Dari balik ruang kaca penuh stiker di toko mungilnya, Aca (49) duduk termangu. Pandangannya mengikuti setiap langkah kaki yang melintas di depannya. Toko mungilnya yang ia beri nama ‘Here to Stay’ seperti sebuah ironi, karena para pembeli justru not to stay.
Sesekali, ia mengintip ke luar, berharap ada pembeli yang kepincut pada deretan kaos bertema band musik yang tergantung di tokonya dan dinding-dinding kios tetangganya yang tutup. Tapi yang mampir cuma angin, tak ada calo pembeli yang berhenti, hanya sekadar melirik lalu pergi.
Begitulah derita yang dihadapi Aca kini. Bulan Ramadan yang biasanya membawa berkah bagi para pedagang justru terasa seperti ujian tak berkesudahan. “Duh, susah saya bicara ini, mas,” kata Aca sambil menggelengkan kepala ketika berbicara mengenai siklus jual-beli di tokonya Jumat (14/3/2025) lalu.
Sebagai pedagang yang sudah bertahun-tahun berjualan di Pasar Santa, Aca paham betul ritme pasar ini. Biasanya, Ramadan jadi momen panen. Orang-orang berburu pakaian baru menjelang lebaran, dan kaos band orisinal miliknya selalu punya penggemar setia. Namun, suasana seperti itu tak lagi ada.

Bukan hanya Aca, pedagang lainnya juga merasakan hal serupa. Lorong-lorong yang biasa dipenuhi lalu lalang pengunjung kini terasa lengang. Beberapa kios bahkan memilih tutup lebih awal, tak sanggup menanggung biaya operasional yang terus membengkak. Tak salah memang, bila pada akhirnya Pasar Santa seolah seperti panggung konser yang megah, tetapi tanpa penonton.
Bagi Aca, ini bukan sekadar soal sepinya pembeli, tapi tentang realitas yang lebih dalam: daya beli masyarakat yang terus merosot. “Duitnya semua enggak ada, orang enggak ada yang punya uang. Ini sudah dua bulan lebih ya. Lihat aja dari tadi ada yang beli? Enggak ada kan? Ada cuma lihat-lihat doang. Hari ini baru satu saya jual. Daya beli orang sekarang turun banget,” keluh dia.
Jika di tahun-tahun sebelumnya Aca bisa memproduksi hingga 500 potong kaos menjelang Lebaran, kini ia hanya berani mencetak 70 pcs saja. Itu pun dia ragu apakah semua bisa terjual. “Indonesia ini, apalagi dua tahun terakhir, bagi gue sendiri benar-benar fail (gagal) banget,” tambah Aca.
Penurunan daya beli masyarakat dalam satu tahun terakhir memang menjadi musuh besar pagi pedagang terutama sektor Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) seperti Aca. Kenaikan harga kebutuhan pokok memaksa masyarakat untuk lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka. Banyak yang memilih menahan diri, mengutamakan yang lebih mendesak.
Tren ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang dirilis Bank Indonesia (BI). Data menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Februari 2025 mengalami penurunan sebesar 1,2 poin, turun ke level 126,4 (sebelumnya, 127,2). Angka ini mencerminkan menurunnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi, yang turut berdampak pada sektor perdagangan.
Perjuangan Aca, dari Musik ke Bisnis
Aca bukan sekadar pedagang biasa. Ia adalah sosok yang telah menghabiskan puluhan tahun hidupnya di dunia musik. Sebagai personel band Straight Answer, musik sudah menjadi bagian dari dirinya. Membuka toko Here to Stay sebagai salah satu cara baginya untuk tetap dekat dengan dunia yang ia cintai.
“Saya tuh maunya berusaha di bidang yang saya suka. Musik saya suka. Band saya, Straight Answer, itu umurnya udah 30 tahun. Jadi musik itu sudah hidup saya lah, makanya saya buka toko ini,” jelasnya.
Selain menjual kaos band, 1,5 tahun lalu Aca juga mencoba memperluas bisnisnya dengan membuka kedai roti bernama Toasty di lantai atas Pasar Santa. Semata-mata bukan hanya soal mencari keuntungan, tetapi juga memberikan peluang kerja bagi orang lain.
Di tengah sulitnya ekonomi, ia menyadari masih banyak orang bersedia bekerja dengan gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR), sekadar untuk bisa bertahan. “Jadi kalau ditanya kenapa tetap jualan saat sepi begini, paling tidak saya pikir, dengan jualan saya bisa ajak orang. Di Indonesia masih sangat banyak orang yang mau kerja dengan gaji Rp2 juta per bulan. Kalau ditanya kenapa? Ya susah cari uang, susah cari kerja,” jelasnya.

Aca juga masih ingat betul bagaimana pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Jakarta seolah mati suri, dengan aturan pembatasan yang membuat jalanan lengang dan pasar-pasar kehilangan pengunjung. Namun, ia tetap memilih membuka tokonya, meski sadar peluang untuk berjualan nyaris tak ada.
“Waktu itu Jakarta seperti lockdown, orang enggak boleh keluar. Jadi gue di dalam aja, tapi enggak ada yang datang,” katanya. Satu alasan yang membuatnya enggan menutup toko kala itu adalah demi menjaga asa yang tersisa.
“Kami tahu, meskipun buka, dalam tanda kutip, pasti nggak ada yang beli. Tapi harapan harus tetap dijaga. Kali aja ada, makanya tetap buka,” kenangnya.
Harapan itulah yang masih ia pegang hingga sekarang. Meski Ramadan ini sepi, meski daya beli masyarakat terus menurun, Aca tetap ‘Here to Stay’. Bak seorang musisi yang terus memainkan lagu meski panggungnya kosong, ia tetap bertahan, menunggu saat Pasar Santa kembali bergema seperti dulu.