Kanal

Barat Ingin Hentikan Ekonomi China, Apa Efeknya Secara Global?

Barat dengan berbagai upaya ingin menghentikan pertumbuhan perekonomian China. Namun, keinginan itu bukan hal mudah. Barat juga harus berpikir dampaknya yang dahsyat bagi perekonomian dunia.

Negara Barat, terdiri dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya sudah lama bermusuhan dengan China. Presiden AS Joe Biden telah berulang kali mengatakan bahwa dia bersedia berperang dengan China untuk mempertahankan Taiwan. Uni Eropa menggambarkan negara itu sebagai ‘saingan sistemik’. Inggris memperdebatkan secara resmi pelabelan China sebagai ‘ancaman. Tentunya, jika menganggap suatu negara sebagai ancaman atau saingan, tidak ingin melihat ekonominya berkembang pesat.

Namun, ada yang berpendapat bahwa kesuksesan ekonomi China yang berkelanjutan tetap menjadi kepentingan Barat. Gideon Rachman, dalam tulisannya di Financial Times mengungkapkan, pendapat ini memiliki argumen yang masuk akal. Alasannya, China adalah bagian besar dari ekonomi dunia.

“Jika menginginkan China mengalami resesi, berarti sama saja dengan menginginkan dunia juga terperosok ke dalam resesi. Dan jika China ambruk, misalnya jika sektor propertinya ambruk, konsekuensinya akan memantul melalui sistem keuangan global.”

Lalu ada pertanyaan moral, apakah Anda merasa nyaman dengan menginginkan lebih dari 1,4 miliar orang China, banyak dari mereka masih miskin, menjadi lebih miskin? “Selain itu, permintaan dan investasi China sangat penting bagi negara-negara di Afrika dan Amerika. Apakah Anda ingin mereka menjadi lebih miskin juga?” jelasnya.

Kebingungan Barat

Fakta bahwa perdebatan semacam itu sedang terjadi dan menunjukkan kebingungan saat ini di Barat. Secara garis besar, dua model tatanan dunia sedang berperang di benak para pembuat kebijakan Barat yakni model lama yang didasarkan pada globalisasi dan yang baru berdasarkan persaingan kekuatan besar.

Menurut Gideon, model lama menekankan ekonomi dan apa yang disebut orang China sebagai ‘kerja sama yang saling menguntungkan’. Argumennya adalah bahwa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi baik untuk semua orang dan juga mendorong kerja sama internasional yang berguna dalam isu-isu penting.

“Sedangkan model baru berpendapat bahwa China yang lebih kaya, sayangnya, ternyata lebih mengancam. Beijing telah menggelontorkan uang untuk pembangunan militer dan memiliki ambisi teritorial yang mengancam Taiwan, India, Jepang, Filipina, dan lainnya.”

Yang jelas, kedua pandangan dunia tersebut mengandung unsur kebenaran. China yang gagal bisa menjadi ancaman bagi stabilitas dunia. Begitu juga China yang berhasil, selama dipimpin oleh Xi Jinping, atau otoriter nasionalis lainnya, masih tetap menjadi ancaman bagi Barat.

Kebangkitan China

Cara bagi para pembuat kebijakan Barat untuk menyelesaikan perdebatan tersebut adalah dengan mengajukan pertanyaan yang berbeda. Bukannya pertanyaan apakah kita ingin China berhasil atau gagal, tapi bagaimana mengelola kebangkitan China yang berkelanjutan?

Mengajukan pertanyaan seperti itu menghindari mendasarkan kebijakan pada sesuatu yang berada di luar kendali pejabat Barat. Tidak bijaksana bagi orang Amerika atau Eropa untuk berasumsi bahwa China sedang menuju kegagalan, sama seperti tidak realistis bagi China untuk mendasarkan kebijakannya pada Amerika dengan gagasan bahwa AS mungkin akan runtuh.

“Jelas bahwa baik China maupun Amerika menghadapi tantangan internal yang substansial yang dapat, dalam kasus terburuk, membuat mereka kewalahan. Tapi akan bodoh jika kedua belah pihak menganggap hasil itu,” tambah Gideon.

Daripada mencoba membuat China lebih miskin atau menggagalkan pembangunan negara, kebijakan Barat harus berkonsentrasi pada lingkungan internasional, di mana China yang lebih kaya dan lebih kuat sedang muncul. Tujuannya adalah untuk membentuk tatanan dunia yang membuatnya kurang menarik bagi China untuk mengejar kebijakan agresif. Pendekatan itu memiliki elemen militer, teknologi, ekonomi dan diplomatik.

AS memiliki posisi paling efektif dalam memperkuat jaringan hubungan keamanannya dengan negara-negara seperti Jepang, India, dan Australia, yang seharusnya ikut membantu mencegah militerisme China. Upaya Washington untuk mencegah Beijing menjadi pembuat standar teknologi dunia sedang mendapatkan momentum. Hanya saja upaya ini akan jauh lebih sulit untuk berkoordinasi dengan sekutunya, yang mengkhawatirkan kepentingan ekonomi mereka sendiri.

Yang juga harus diingat, China saat ini sudah menjadi mitra dagang terbesar bagi sebagian besar negara di Indo-Pasifik. Itulah mengapa sangat penting bagi AS dan Uni Eropa untuk menjelaskan bahwa tujuan mereka bukan untuk mencegah China menjadi lebih kaya. Ini untuk mencegah kekayaan China yang tumbuh digunakan untuk mengancam tetangganya atau mengintimidasi mitra dagangnya.

Kondisi perekononomian China

Perekonomian China mengakhiri 2022 sudah dalam kondisi ‘berdarah-darah’ atau mengalami kemerosotan besar akibat belanja bisnis dan konsumen anjlok pada Desember 2022. Melonjaknya kasus COVID-19 di negara tersebut juga menjadi salah satu penyebab merosotnya ekonomi China.

Menurut data resmi, penurunan manufaktur memburuk bulan lalu, sementara aktivitas di sektor jasa anjlok paling dalam sejak Februari 2020. Sementara itu, survei yang dilakukan China Beige Book International menunjukkan ekonomi berkontraksi pada kuartal IV-2022 dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (3/1/2023).

Kebijakan Zero COVID yang tiba-tiba dicabut pada Desember 2022 telah memicu lonjakan kasus COVID-19 di kota-kota besar, mendorong orang untuk tinggal di rumah karena mereka jatuh sakit atau takut terinfeksi. Sementara wabah kemungkinan memuncak di pusat kota seperti Beijing, dan aktivitas ekonomi mulai pulih di sana, virus COVID-19 menyebar dengan cepat ke seluruh negeri.

Ekonom Citigroup Inc. China Yu Xiangrong mengatakan bahwa Desember 2022 bisa menjadi titik terendah untuk PMI China dan pemulihan bisa terjadi dalam beberapa bulan mendatang. “Pemulihan yang lebih luas dapat dimulai dengan infeksi puncak. Selain itu, Januari 2023 dan Tahun Baru Imlek secara tradisional merupakan musim sepi bagi ekonomi China,” tulis kepala ekonom Citigroup China, Yu Xiangrong, dan rekan-rekannya dalam sebuah catatan dilansir dari Bloomberg, Selasa (3/1/2023).

Di sisi lain, ekonom melihat kemungkinan rebound yang lebih cepat dan lebih kuat bagi China di 2023. Menurut estimasi median ekonom yang disurvei oleh Bloomberg, pertumbuhan China diprediksi meningkat menjadi 4,8 persen untuk tahun ini, setelah kemungkinan akan melambat pada periode awal Januari hingga Maret 2023.

Bagaimana pengaruh China kepada Indonesia?

China menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia sehingga gangguan yang terjadi di Negeri Tirai Bambu itu dapat berpengaruh terhadap perdagangan Indonesia. Kebijakan yang telah diterapkan dalam beberapa bulan terakhir terkait merebaknya virus COVID-19, tidak hanya menyebabkan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut melemah, namun juga memberikan dampak terhadap global, termasuk Indonesia.

Akibatnya, Ekonom Senior INDEF Muhammad Nawir Messi mengatakan dunia belum bisa berharap perekonomian China dapat bangkit tahun ini atau awal tahun depan. “Padahal kata para ekonom, kalau China batuk kita mulai demam karena elastisitas pertumbuhan China terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia itu 0,1 persen,” kata Nawir dalam acara INDEF di Jakarta, Rabu (14/12/2022).

Lebih lanjut Nawir menjelaskan, jika China tumbuh 10 persen maka pertumbuhan Indonesia akan terdongkrak sebesar 1 persen atau elastisitasnya sebesar 0,01. Sebaliknya, jika ekonomi China turun 10 persen, maka ekonomi Indonesia akan susut 1 persen.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button