Bantah Daya Beli Tercekik, Sri Mulyani Yakin Deflasi 2 Bulan Berkat Diskon Tarif Listrik


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi dua bulan berturut-turut yakni Januari 2025, sebesar 0,76 persen (month to month/mtm), dan Februari 2025 mencapai 0,48 persen (mtm). Bisa bemakna positif yakni harga turun. Tapi ada juga yang negatif, daya beli melemah.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani menilai, deflasi yang terjadi di dua bulan pertama di 2025, merupakan penurunan harga barang dampak dari kebijakan pemerintah (policy). Misalnya, diskon tarif listrik hingga 50 persen pada Februari 2025. “Turun (deflasi) itu karena policy, bukan karena permintaanya tidak ada,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Kebijakan pemerintah memberikan mendiskon tarif listrik sebesar 50 persen, kata Sri Mulyani, sangat membantu dan meringankan beban masyarakat. Sehingga menekan pengeluaran masyarakat dan mendorong terjadinya deflasi.

Selain itu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah menetapkan kebijakan diskon tiket pesawat hingga tarif tol, bertujuan untuk menunjang mobilitas masyarakat di momen Lebaran tahun ini.

“Banyak yang memberikan interpretasi, deflasi karena masyarakat lesu, tidak juga. Karena banyak administered price yang dilakukan sejak awal tahun ini. Kita turunkan harga tiket pesawat di titik yang biasanya melonjak. Ini berkontribusi terhadap penurunan harga, itu deflasi,” kata dia.

Direktur Eksekutif Celios (Center of Economics and Law Studies), Bhima Yudhistira menyampaikan, deflasi terjadi bukan semata dipengaruhi diskon tarif listrik periode Januari-Februari 2025.

Menurutnya, dari sisi permintaan harusnya semakin naik setelah ada diskon tarif listrik, karena uang yang dihemat dari pengeluaran listrik bisa dibelanjakan masyarakat untuk keperluan lainnya. “Kalau masih deflasi juga artinya uangnya memang tidak ada atau sedang terjadi aksi saving,” tutur Bhima, Senin (3/3/2025).

Bhima menyampaikan, deflasi menandakan kegiatan belanja masyarakat sedang melambat. Artinya masyarakat melakukan kegiatan makan tabungan sejalan dengan simpanan perseorangan yang merosot.

Sejalan dengan itu, Ia juga mencatat, pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya masih marak, sehingga menjadi alarm dari sisi demand pull inflation.

Indikasi lain adalah masyarakat menahan belanja pada Februari untuk penuhi kebutuhan saat Ramadan-Lebaran. “Semoga belanjanya cuma ditunda ya bukan tidak mau belanja,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia memproyeksikan, pada Maret 2025 atau saat periode Ramadan akan terjadi inflasi sebesar 0,1persen (mtm). Ini dipengaruhi oleh momen seasonal Ramadan dan Lebaran. Serta berakhirnya diskon tarif listrik. Selain itu, harga pangan juga dinilai, akan mendorong inflasi terutama cabai, kelapa, minyak goreng, bawang merah.