Belajar dari Kegagalan Sebelumnya, Pakar Pertanian Unsoed Dukung Program Cetak Sawah Sejuta Hektare di Merauke


Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Prof Totok Agung Dwi Haryanto menilai program cetak sawah baru di Merauke, Papua Selatan, berpeluang berhasil. Asalkan mau belajar dari kegagalan sebelumnya.

“Perluasan tanaman padi di Indonesia, menjadi sangat penting. Berdasarkan data 30 tahun terakhir, produksi padi nasional berfluktuasi karena luas area tanam. Jadi bukan ditentukan produktivitas,” kata Prof Totok di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (7/10/2024).

Ketika produksi beras nasional meningkat, kata Prof Totok, pemicunya adalah penambahan luas tanam atau luas panen. Sebaliknya, jika luas tanam atau panen menurun maka produksi nasional ikut turun. “Oleh karena itu, kebijakan perluasan area tanam itu menjadi penting walaupun itu bukan satu-satunya,” kata Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed itu.

Menurut dia, bangsa Indonesia, memiliki pengalaman panjang dalam perluasan area tanam padi. Mulai dari proyek sejuta hektare lahan gambut di masa orde baru (Orba), proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) du era SBY hingga program food estate di Kalimantan era Presiden Jokowi. Kini dicoba kembali dengan mencetak sawah baru di Merauke.

Ia mengatakan, suatu program kerja atau kegiatan yang dilakukan berulang dan secara kebetulan belum maksimal, bukan berarti bakal gagal lagi di masa depan. “Bisa saja besok yang terakhir ini (Merauke) akan berhasil. Yang penting, bagaimana kita fokus kepada kajian, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan program-program terdahulu,” katanya.

Prof Totok menilai, orientasi dari program-program dilakukan sebelumnya, adalah pendekatan program. Ke depan, sebaiknya diganti dengan pendekatan kesejahteraan dan pemberdayaan. “Sehingga harus dikaji mengenai persoalan-persoalan apa yang menyebabkan ketidakberhasilan di program sebelumnya,” paparnya.

Menurut dia, dari kajian tersebut selanjutnya disusun sebuah analisis dan strategi baru agar persoalan-persoalan yang dulu ada dan menyebabkan ketidakberhasilan program itu bisa diantisipasi.

“Jika itu sudah dilakukan, makan program 1 juta hektare sawah di Merauke harusnya berhasil. Kalau masih tidak berhasil lagi, itu sama dengan kebodohan kita semuanya, keledai tidak akan masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, jadi harus dikaji betul persoalan-persoalan apa yang dulu menghambat,” katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan perlu ditekankan bahwa pertanian bukan persoalan teknologi karena secanggih apa pun teknologi dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas, hal itu belum tentu menyejahterakan petani.

“Dalam pertanian, teknologi memang penting, tapi bukan yang utama, karena yang utama di dalam pertanian itu adalah kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pendekatan untuk membangun 1 juta hektare sawah baru di Merauke, perlu mempertimbangkan aspek budaya. Karena, pertanian bukan agriteknologi melainkan agrikultur.

Dengan demikian, lanjut dia, perlu dilakukan melalui pendekatan budaya agar masyarakat lokal bisa lebih siap lagi menerima budaya pertanian tersebut.

“Kita patut bersyukur bahwa masyarakat Merauke dengan adanya transmigrasi yang diprogramkan oleh pemerintah zaman dulu itu sudah ada masyarakat petani sawah di sana. Ini yang mudah-mudahan menjadi daya dukung keberhasilan program pencetakan lahan sawah di Merauke,” katanya.

Selain itu, kata dia, pelaksanaan program tersebut perlu melibatkan aktor-aktor lokal, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena, LSM cukup bagus dalam pendekatan kepada masyarakat.

Oleh karena persoalan sawah berkaitan dengan irigasi, lanjut dia, tanaman padi yang paling bagus untuk ditanam di luar Jawa adalah tanaman padi ladang atau gogo karena dapat menghemat penggunaan air.

“Walaupun ditanam di sawah, pada awalnya menggunakan sistem tanam benih langsung, atau tabela pada lahan kering. Airnya tidak usah digenangi. Sehingga tidak ada tahap pembibitan dan tidak ada tahap pindah tanam,” katanya.

Ketika tinggi tanaman padi itu mencapai 15 sentimeter, kata dia, airnya harus sudah dimasukkan ke lahan, untuk dijadikan sawah. Sehingga terjadi penghematan penggunaan air. “Padi ladang atau gogo, tidak harus ditanam di lahan cetak sawah, karena bisa ditanam di ladang-ladang yang sebelumnya memang sudah ada di Merauke,” ungkapnya.