, efektif, dan berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara terencana, transparan, dan akuntabel akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Infrastruktur yang kuat dan berkelanjutan akan menjadi fondasi kokoh bagi Indonesia dalam mencapai visi sebagai negara maju dan sejahtera pada tahun 2045.
Reformasi birokrasi yang mendalam, pengelolaan utang yang prudent, serta adopsi teknologi yang tepat merupakan langkah-langkah penting yang harus diambil untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia.