“Kurangi bansos (bantuan sosial), perbanyak lapangan kerja. Ajari kami mandiri,” tulis seorang netizen dalam kolom komentar video YouTube live streaming debat calon kepala daerah tertentu. Rupanya, komentar tersebut mengundang perhatian ribuan netizen lainnya.
Ketika ditelisik lebih dalam, ungkapan tersebut tidak hanya mencerminkan keresahan, tetapi juga harapan besar masyarakat terhadap pemimpin yang mampu memberikan solusi nyata atas berbagai problem kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan rahasia umum lagi bahwa saat menjelang pemilihan umum, seperti Pilkada Serentak 2024, yang jatuh pada tanggal 27 November nanti, distribusi bansos akan meningkat drastis.
Padahal, masyarakat justru lebih membutuhkan kebijakan yang mampu menciptakan lapangan kerja dan memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan agar bisa berdikari. Tentu bansos bukanlah solusi yang tepat atas kebutuhan masyarakat tersebut.
Dalam kondisi tersebut, tak ayal jika timbul sebuah pertanyaan klasik namun tetap menarik untuk dikulik: apakah bansos benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat atau justru hanya dimanfaatkan sebagai strategi politik?
Bansos dalam Tahun Politik
Bansos, yang sejatinya bertujuan untuk membantu masyarakat ekonomi bawah, sering kali dijadikan sebagai alat politik untuk mendulang ‘pundi-pundi’ suara, alih-alih memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat secara adil yang berbasis pemberdayaan.
Data Kementerian Keuangan RI menyebutkan, anggaran bansos tahun 2024 sebesar Rp75,6 triliun. Angka tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, di mana pada 2023, anggaran bansos Rp74,3 triliun. Anggaran ini baru di Kementerian Sosial, belum mencakup anggaran sosial lainnya yang jumlahnya mencapai…
Sekali lagi, apakah bansos benar-benar kebutuhan mendesak masyarakat atau sekadar alat politik? Pertanyaan ini semakin relevan karena diajukan tepat pada tahun politik. Selain itu, hal ini berkaitan dengan aspek strategis, seperti pemberdayaan dan penguatan mentalitas.
Studi yang dilakukan Fajar Rahmanto, dkk (2021) mengungkapkan bahwa bansos tidak semata-mata didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, tetapi juga memiliki dimensi strategis dalam mendukung kepentingan politik, terutama kepentingan penguasa. Studi empiris berkaitan dengan bansos sudah banyak dilakukan. Dari kajian tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Saragintan & Hidayat, S. (2016), Joveto & Irwansyah (2023), dan Masduki Duryat (2024), yang mengungkapkan bahwa bansos tidak lagi menjadi bantuan murni, melainkan sudah ‘tercemar’ oleh instrumen yang sarat kepentingan politis.
Padahal, jika melihat aspirasi dan kondisi masyarakat hari ini, sebagaimana ditegaskan oleh Wakil Direktur INDEF, Eko Listyanto, bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah akselerasi program pemberdayaan SDM, bukan peningkatan penyaluran bansos.
Bansos Memicu Ketergantungan dan Mentalitas Pengemis
Dalam aspek yang lebih krusial, bansos yang sudah ‘tercemar’ kepentingan politik praktis, juga merusak mentalitas masyarakat. Alih-alih memberdayakan, bansos yang diberikan tanpa disertai strategi pemberdayaan dapat memicu ketergantungan dan mengubah pola pikir masyarakat menjadi pasif. Fenomena ini bahkan sering disebut sebagai “mentalitas pengemis,” di mana masyarakat cenderung menunggu bantuan instan daripada berupaya meningkatkan soft skill dan mengasah diri mereka secara mandiri.
Tanpa mengutip sebuah kajian pun sebenarnya kita bisa dengan mudah dan paham bahwa bansos itu hanya bisa meredam persoalan jangka pendek, tidak bisa menyelesaikan akar masalah kemiskinan. Padahal, yang dibutuhkan rakyat Indonesia itu solusi jangka panjang. Lalu, mengapa bansos, terutama di tahun politik justru makin massif? Entahlah.
Bahkan secara terang-terangan, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (2024), mengungkapkan bahwa bansos yang diberikan dalam jangka waktu lama berpotensi menurunkan semangat kerja dan motivasi masyarakat (demotivasi) untuk mandiri. Hal ini lantaran penerima bansos merasa terbiasa dengan bantuan. Walhasil, yang demikian itu dapat memupuk budaya menunggu dan berharap pada bantuan daripada membangun inisiatif pribadi.
Kebutuhan Mendasar Masyarakat: Pekerjaan dan Kesejahteraan
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2024), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia tercatat sebesar 4,91%, atau setara dengan 7,47 juta. Celakanya, dari jumlah pengangguran tersebut, mayoritas adalah mereka yang berada pada kelompok usia produktif, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi bumi pertiwi ini.
M. Iqbal Firmansyah, dkk (2021) menyebutkan bahwa salah satu tanggung jawab negara adalah mencetuskan kebijakan untuk kesejahteraan masyarakatnya, salah satunya dilakukan melalui penetapan kebijakan alokasi anggaran dan penerapan program-program pemerintah.
Kebijakan alokasi anggaran dan penerapan program harus bertolak dari kebutuhan masyarakat, bukan narasi populis seperti distribusi bansos saat pemilu. Sebuah studi oleh World Bank (2022) menegaskan bahwa program yang berfokus pada pemberdayaan, seperti pendidikan dan vokasi, memiliki dampak jangka panjang yang jauh lebih signifikan daripada bantuan langsung tunai.
Dengan pemberdayaan, maka masyarakat akan berdikari, bisa berdiri sendiri, mampu mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarga sehingga tidak menggantungkan pada bantuan. Inilah yang harus ditingkatkan secara massif oleh pemerintah. Hal ini supaya sesuai dengan Permendagri No. 53 tahun 2020, di mana penanggulangan kebijakan dilakukan melalui 4 strategi dan 3 program, di antaranya melalui peningkatan kemampuan dan pendapatan, pengembangan dan pemberdayaan.
Selain itu, dalam kaca mata pemilih, maka masyarakat harus lebih peduli dan bersikap kritis dalam memahami fungsi bansos. Bansos bukanlah hadiah dari kandidat atau pemerintah, apalagi incumbent. Bansos adalah hak yang harus didistribusikan kepada masyarakat ekonomi bawah secara adil tanpa kepentingan politik.
Terakhir, sebagai pemilih, mari kita tidak mudah tergiur dengan pemberian bansos. Pilihlah kandidat yang menawarkan solusi riil dan berpikir jangka panjang untuk pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Ingat, pada akhirnya, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh bantuan sesaat, tetapi oleh kebijakan yang memberdayakan rakyat.