Market

Bahlil ‘Sumpah Potong Kucing’ Tampar Muka Culas Pebisnis

Publik tengah menanti proses hukum megaskandal dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Di tengah penantian itu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bergurau soal tingkah pengusaha di Indonesia yang melobi pejabat pemerintah, termasuk di kementerian yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati.

Meski gurauan, itu adalah bahasa halus alias eufemisme dari yang sebenarnya ingin Bahlil katakan. Secara teori, mengutip Priska Meilasari, M. R. Nababan, Djatmika (2016), eufemisme adalah penghalusan makna kata yang dianggap tabu oleh masyarakat.

Eufemisme digunakan untuk menggantikan atau menutupi kata dan ungkapan lain yang dianggap tabu, kasar, dan tidak pantas. Begitu juga dengan gurauan Bahlil kepada Menkeu Sri Mulyani.

Bahlil, sebagai menteri berlatar pebisnis, menyebut kriteria pengusaha hebat di Indonesia hanya dua. Bisa menyiasati aturan dan bisa menaklukkan pejabat.

“Biar sumpah potong kucing, pengusaha kalau tidak memiliki dua kriteria ini bukan pengusaha hebat,” katanya dalam Rakorbangpus 2023 di Kantor Bappenas, Jakarta, Kamis (6/4/2023).

Ia mengakui dirinya dulu merupakan bagian yang menaklukkan pejabat. “Sekarang orang menaklukkan kita susah karena ilmunya sama, kecuali ada teori baru. Jadi Bu (Sri Mulyani), dirjen-dirjen Ibu ini ya kita tahu juga caranya. Ketika saya jadi pengusaha tahulah cara berdiplomasi yang baik,” Bahlil menambahkan sembari tersenyum.

Kembali kepada istilah eufemisme tadi, penilaian gurauan itupun sebenarnya merupakan tafsiran atas penyampaian dua frasa ‘bisa menyiasati aturan’ dan ‘bisa menaklukkan pejabat’ dari Bahlil yang sembari tersenyum kepada Sri Mulyani. Padahal, jika melihat kata dasar siasat dan takluk, itu sangat jelas mengungkapkan keculasan para pengusaha alias pebisnis dalam kaitannya dengan pejabat.

Dalam konteks megaskandal yang melanda Kemenkeu, terkhusus di Direktorat Jenderal Pajak, istilah pebisnis culas itu bisa diturunkan maknanya menjadi wajib pajak baik orang pribadi maupun badan. Sementara dalam konteks Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, eksportir atau importir yang menjadi tertuduh.

Mungkin tuduhan itu tidak terlalu mengada-ada karena punya padanannya dalam kenyataan. Mega skandal dugaan korupsi dan TPPU di Kemenkeu saat ini menjadi bukti nyatanya.

Apalagi, menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), terlalu dini mengatakan, dugaan pencucian uang di Kemenkeu bukan korupsi.

Dugaan pencucian uang dan penumpukan harta kekayaan ilegal bisa, bahkan patut diduga, dari korupsi, baik korupsi penerimaan pajak atau korupsi penerimaan bea cukai.

Kalau pejabat pajak disuap oleh wajib pajak, dan tertangkap tangan (OTT), penyuapan ini menjadi korupsi. “Tetapi, kalau penyuapan tidak tertangkap, maka terjadi penumpukan harta ilegal, dan dikategorikan pencucian uang, karena belum diketahui sumber harta ilegal tersebut apakah dari korupsi atau lainnya,” ungkap Anthony beberapa waktu lalu.

Misalnya, kasus Gayus Tambunan yang pernah bikin heboh Indonesia pada medio 2010. Pegawai Ditjen Pajak golongan III A itu terlibat dengan sejumlah kasus mafia pajak dan memiliki harta hingga puluhan miliar.

Padahal, Gayus ketika itu baru berusia 31 tahun. Ia adalah pegawai Ditjen Pajak yang belum genap 10 tahun.

Contoh lainnya adalah Angin Prayitno Aji, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan pada Ditjen Pajak 2016-2019. Angin baru-baru ini didakwa jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima gratifikasi dan melakukan TPPU.

Baik Gayus maupun Angin sama-sama tertangkap dan didakwa korupsi penyuapan pajak. Ketika diselidiki lebih dalam, ternyata harta kekayaan mereka sangat besar. Jauh lebih besar dari dakwaan korupsi. Maka itu, masuk kategori pencucian uang. “Karena belum terbukti berasal dari korupsi,” ucapnya.

Harta kekayaan Gayus ketika itu diperkirakan lebih dari Rp100 miliar. Harta Angin Prayitno yang disita KPK ditaksir setidaknya-tidaknya Rp57 miliar.

Patut diduga keras, harta kekayaan tersebut berasal dari korupsi penyuapan pajak yang tidak tertangkap. Karena yang bersangkutan sebagai pejabat pajak yang mempunyai kekuasaan untuk menagih dan menentukan jumlah pajak.

Setelah kasus korupsi selesai dan divonis, Gayus Tambunan dan Angin Prayitno kemudian didakwa tindak pidana pencucian uang atas jumlah harta kekayaan yang tidak normal tersebut.

Angin Prayitno diduga menerima gratifikasi dari PT Rigunas Agri Utama (RAU), CV Perjuangan Steel (PS), PT Indolampung Perkasa, PT Esta Indonesia, wajib pajak Ridwan Pribadi, PT Walet Kembar Lestari (WKL), dan PT Link Net.

Gratifikasi dari wajib pajak harus dianggap korupsi. Maka itu, wajib pajak pemberi gratifikasi harus diperiksa dan dituntut. Sebab, kerugian negara dari korupsi pajak sebagian besar dinikmati oleh wajib pajak.

Anthony mencontohkan dalam kasus Bank Panin. Pengurangan pajak yang menjadi kerugian negara mencapai Rp623 miliar, dari kewajiban pajak Rp926 miliar, dikurangi menjadi Rp303 miliar.

Dari kerugian negara Rp623 miliar tersebut, yang diberikan kepada tim pajak hanya Rp25 miliar. Artinya, Bank Panin menikmati Rp598 miliar dari kerugian negara tersebut, atau sekitar 96 persen. Atau setidak-tidaknya sembilan kali lipat dari nilai suap pajak.

Artinya, setiap pejabat pajak menerima korupsi suap Rp1 triliun dan wajib pajak menikmati korupsi pajak hingga Rp9 triliun.

Kalau pejabat pajak menerima korupsi penerimaan pajak Rp20 triliun, maka wajib pajak bisa menikmati korupsi pajak hingga Rp180 triliun. Total kerugian negara bisa mencapai Rp200 triliun, atau sekitar satu persen dari PDB 2022.

Di atas semua itu, dalam dugaan megaskandal Rp349 triliun, wajib pajak juga harus diperiksa bersamaan dengan penyidikan dugaan pencucian uang di Kemenkeu. “Hal yang sama juga berlaku untuk dugaan pencucian uang di bea cukai,” ucap Anthony.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button