Keributan soal efisiensi anggaran 2025 makin ramai dengan adanya keterlambatan dalam publikasi dokumen APBN KiTa Januari dan Februari tahun ini. Ini bukan sekadar masalah administrasi, tetapi mencerminkan persoalan yang lebih besar. Lemahnya transparansi fiskal.
Dari APBN KiTa Februari 2025, kondisi fiskal di Januari lalu tidaklah menggembirakan. Pendapatan negara hanya Rp157,32 triliun atau 5,24% dari target, sedangkan belanja negara sudah mencapai Rp180,77 triliun (4,99% dari pagu). Artinya, APBN sudah mengalami defisit Rp23,45 triliun hanya dalam satu bulan pertama tahun ini.
Lalu, pada 22 Januari 2025, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. Targetnya penghematan Rp306,69 triliun. Namun, kebijakan ini justru menimbulkan kompleksitas yang bukan hanya menyangkut fiskal, tetapi juga berdampak pada ekonomi makro dan kesejahteraan masyarakat. Di tengah daya beli yang melemah, beban keuangan rakyat justru semakin berat.
Ironisnya, tak banyak terobosan yang dilakukan Menteri Keuangan dalam situasi ini. Padahal, kita tahu bahwa ia pernah dinobatkan sebagai Menkeu terbaik dunia.
Efisiensi Kosmetik
Retorika efisiensi yang digaungkan pemerintah seolah terdengar masuk akal. Namun, ketika ditelusuri lebih dalam, pemangkasan yang dilakukan justru mengorbankan sektor-sektor vital, sementara belanja pegawai tetap tidak tersentuh. Terutama gaji, tunjangan dan berbagai fasilitas lainnya yang diterima pejabat di Kementerian/Lembaga.
Salah satu sektor yang terdampak pemangkasan adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Anggaran BMKG dipotong 50,35%, dari Rp2,826 triliun menjadi Rp1,423 triliun. Pemangkasan ini berdampak langsung pada operasional Alat Operasional Utama (Aloptama), yang mengalami penurunan kemampuan hingga 71% karena keterbatasan biaya pemeliharaan. Praktis kualitas layanan kebencanaan ikut menurun, sementara Indonesia adalah negara rawan bencana. Pemangkasan ini bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal keselamatan publik.
Tidak hanya BMKG, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga menjadi korban kebijakan efisiensi ini. Anggaran PUPR dipangkas drastis dari Rp110,95 triliun menjadi Rp29,57 triliun. Proyek perbaikan rutin jalan nasional sepanjang 47.603 km dibatalkan. Dana tanggap darurat dipotong, melemahkan respons terhadap bencana dan keadaan darurat lainnya.
Dalam teori ekonomi pembangunan, investasi infrastruktur adalah salah satu pilar utama pertumbuhan jangka panjang. Pemotongan anggaran di sektor ini berisiko memperlambat laju investasi, menekan produktivitas, dan pada akhirnya memperburuk pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, belanja pegawai tidak termasuk dalam efisiensi sesuai Inpres 1 Tahun 2025. Dengan kata lain, pemangkasan hanya berlaku bagi sektor yang memiliki dampak langsung pada pembangunan dan pelayanan publik, sementara gaji serta tunjangan dan fasilitas lain yang diterima pejabat di lingkungan Kementerian/Lembaga tetap aman, tak tersentuh efisiensi.
Ini semakin memperkuat kesan bahwa efisiensi yang dijalankan lebih bersifat kosmetik—mengorbankan sektor penting, juga mengabaikan belanja yang seharusnya bisa lebih fleksibel.
Kebijakan Fiskal yang Tidak Produktif
Dalam kebijakan fiskal, ada dua pendekatan utama. Pertama, peningkatan penerimaan negara dan kedua, efisiensi belanja. Namun, yang dilakukan pemerintah saat ini justru pemangkasan belanja tanpa strategi peningkatan penerimaan yang jelas.
Pertama, Reformasi Pajak yang Tidak Efektif. Pemerintah mengklaim bahwa sistem pajak berbasis teknologi seperti Coretax DJP akan meningkatkan penerimaan. Namun, kenyataannya, sistem ini justru memperlambat proses pelaporan SPT oleh wajib pajak, menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha, dan belum terbukti meningkatkan kepatuhan pajak secara signifikan.
Jika ingin meningkatkan penerimaan negara, pemerintah seharusnya lebih fokus pada sumber pajak yang tidak membebani rakyat. Untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat secara langsung, pemerintah dapat mengoptimalkan kebijakan yang ada.
Salah satunya adalah melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti hasil pengelolaan kekayaan negara, dan dividen BUMN. Kemudian mengefektifkan basis pajak yang ada dengan meningkatkan kepatuhan kalangan pengusaha besar agar dapat menambah penerimaan tanpa menaikkan tarif pajak. Selain itu, optimalisasi aset dan kekayaan negara, termasuk pemanfaatan aset yang tidak terpakai, dapat menjadi solusi tambahan. Dengan strategi-strategi ini, pemerintah dapat memperkuat fiskal tanpa membebani daya beli masyarakat, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Kedua, Risiko Jebakan Fiskal. Dengan pendekatan seperti ini, APBN 2025 berisiko menciptakan jebakan fiskal. Tanpa strategi yang jelas untuk meningkatkan penerimaan, pemangkasan anggaran hanya akan memperlambat ekonomi. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi stagnan, karena investasi dan belanja publik berkurang. Daya beli masyarakat melemah, karena tekanan ekonomi yang semakin berat. Penerimaan pajak turun, akibat perlambatan ekonomi. Ketergantungan pada utang meningkat, karena defisit tetap harus ditutup.
Dalam teori ekonomi makro, ini dikenal sebagai lingkaran setan fiskal—ketika defisit anggaran terus berulang akibat kebijakan yang tidak produktif, memaksa pemerintah untuk terus berutang, sementara dampak ekonominya semakin melemah.
Jebakan Fiskal
Jika dibiarkan, ini bukan hanya memperlambat pertumbuhan, tetapi juga bisa membawa Indonesia ke dalam jebakan utang yang semakin sulit untuk keluar.
Dari kebijakan yang diambil, jelas bahwa pemangkasan anggaran dan efisiensi yang dilakukan tidak mempertimbangkan efektivitas jangka panjang. Bahkan transparansi dalam pemangkasan anggaran juga sulit didapat publik. Tertundanya publikasi APBN KiTa tanpa alasan yang jelas justru semakin memperburuk kepercayaan masyarakat dan investor terhadap kebijakan fiskal Indonesia.
Sementara itu, strategi peningkatan penerimaan yang dijanjikan hanya terdengar sebagai lip service. Menkeu seolah enggan mencari sumber penerimaan baru yang lebih inovatif, lebih memilih solusi instan dengan mengandalkan efisiensi belanja. Lalu tentu saja dengan menambah utang.
Tanpa perubahan kebijakan yang lebih transparan dan berorientasi pada pertumbuhan yang inklusif, Indonesia berisiko semakin terjebak dalam siklus fiskal yang tidak sehat—pemangkasan anggaran berujung pada perlambatan ekonomi, daya beli masyarakat melemah, penerimaan pajak turun, dan akhirnya utang kembali menjadi solusi utama.
Jika ini terus terjadi, pemerintah justru sedang membangun jebakan fiskal bagi diri sendiri dan generasi mendatang.