Benarkah Kebijakan Land Reform Tak Pernah Terlaksana dengan Baik?

Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD menyebut lahan di Indonesia banyak dikuasai atau diperoleh secara kolusi atau permufakatan melawan hukum. Pernyataan itu disampaikan saat menanggapi jawaban dari Muhaimin Iskandar (Cak Imin) terkait keadilan sosial yang dimulai dari pemerataan kepemilikan tanah akses dan lahan.

“Sejak zaman bung karno itu dulu mengeluarkan undang-undang land reform, redistribusi lahan itu tadi, yang sampai sekarang itu tidak jalan meskipun undang-undangnya masih berlaku,” jelasnya saat ditanya tentang keadilan sosial melalui akses tanah dan lahan.

Penelusuran Fakta

Undang-undang (UU) land reform merupakan induk dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini mengatur struktur penguasaan tanah tidak hanya secara prosedural tapi juga teknis.

UU ini bertujuan untuk memberikan relasi agraria yang lebih adil dan merata  untuk kepentingan rakyat petani. Dalam implementasinya, dari masa presiden hingga ke presiden lain UU ini memiliki reformasi dan isu baru.

Di Orde Baru (Orba), sesuai dari riset yang berjudul “Kekerasan dalam Konflik Agraria: Kegagalan Negara dalam Menciptakan Keadilan di Bidang Pertanahan” karya Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Puji Astuti. Pemerintah memberikan lebih banyak ruang untuk investor, termasuk investor asing untuk mengelola sumber daya alam.

Alhasil, kebijakan ini memaksa para petani untuk jatuh miskin dan memilih kekerasan sebagai wujud suara ketidakadilan.

Bahkan dalam masa akhir Orba konflik agraria menjadi permasalahan yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Persengketaan ini terjadi di Pulau Jawa, Sumatra, Papua, hingga Kalimantan.

Dalam era Soeharto, kebijakan land reform tidak dilaksanakan karena dianggap tidak memungkinkan sebagaimana tanah di Jawa sudah sempit dan tidak mungkin dengan kebijakan pembangunan ekonomi pertumbuhan.

Memasuki Era Reformasi,dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) program ini juga belum bisa memenuhi keinginan agraria dari aktivis, buruh, petani, dan masyarakat  adat.

Kesulitan utama yang dihadapi masyarakat adalah proses administrasi. Selain itu dalam buku “Kebijakan Reforma di Era Susilo Bambang Yudhoyono” terdapat ketidaksamaan perspektif antara pihak swasta dan negara dalam mengartikan kebijakan.

Konflik agraria di era SBY yang terjadi adalah konflik Anggota TNI AU dengan warga di kampung Cibitung Desa Sukamulya di tahun 2007, empat warga tewas akibat penolakan relokasi Warga Desa Sumberanyar terkait konflik lahan di kawasan tempur TNI Angkatan Laut (AL) di tahun 2008, hingga tahun 2011 sengketa lahan 200 hektar untuk tanaman industri dan kebun kelapa sawit di Sintang, Kalimantan Barat.

Di akhir periode SBY, terdapat 369 konflik agraria yang melibatkan 139.874 kepala keluarga dan lahan seluas 1.281.660 hektar.

Selama hampir 10 tahun menjabat, pada era Jokowi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap ada 2.710 konflik agraria. Konflik ini melibatkan lahan seluas 5.8 juta hektar dan 1.7 juta keluarga.

“(Sebanyak) 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa,” jelas Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika.

Konflik yang terjadi dalam rentang 2015 hingga 2022 ini mengakibatkan warga tertindas bermigrasi ke luar kota atau negeri, dan menerima pekerjaan dengan upah murah.

Walau di kepemimpinan Jokowi telah terbentuk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), fungsinya tidak berjalan dengan baik.

Menurut Alvian dan Mujiburohman (2022) persoalan agraria di era Jokowi hanya berproses hingga legalisasi aset, secara teknis implementasi redistribusi masih kurang karena kepemimpinan yang lemah, keterbatasan objek redistribusi, dan peraturan yang tidak mencukupi.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pernyataan yang diberikan Mahfud MD saat debat cawapres Pilpre 2024 sesuai dengan keadaan yang terjadi di lapangan.

Sumber: Inilah.com