Bahaya Warisan Utang Menkeu Sri Mulyani


Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan utang publik, yang dapat dilihat sebagai warisan dari kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Dalam beberapa tahun terakhir, utang pemerintah Indonesia telah meningkat secara signifikan, mencapai Rp 8.502,69 triliun pada Juli 2024, dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,68 persen. Meskipun utang sering dipandang sebagai instrumen penting untuk mendukung pembangunan, lonjakan utang yang terus berlanjut dapat berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang (debt trap) yang berbahaya.

Sri Mulyani, yang memiliki pengalaman sebagai Managing Director di World Bank dan Executive Director di Dana Moneter Internasional (IMF), seharusnya paham mengenai indikator utang yang dianggap aman oleh lembaga-lembaga internasional. Namun, pernyataannya dalam berbagai kesempatan menunjukkan sikap kontradiktif terhadap fakta utang yang ada. 

Misalnya, dalam pernyataannya di acara yang diselenggarakan oleh salah satu media online nasional pada 23 Oktober 2023, Sri Mulyani menyebutkan bahwa banyak negara terjebak dalam utang akibat kebijakan defisit yang tidak terkendali. 

“Saya mengatakan pengalaman banyak negara, banyak negara mengalami bahwa saat kamu membuka defisit tanpa batas, itu menjadi kecanduan. Negara itu senang sekali, karena itu cara yang paling mudah,” tegasnya. Meskipun mengakui risiko ini, Sri Mulyani juga menekankan perlunya disiplin fiskal untuk menghadapi tantangan utang yang semakin kompleks.

Namun, ada ketidaksesuaian antara pernyataannya dan realitas utang yang terus meningkat di Indonesia. Data menunjukkan bahwa porsi pembiayaan utang dalam APBN 2024 terhadap pendapatan negara adalah sekitar 23,13%, sedangkan terhadap belanja negara adalah sekitar 19,49%. Keseimbangan primer APBN 2024 mencatat defisit sebesar Rp 25,5 triliun. Keadaan ini menunjukkan penerimaan negara tidak cukup untuk menutupi belanja tanpa menambah utang baru.

Hal ini menandakan ketergantungan yang semakin besar pada utang, bukan hanya untuk pembangunan, tetapi juga untuk menutup kekurangan anggaran rutin. Ketergantungan ini mencerminkan fenomena “gali lubang tutup lubang,” di mana utang baru digunakan untuk membayar utang lama, sehingga berpotensi membawa Indonesia ke dalam jebakan utang yang membahayakan stabilitas fiskal jangka panjang.

Teori jebakan utang menjelaskan risiko yang dihadapi oleh pemerintah dalam pengelolaan utang. Menurut teori ini, jebakan utang terjadi ketika pemerintah terus menambah utang baru untuk membayar utang yang ada, tanpa mampu menghasilkan surplus fiskal untuk mengurangi pokok utang. Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda menuju kondisi ini, di mana defisit keseimbangan primer terus terjadi. Defisit ini menggambarkan bahwa penerimaan negara tidak cukup untuk membiayai pengeluaran tanpa harus menambah utang, sebuah kondisi yang berpotensi membebani generasi mendatang.

Indikator-indikator utang lainnya juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di zona berbahaya. Debt Service Ratio (DSR) saat ini berada di angka 46,77 persen, jauh di atas batas aman yang direkomendasikan oleh IMF. Selain itu, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara mencapai 19,06 persen, melampaui rekomendasi batas aman yang ditetapkan oleh lembaga internasional. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar penerimaan negara dihabiskan untuk membayar bunga utang, mengurangi alokasi untuk pembangunan dan program sosial yang vital.

Sri Mulyani juga menyatakan bahwa pemerintah berencana menambah utang sebesar Rp 775,9 triliun pada tahun 2025 untuk menutupi defisit anggaran. Pendekatan ini semakin memperkuat siklus utang dan mengurangi fleksibilitas anggaran untuk sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa utang dapat mengganggu upaya pengentasan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja. Meskipun pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan menjadi 7 hingga 8 persen pada tahun 2025, kebijakan fiskal yang tidak hati-hati dapat memperburuk ketimpangan ekonomi.

Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa utang dikelola dengan bijak dan tidak menjadi beban bagi generasi mendatang. Dengan pengalamannya di lembaga internasional, seharusnya ia mampu menerapkan kebijakan fiskal yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa pemerintah terus mengandalkan utang sebagai sumber pembiayaan, yang dapat mengakibatkan dampak jangka panjang yang serius bagi perekonomian.

Dari perspektif ekonomi, penting untuk menyadari bahwa utang bukanlah solusi permanen. Dalam jangka panjang, peningkatan utang yang terus menerus tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan negara akan menciptakan risiko yang lebih besar bagi stabilitas ekonomi.

Namun, sepanjang masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani gagal meningkatkan basis penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang. Warisan utang yang ditinggalkan oleh Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan menjadi beban fiskal dan menjerumuskan Indonesia dalam jebakan utang. Keadaan ini membebani generasi mendatang, mengancam stabilitas ekonomi dan keberlanjutan pembangunan.