Kanal

Benarkah Perempuan Bisa Sama Korupnya dengan Pria?

Pembebasan Angelina Sondakh setelah menjalani masa hukuman pada Maret lalu mengingatkan kita tentang masih banyak perempuan masuk ke dalam pusaran korupsi. Yang sering menjadi pertanyakan adalah: apakah perempuan sama korupnya dengan pria?

Perempuan yang akrab disapa Angie ini harus menjalani hukuman pada kasus korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet Palembang. Ia resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2012 karena terbukti menerima suap sebesar Rp2,5 miliar dan US$1,2 juta. Lalu pada 2013, politisi Partai Demokrat itu resmi divonis penjara 10 tahun dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp4 miliar.

Tulisan ini tidak akan menyoroti pro-kontra soal hukuman Angie ini apakah ia benar melakukan korupsi atau menjadi korban dari tangan-tangan besar yang menjerumuskannya ke penjara. Namun, lebih menyingkap kasus korupsi yang melibatkan kaum perempuan yang patut menjadi keprihatinan. Hal ini mengingat, sudah banyak contoh kasus tentang perempuan yang menjadi pelaku korupsi.

Lihat saja kasus korupsi yang melibatkan para pejabat perempuan, seperti Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah terjerat kasus korupsi terkait pengadaan alat kesehatan. Juga Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin terjerat kasus korupsi perizinan proyek pembangunan Meikarta.

Ada pula Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang dihukum karena menerima gratifikasi sebagai balas jasa dengan sejumlah pengusaha terkait izin perkebunan dan pertambangan di Kutai Kartanegara. Mantan Wali Kota Cimahi Atty Suharti juga ditangkap bersama suaminya Itoc Tochijan di Bandung, Jawa Barat karena diduga menerima suap Rp500 juta dari pengusaha.

Masih banyak kasus-kasus lain yang melibatkan kaum perempuan sebagai aktor korupsi. Padahal semula orang beranggapan bahwa perempuan kurang korup dibandingkan kaum pria.

Bahasan bahwa perempuan mungkin tidak terlalu korup dibandingkan laki-laki pernah muncul di awal 2000-an. Pada tahun 2011, Bank Dunia menerbitkan sebuah penelitian, yang menunjukkan bahwa di negara-negara dengan proporsi legislator perempuan yang lebih besar, cenderung tidak menuntut suap.

Ini bukan karena perempuan lebih mungkin untuk menolak suap. Hal ini karena perempuan cenderung menjadi anggota jaringan patronase yang ada, yang didominasi laki-laki. Perempuan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk mengekspresikan atau mengejar korupsi mengingat jumlah perempuan yang menduduki posisi kekuasaan lebih sedikit daripada laki-laki.

Menurut survei yang dilakukan oleh World Values Survey, perempuan memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap perilaku korupsi. Namun survei ini mencatat bahwa kondisi ini hanya terjadi di negara demokrasi, tetapi tidak di otokrasi dan lingkungan di mana korupsi merajalela dan ditoleransi secara luas.

Dalam otokrasi dan di mana korupsi merajalela, perempuan memaafkan korupsi seperti halnya laki-laki. Di negara-negara demokrasi, di mana korupsi cenderung distigmatisasi ke tingkat yang lebih tinggi, perempuan lebih tidak menyetujui korupsi daripada laki-laki, dan cenderung tidak terlibat dalam praktik korupsi.

Hal ini masuk akal mengingat beberapa penelitian dalam ilmu sosial dan perilaku telah menemukan bahwa wanita berperilaku berbeda dari pria. Salah satu yang menarik adalah perbedaan gender dalam preferensi terhadap risiko dan hasil sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih menghindari risiko daripada pria termasuk risiko melakukan korupsi.

Perempuan lebih menolak korupsi juga terjadi dalam beberapa kasus. Seringkali kita mendengar ungkapan dari para sopir bahwa para polisi wanita, tidak hanya di Indonesia tetapi di banyak negara, lebih tegas menolak suap.

Mengapa perempuan kok korupsi?

Berdasarkan paparan di atas, tak heran ketika mendengar ada kasus perempuan korupsi, umpatan publik yang pasti muncul adalah: perempuan kok korupsi? Apalagi selama ini kita menempatkan perempuan sebagai sosok yang mulia tanpa cela. Kalaupun ada kesalahan yang perempuan lakukan seringkali dianggap sebuah kewajaran. Seperti kesalahan menyalakan lampu sein kiri padahal ia hendak berbelok ke kanan.

Tapi kenyataannya sekarang, melihat banyak pejabat perempuan melakukan tindak pidana korupsi meneguhkan pendapat bahwa korupsi tidak mengenal jenis kelamin. Laki-laki atau perempuan semua bisa menjadi pelaku korupsi, menjadi korban korupsi, ataupun kebalikannya bergerak sebagai aktivis antikorupsi.

Menarik untuk menilik studi dari Indonesia Corruption Research (ICR) pada 2021 lalu. Hasil survei mengungkapkan, sebanyak 46 persen dari responden perempuan sebanyak 1.171 orang menganggap korupsi adalah hal yang lumrah.

“Dari pertanyaan apakah korupsi hal biasa dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, jawabannya, 46 persen dari 1.171 responden perempuan menjawab setuju. Artinya, mereka merasa korupsi itu adalah hal yang lumrah dalam kehidupan masyarakat,” ujar Koordinator Indonesia Corruption Research (ICR) Astri Wulandari.

Tak heran saat ini tak sedikit kaum perempuan yang tersangkut kasus korupsi. Ketika mereka bisa meraih posisi tinggi di ranah publik seperti menjadi wakil rakyat, pengusaha sukses, dan sebagainya, pada saat itulah tak sedikit di antara mereka yang terjerat kasus hukum. Ada di antara anggota DPR perempuan, hakim perempuan, atau pengusaha perempuan, yang harus berurusan dengan KPK.

Dalam studi Perempuan dan Korupsi pada Ranah Publik yang dilakukan Dewi Sekar Kencono dan Bhakti Wisnu Wardhana menyebutkan bahwa fenomena perempuan banyak tersangkut korupsi merupakan gejala yang relatif baru di Indonesia.

Tekanannya bukan pada persoalan kebetulan atau by design, melainkan lebih pada bagaimana kita memaknai perubahan sosiologis dalam konteks gender dan feminisme yang berkelindan dengan persoalan korupsi.

Pelaku korupsi memang tidak mengenal gender. Korupsi terjadi bukan disebabkan karena ia laki-laki atau perempuan, tetapi lebih disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan keluarga, sanak saudara, teman, dan lain-lain.

Selain itu, korupsi dikarenakan penegakan hukum yang lemah, rendahnya pendapatan penyelenggara negara, kebiasaan memberi gratifikasi, budaya permisif (tidak ada kontrol sosial), dan kurangnya penerapan nilai-nilai agama atau etika.

Isu korupsi, tidak hanya membutuhkan pandangan dari segi hukum. Butuh pendekatan-pendekatan sosial agar masyarakat khususnya perempuan dapat tersadarkan bahwa isu korupsi amat dekat dengan kehidupan sehari-hari. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button