Bali Baiknya Bangun MRT


Keberhasilan Jakarta dan Palembang dalam mengoperasikan LRT (light rail transit) menyulut Bali untuk melakukan prestasi serupa, namun tidak membangun MRT (mass rapid transit) atau KRL (kereta rel listrik). Untuk menjaga kelestarian wilayah, proyek milik Bali Urban Subway ini sebagian harus dibangun di bawah tanah.

Sebagai informasi, pembangunan jaringan rel kereta api di permukaan tanah paling murah sekitar Rp 400 miliar per kilometer, termasuk rel, stasiun, persinyalan, dan sebagainya. Biaya LRT layang Jabodebek per kilometer mencapai sekitar Rp800 miliar, mendekati biaya kereta cepat Whoosh yang mencapai Rp780 miliar per kilometer.

Beda dengan LRT, jalur Whoosh tidak hanya layang, tetapi juga sedikit di bawah tanah serta menembus perut bukit, total sepanjang 142 km dengan hanya dua stasiun, Halim di Jakarta Timur dan Stasiun Tegalluar di Timur Bandung. Membangun LRT Bali lebih mahal lagi, karena harus mengebor tanah dengan mesin bor (TBM – tunnel boring machine).

Studi menyebutkan biaya pembangunan LRT Bali masih lebih murah jika dilakukan di bawah tanah. Membangun di permukaan selalu terkendala masalah klasik soal pembebasan lahan yang rumit, mahal, dan melelahkan, ditambah aturan di Bali yang menyatakan bangunan tidak boleh lebih tinggi dari pohon kelapa.

Kecepatan pengeboran untuk terowongan tergantung kondisi tanah; jika lembek atau berkapur bisa 30 meter sehari. Namun, pada lahan berbatu cadas, TBM hanya bisa maju sepanjang 3 meter sehari, seperti di sebagian jalur LRT Bali.

LRT Bali dibangun dalam empat tahapan. Ground breaking dilakukan di patok awal Kawasan Sentra Parkir Kuta pada Rabu (4/9). Di tahap ini, TBM dikerahkan untuk membangun jalur bawah tanah mulai dari Bandara I Gusti Ngurah Rai, Sentral Parkir Kuta hingga Seminyak, Berawa, terus ke Cemagi sepanjang 16 km yang berbatu dan keras.

Penyandang Dana

Proyek diharapkan selesai pada triwulan kedua tahun 2028, lalu LRT dioperasikan secara komersial pada 2031. Pembangunan tahap kedua rutenya dari Bandara Ngurah Rai ke Universitas Udayana, kemudian ke Jimbaran dan Nusa Dua, sepanjang 13,5 km.

Pembangunan tahap satu dan dua sepanjang 29,5 km diperkirakan akan memakan biaya sekitar 10,8 miliar dollar AS, atau sekitar Rp166,3 triliun.

Saat ini sedang dilakukan uji kelayakan (feasibility study) untuk tahap berikutnya. Rencananya, rute tahap ketiga dimulai dari Sentral Parkir Kuta, ke Sesetan, Renon, dan Sanur. Tahap keempat dari Renon ke Sukawati dan Ubud. 

“Keseluruhan empat tahap biayanya sebesar 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 309 triliun),” ungkap Dirut PT Sarana Bali Dwipa, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Ashkara), yang merupakan mantan Dirut Garuda Indonesia.

Bandingkan dengan LRT Jabodebek (Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi) yang sudah dioperasikan sepanjang 41,2 km dengan biaya pembangunan sekitar Rp32,6 triliun, naik dari rencana “hanya” Rp 29,9 triliun akibat pembengkakan biaya (cost overrun). Sebenarnya, keduanya tidak bisa dibandingkan secara langsung, karena sebagian jalur LRT Bali dibangun 30 meter di bawah permukaan tanah, sehingga biayanya jauh lebih mahal, sementara LRT Jabodebek atau Palembang menggunakan jalur layang.

PT Indotek dikatakan akan menjadi kontraktor utama bersama China Railway Construction Corporation (CRCC), yang juga menggarap pembangunan KA Cepat Jakarta-Bandung, Whoosh. Studi kelayakannya dikerjakan Korail (Korea Rail Corporation) bersama Saman dan Dongmyeong, semua dari Korea.

Hingga saat groundbreaking LRT Bali awal September, masih belum diketahui siapa penyandang dananya. Namun, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebutkan bahwa calon investor bukan CRRC, tetapi ada investor dari Korea dan investor lokal, tanpa menyebut nama mereka.

Sebenarnya, bisnis pengoperasian kereta api bukanlah bisnis yang menarik bagi investor jika dibandingkan dengan pembangunan dan pengoperasian bandara, pelayaran, atau penerbangan. Pernah terungkap, titik impas Whoosh baru tercapai setelah 80 tahun beroperasi, sementara LRT Bali dikatakan Ari hanya membutuhkan 40 tahun.

Mestinya MRT

Sasaran LRT Bali adalah wisatawan, yang pada 2023 lalu datang sebanyak 5,2 juta orang. Mereka diharapkan akan membeli tiket semingguan yang harganya sekitar Rp 550.000.

Ari Askhara yakin proyek ini akan berjalan karena konsesi bagi investornya bisa mencapai 50 tahun. Meskipun sesuai peraturan perundangan, katanya, konsesi bisa diberikan hingga 90 tahun.

Sejatinya, LRT “Bali Urban Subway” ini terancam mengalami cost overrun yang sangat tinggi, seperti yang terjadi pada proyek KA Cepat Indonesia-Cina (KCIC) Whoosh. Peningkatan biaya Whoosh membuat pemerintah terpaksa mengubah janjinya, setelah sebelumnya menjamin bahwa KCIC tidak akan membebani BUMN, karena merupakan proyek B2B (business to business).

Dalam perjalanannya, proyek KCIC menjadi buah simalakama; diteruskan pasti menanggung biaya yang sangat besar, tetapi jika dibatalkan, akan ada kerugian lebih besar karena proyek berada di tengah jalan. Terjadi pembengkakan biaya yang seharusnya sudah bisa diantisipasi dan diinformasikan kepada pemerintah, mencapai 7,27 miliar dollar AS (sekitar Rp 112 triliun), dari Rp86,67 triliun, atau naik sekitar Rp 31 triliun.

Apalagi, proyek LRT Bali dibuat lebih wah dibanding LRT Jabodebek. Lebar terowongannya saja mencapai 7,2 meter, sementara lebar terowongan MRT Jakarta 6,4 meter.

Ari Askhara seharusnya tidak membangun LRT jika harus beroperasi di bawah tanah, toh biaya pembangunannya nyaris sama dengan MRT. Kenapa tidak langsung membangun MRT yang banyak kelebihannya?

Kapasitas LRT dengan tiga kereta yang lebih sempit hanyalah sekitar 600 penumpang. MRT dengan enam kereta bisa mencapai lebih dari 1.950 orang, dan kecepatannya pun hanya 50 km/jam, berbanding 100 km/jam.