Menteri Perdagangan Budi Santoso. (Foto: Antara/Maria Cicilia Galuh)
Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 justru dibuat untuk melindungi industri tekstil dalam negeri.
Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas keluhan bos Sritex Iwan Setiawan Lukminto yang menyebut regulasi tersebut membuat perusahaannya dinyatakan pailit.
“Tadi sudah kami klarifikasi, kalau di Permendag 8 itu sebenarnya melindungi industri tekstil,” ujar Mendag Budi, saat ditemui wartawan usai rapat koordinasi terbatas (rakortas) sejumlah menteri bidang ekonomi di Four Season Hotel, Jakarta Selatan, Minggu (3/11/2024).
Dia menjelaskan, Permendag 8/2024 mengatur impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) melalui pertimbangan teknis yang ketat. Selain itu, kuota impor pakaian jadi juga diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Perdagangan Luar Negeri Nomor 7 Tahun 2024.
“Untuk TPT dikenakan bea masuk pengamanan perdagangan, per meter sekian ribu. Begitu juga dengan pakaian jadi,” papar Mendag Budi.
Terkait apakah peraturan ini akan direvisi, dia menegaskan bahwa Permendag 8/2024 selalu diulas kembali oleh pihaknya.
Sejauh ini, Mendag Budi merasa Permendag 8/2024 tetap menjadi peraturan yang tepat untuk melindungi industri tekstil dalam negeri.
“Itu kalau review peraturan-peraturan selalu ada dari dulu, yang mana kan sesuai perkembangan, tetapi kan aturan Permendag 8 terkait industri tekstil itu sudah clear. Kita melindungi industri dalam negeri, sudah pasti,” ucap dia.
Sebelumnya, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto menyebut Permendag 8 Tahun 2024 telah memukul banyak perusahaan tekstil, termasuk Sritex. Menurutnya, banyak perusahaan tekstil lain juga mengalami tekanan serupa akibat regulasi baru ini.
Tata Kelola Abal-abal, Utang Menggunung
Sejatinya, sejak 2021 keuangan Sritex sudah kembang kempis. Pihak otoritas bursa telah menetapkan suspensi perdagangan efek Sritex sejak 18 Mei 2021. Hal itu terkuak dari pengumuman BEI nomor Peng-00020/BEI.PP3/06-2024 tanggal 28 Juni 2024.
Pengumuman terbaru membuat Sritex semakin tak ada harapan. Artinya, pemilik saham dipastikan menanggung rugi dengan nilainya fantastis.
Mengutip RTI Business, aplikasi jual-beli saham dan investasi yang terpercaya, total saham Sritex sebanyak 20,45 miliar, sebagian besar digenggam PT Huddleston Indonesia.
Ternyata, PT Huddleston Indonesia ini, adalah perusahaan yang didirikan keluarga Lukminto, pendiri Sritex juga. Perusahaan ini menjadi pengendali Sritex dengan kepemilikan 12,07 miliar saham, setara 59,06 persen.
Sementara porsi saham investor ritel Sritex sebanyak 8,15 miliar lembar, setara 39,89 persen. Sisanya dimiliki manajemen Sritex, yakni Iwan Setiawan Lukminto sebanyak 109,11 juta lembar atau setara 0,53 persen, dan Iwan Kurniawan Lukminto sebanyak 107,63 juta atau setara 0,52 persen.
Nilai total kepemilikan investor ritel pada harga terbaru saham SRIL di Rp146 per saham, mencapai Rp1,19 triliun. Dalam 3 tahun terakhir, harga saham SRIL macet di level itu.
Dalam lima tahun terakhir, saham Sritex anjlok 57 persen dan pernah menyentuh harga Rp362 per saham. Artinya, total kerugian investor ritel mencapai Rp1,76 triliun dalam 5 tahun.
Di balik kehancuran kerajaan bisnis tekstil yang didirikan HM Lukminto pada 1966, patut diduga karena inefisiensi yang ugal-ugalan. Utangnya besar, namun aset perusahaan rendah sekali.
Bisa jadi, utang perusahaan bukan untuk keperluan ekspansi usaha. Bisa saja untuk urusan pribadi.
Asal tahu saja, berdasarkan laporan keuangan per September 2023, total liabilitas (utang) Sritex mencapai US$1,54 miliar atau Rp23,87 triliun (kurs Rp15.500/US$).
Terdiri dari utang jangka pendek US$106,41 juta dan jangka panjang US$1,44 miliar. Utangnya didominasi utang bank dan obligasi.
Dan, utang Sritex ternyata lebih besar ketimbang nilai asetnya yang hanya US$653,51 juta, atau setara Rp10,12 triliun. Kurang dari setengah dari total utang Sritex yang mencapai Rp23,87 triliun. Ternyata, dana utangan Sritex banyak yang tidak untuk membeli aset.