Bank Indonesia Diperkirakan Tahan BI-Rate di 6,25 Persen


Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan kembali mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate tetap di level 6,25 persen. Hal tersebut didasari dengan pertimbangan atas ketidakpastian global dan domestik yang sedang berlangsung, kendati indikator-indikator ekonomi AS menunjukkan pelemahan.

Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede mengatakan, di dalam negeri tingkat inflasi cenderung terkendali lantaran peningkatan pasokan pangan setelah musim panen raya.

Selain itu, neraca perdagangan masih mencatat surplus, meskipun menyempit, sehingga mendorong berlanjutnya defisit neraca transaksi berjalan (CAD) meskipun masih dalam level yang terkendali. Faktor-faktor tersebut berkontribusi pada stabilitas ekonomi.

Namun, risiko-risiko muncul dari meningkatnya ketidakpastian mengenai keberlanjutan fiskal, yang berasal dari perbedaan pendapat mengenai utang publik dan defisit fiskal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya twin deficit, dengan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.

“Isu-isu tersebut dinilai memicu sentimen risk-off, yang berpotensi membatasi aliran modal masuk dan memengaruhi stabilitas rupiah,” ujar Josua melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (16/7/2024).

Secara global, indikator-indikator ekonomi AS baru-baru ini mengonfirmasi perlambatan ekonomi AS, dengan sektor manufaktur dan jasa yang mengalami kontraksi, disinflasi yang terus berlanjut, dan pasar tenaga kerja yang melemah.

Namun, ketidakpastian global juga cenderung meningkat, terutama terkait dengan kondisi politik di Zona Euro dan AS. Perubahan kepemimpinan di Inggris dan Prancis telah membuat investor lebih berhati-hati karena mereka menilai kembali potensi dampak dari kebijakan ekonomi baru di pasar keuangan, terutama pasar obligasi.

Selain itu, upaya penembakan terhadap calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, telah meningkatkan peluangnya untuk memenangkan pemilu yang akan datang, meningkatkan ketidakpastian pasar karena kemungkinan kebijakannya seperti kebijakan perdagangan yang restriktif dan pemotongan pajak yang diusulkan, yang dapat meningkatkan inflasi.

Secara keseluruhan, kata Josua, sentimen risk-off meningkat dan permintaan terhadap aset-aset safe-haven menguat, sehingga membatasi pelemahan indeks dolar AS di tengah melemahnya data ekonomi AS.

“Kami memperkirakan arah kebijakan moneter BI di masa depan terkait BI-rate akan sangat bergantung pada perkembangan kondisi ekonomi dan politik global, terutama di AS,” tuturnya.

“Meskipun pasar saat ini mengantisipasi dua kali penurunan Fed Funds Rate (FFR) di tahun ini, mulai dari bulan September, kami tetap berpandangan bahwa the Fed hanya akan menurunkan FFR satu kali, yakni di triwulan IV-2024,” lanjut Josua.

Menurut dia, peluang BI untuk menurunkan BI-Rate baru terbuka ketika The Fed melakukan penurunan FFR. Karenanya, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan ini, bank sentral diperkirakan akan mempertahankan BI-Rate di level 6,25 persen hingga akhir 2024 dan ruang penurunan suku bunga BI diperkirakan akan lebih terbuka pada triwulan I-2025.