Ingar bingar politik makin meriah jelang Pilkada ini. Ada yang bersorak kegirangan ada pula yang merengut karena rencana suksesi yang sudah dipersiapkan bagi para ‘raja’ penguasa daerah bakal terganjal. Biang keladinya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ini berawal dari Keputusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ambang batas dari 25 persen menjadi 7,5 persen. Seperti ombak tsunami, putusan MK menggulung apapun yang ada di hadapannya dan merusak semua rencana untuk menguasai dari ibu kota hingga ke daerah-daerah. Namun bagi sebagian pihak gulungan ombak besar ini menjadi sebuah berkah, menimbulkan gairah, harapan dan dinamika baru.
Parpol sejak lama sudah menyiapkan jago-jagonya untuk maju di daerah-daerah. Yang paling dominan adalah koalisi partai-partai pendukung pemerintahan yakni Koalisi Indonesia Maju (KIM). Seperti sudah dikotak-kotak dan penjatahan, siapa, dari partai mana dan daerah mana, koalisi yang akan menempatkan jagoannya di Pilkada.
Koalisi gemuk terus merapatkan barisan untuk menguasai banyak daerah berupaya menghadirkan calon tunggal. Bahkan sempat muncul kekhawatiran adanya skema kotak kosong di sejumlah wilayah. Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PDI Perjuangan (PDIP), Adian Napitupulu menyebut ada potensi terjadi kotak kosong di 140-150 kabupaten/kota.
Namun tiba-tiba gelombang tsunami itu datang lewat keputusan MK tersebut. Konstelasi politik Pilkada 2024 amburadul berantakan. Keputusan para hakim MK nomor 60 itu bak petir di siang bolong bagi KIM Plus. Demikian pula keputusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia peserta Pilkada yakni 30 tahun ketika mendaftarkan diri.
Kontroversi seputar Pilkada ini mirip saat Pilpres yang meloloskan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka lewat MK yang ketika itu dipimpin pamannya, Anwar Usman. Beberapa kalangan di DPR RI sempat berusaha mengabaikan putusan MK ini dengan merevisi UU Pilkada. Termasuk upaya mengubah undang-undang, terkait ambang batas dan usia minimal calon.
Masyarakat meyakini bahwa upaya ini dilakukan agar putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep bisa menjadi kontestan di Pilkada serentak ini. Namun semua upaya itu gagal setelah muncul penolakan kuat di akar rumput hingga turun ke jalan-jalan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Upaya kelompok besar yang sengaja memborong parpol untuk menghalangi partai lain maju atau tidak mampu mengusung pasangan pun terjegal.
“Putusan ini, bisa membalikkan skenario elit yang sengaja memborong parpol. Putusan ini membuka peluang bagi parpol lain yang sebelumnya tidak bisa mengusung pasangan calon,” kata pengamat politik Karyono Wibowo. Para kandidat yang tadinya tidak bisa maju jadi bisa maju.
Pertaruhan Pemerintahan Baru dan Cawe-cawe Jokowi
Pilkada seretak yang akan digelar 27 November, dengan memilih 37 gubernur, 93 wali kota, 415 bupati beserta wakilnya ini memang krusial. Karena hasilnya dapat membentuk lanskap politik dan menentukan kemajuan negara selama lima tahun ke depan.
Hasil Pilkada dapat memiliki implikasi luas yang dapat memengaruhi pemilihan umum berikutnya. Semua partai berharap jika berhasil memenangkan kader pilihannya, bisa menjadi landasan bagi mereka untuk tampil lebih baik dalam pemilihan presiden dan legislatif tahun 2029.
Sementara bagi pemerintahan baru mendatang yang dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, hasil Pilkada ini akan menentukan corak hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah. Tak heran jika, pemerintahan yang akan datang lewat koalisinya, ingin menempatkan pemimpin di daerah yang dapat memuluskan pelaksanaan program-program pemerintah dalam lima tahun ke depan.
Tak hanya bagi pemerintahan baru, pengamat melihat Jokowi tampaknya masih ingin mempengaruhi pemilihan lokal. Mirip dengan bagaimana ia sebelumnya mengakui ikut campur dalam pemilihan presiden. “Ini dilakukan sebagai sarana untuk tetap berpengaruh bahkan setelah mundur dari kursi kepresidenan pada bulan Oktober,” kata Titi Anggraini, dosen hukum Pemilu di Universitas Indonesia.
Seperti diketahui di tingkat nasional, terdapat koalisi besar KIM yang berhasil mendukung Prabowo dan Gibran selama pemilihan presiden bulan Februari. Mereka termasuk partai-partai yang ada di parlemen seperti Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Dalam beberapa minggu terakhir, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memutuskan untuk bergabung dengan koalisi ini sehingga disebut sebagai KIM Plus. Menurut Titi, Jokowi tengah berupaya mereplikasi KIM Plus untuk Pilkada dengan memengaruhi berbagai partai politik.
Dominasi, hegemoni, dan kendali Jokowi sebagai presiden petahana yang akan mengakhiri masa jabatannya namun masih memiliki pengaruh signifikan dalam pemerintahan menjadi salah satu hal yang paling disorot dalam kontestasi pilkada serentak ini. “Kontroversi itu menyangkut upaya duplikasi dan replikasi KIM di Pilkada,” sebut Titi, mengutip Channel News Asia (CNA).
Bandul Berguncang Hebat di Pilgub Pulau Jawa
Rencana tinggal rencana, semuanya ternyata berubah. Keinginan pemerintahan saat ini dan mendatang lewat koalisi partai pendukungnya harus tertahan. Tidak hanya PDIP sebagai pesaing beratnya, partai-partai yang sudah tergabung di KIM Plus pun ikut bermanuver mengusung calonnya sendiri.
Beberapa skenario pun terpaksa harus berubah di beberapa daerah terutama di Pulau Jawa. Jawa menjadi medan pertempuran utama karena lebih dari separuh dari 280 juta penduduk negara atau sekitar 13 juta jiwa tinggal di sana.
Lihat saja, pencalonan kader Golkar sekaligus mantan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Suswono di Pilkada DKI Jakarta. Padahal Ridwan Kamil memiliki elektabilitas lebih tinggi di Jawa Barat. Mereka didukung oleh koalisi besar yang terdiri dari sedikitnya 13 partai.
Jakarta penting, dan siapa pun yang menang di Jakarta bisa menjadi jalan menggunakan jabatan gubernur sebagai batu loncatan untuk pencalonan presiden berikutnya. Semula KIM Plus yang mengajukan keduanya begitu pede bakal dengan mudah berhadapan dengan bukan calon unggulan yakni pasangan Cagub-Cawagub Independen Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
Namun begitu keputusan MK keluar, kepedean koalisi besar ini sedikit menciut apalagi sempat terbuka peluang Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta sebelumnya yang unggul di berbagai survei untuk maju meskipun kemudian gagal mendapat rekomendasi dari PDIP. Akhirnya partai lama Jokowi yang kini menjadi pesaingnya yakni PDIP, mengajukan pasangan Pramono Anung dan Rano Karno.
Di beberapa provinsi, peta kontestasi Pilgub juga berubah. Provinsi Banten semula lewat KIM Plus akan memajukan Andra Soni dari Partai Gerindra sebagai Cagub didampingi Achmad Dimyati Natakusumah. Padahal dari berbagai survei, Mantan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachma Diany dari partai Golkar paling unggul.
Akhirnya Partai Golkar Banten ‘membangkang’ dan tetap mencalonkan Airin-Ade dari PDI Perjuangan setelah mendapat rekomendasi dari DPP PDIP. Belakangan DPP Partai Golkar mengalah di menit-menit akhir mengeluarkan juga rekomendasi untuk Airin.
Di Jawa Tengah, mirip-mirip dengan DKI Jakarta. Koalisasi besar KIM Plus semula terlihat sangat jemawa dengan pencalonan eks Kapolda Jateng Komjen Pol Ahmad Luthfi yang didukung Partai Gerindra berpasangan dengan Taj Yasin. Bahkan sempat muncul nama Kaesang Pangarep si putra bungsu sebagai cawagub yang kemudian terganjal putusan MK soal pembatasan usia. Kini Cagub-Cawagub besutan KIM Plus ini memiliki lawan tangguh yang diusung PDIP yakni Andika Perkasa dan Hendar Prihadi.
Jawa Barat, tak beda jauh. Dedi Mulyadi yang berpasangan dengan Erwan Setiawan yang diusung KIM Plus kini harus berhadapan dengan tiga pasangan lainnya yang muncul terakhir. Yakni Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie, Acep Adang Ruhiat-Gita, serta Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja.
Peta Pilgub di Jawa Timur juga berubah. Sebelumnya hanya muncul nama petahana Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, kini muncul dua pasangan lagi yakni Menteri Sosial dan mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta serta pasangan Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim.
![risma cagub jatim](https://i1.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/08/risma_gus_han_daftar_pilgub_jawa_timur_1d86r_dom_14494b73bc.jpg)
Tak hanya di level Pilgub yang akan dilakukan pemilihan di 37 provinsi, Pilkada di 415 kabupaten dan 93 kotamadya makin meriah dengan munculnya kandidat-kandidat baru. Partai-partai kecil yang semula tak bisa mengusung calon kepala daerah, seperti dibukakan pintu untuk berkontestasi di Pilkada serentak. Upaya koalisi besar untuk ‘menguasai’ daerah lewat Pilkada kali ini pun menghadapi tantangan berat.
Uji Kesaktian KIM Plus
Kepentingan sejalan presiden saat ini dan presiden baru dalam hal Pilkada menjadi ujian kekuatan koalisi besar para pendukungnya. Lebih spesifik lagi menjadi pertaruhan politik KIM Plus dengan ‘oposisi’ yakni PDIP.
“Saya melihat di Pilkada ini akan head to head antara koalisi pendukung Jokowi dalam KIM dengan koalisi bentukan PDIP. Putusan MK ini membuka jalan bagi PDIP dan parpol non parlemen yang sempat tidak bisa mengajukan calon karena regulasi akhirnya bisa mengusung (calon). Ini juga ujian bagi Koalisi Indonesia Maju apakah ada yang keluar membentuk koalisi baru di luar keduanya,” ungkap pengamat komunikasi politik Universitas Sebelas Maret Solo, Sri Hastjarjo mengutip VOA.
Momentum Pilkada kali ini sekaligus juga menjadi ajang pembuktian PDIP yang menang di Pemilu Legislatif terutama di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah yang dikenal dengan sebutan “kandang Banteng’ apakah tetap konsisten meraup suara dominan di Pilkada kali ini.
Akankah KIM Plus lolos ujian Pilkada ini? Jawabannya baru bisa dipastikan setelah melihat hasil perhitungan akhir Pilkada. Yang jelas, keputusan MK ini membuat bandul politik di Pilkada mengguncang koalisasi partai besar. Bahkan saking ‘pusing’-nya dengan putusan MK ini, muncul rencana untuk mengebiri kekuasan lembaga ini di masa mendatang.
“Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK,” kata Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Ketua Komisi II DPR RI, dalam keterangannya kepada media, Kamis (29/8/2024). Menurutnya, Putusan-putusan MK banyak yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga.
Ini berbeda dengan pangan publik. Masyarakat menilai, keputusan MK kali ini seperti memberi nafas segar bagi demokrasi di Tanah Air. Sekaligus menumbuhkan kembali kepercayaan kepada lembaga terhormat ini yang sempat terseok ke pinggir jurang karena keputusan kontroversialnya meloloskan pencalonan Gibran di Pilpres Februari lalu di era Anwar Usman.
Pilkada serentak kali ini sejatinya untuk memilih para kepala daerah, namun rasa dan aromanya pada hakikatnya seperti memilih pemimpin nasional. Parpol akan berjuang habis-habisan untuk memenangi Pilkada kali ini. Akankah koalisi besar pendukung pemerintah mampu mempertahankan dominasinya atau malah kali ini boncos? Kita tunggu saja sama-sama hasilnya setelah pencoblosan Pilkada pada 27 November 2024 nanti.