Ghassan Abdel Basset dan keluarganya awal pekan ini meninggalkan rumah mereka di Tepi Barat yang diduduki untuk mengunjungi seorang kerabat. Mereka akan berbuka puasa bersama selama bulan suci Ramadan. Malam harinya, tetangga memberi tahu bahwa pemukim Israel telah menyerbu rumah mereka.
Ghassan bergegas kembali untuk menghadapi para pemukim, tetapi tentara Israel turun tangan untuk menghalangi dia dan keluarganya kembali ke rumah. Para pemukim mengklaim mereka membeli rumah itu, tetapi keluarga Abdel Basset tidak pernah menjualnya.
“Para pemukim mengklaim mereka membeli rumah itu dari seseorang, tetapi tidak ada seorang pun yang memberi orang ini hak hukum untuk menjual rumah kami,” kata Ghassan mengutip laporan Al Jazeera. “Jika Tuhan berkehendak, kami akan mengikuti prosedur hukum [di Israel], dan hukum akan berjalan sebagaimana mestinya,” imbuhnya.
Pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal menurut hukum internasional. Sebagai penjajah, Israel tidak diperbolehkan memindahkan warga negaranya ke wilayah yang diduduki atau menegakkan hukum nasionalnya di sana.
Namun, lebih dari 750.000 pemukim Israel tinggal di pemukiman ilegal di Tepi Barat, dan banyak yang telah memalsukan akta properti untuk memberikan kesan legalitas guna menyita rumah-rumah Palestina. Ini adalah salah satu dari beberapa strategi yang digunakan pemukim yang didukung negara untuk mengusir warga Palestina.
Para pemukim – yang didukung oleh pemerintahan Israel – juga merusak rumah-rumah, mendirikan pos-pos terdepan, menyerang petani, merusak tanaman dan mencuri ternak di bawah pengawasan tentara Israel. Menurut laporan terkini Peace Now dan Kerem Navot, dua kelompok hak asasi manusia Israel, pemukim Israel saat ini menguasai 14 persen tanah Palestina di Tepi Barat.
Sekitar setengah dari tanah ini telah disita sejak pemerintahan terakhir Israel berkuasa pada Desember 2022, yang menandai eskalasi serius. Sejak Israel memulai perang genosida di Gaza pada Oktober 2023, pemerintah sayap kanannya telah meningkatkan aneksasi tanah dan penggusuran di Tepi Barat.
“Ada banyak alat yang digunakan pemukim untuk menyebabkan pengungsian warga Palestina,” kata Diana Mardi, seorang peneliti di Bimkom, kelompok hak asasi manusia Israel. “Mereka cenderung menggunakan kekerasan untuk membuat warga Palestina mencapai titik di mana mereka merasa harus meninggalkan rumah,” katanya kepada Al Jazeera.
Suku Badui dan Petani dalam Bahaya
Petani dan masyarakat Badui paling berisiko terhadap serangan dan pengusiran oleh pemukim Israel. Laporan oleh Peace Now dan Kerem Navot menemukan bahwa sedikitnya 60 persen komunitas penggembala Palestina telah diusir dari tanah mereka sejak 2022. Selain itu, 14 pos terdepan ilegal telah didirikan di tanah yang dulunya merupakan tempat tinggal para petani, penggembala, dan suku Badui Palestina.
Laporan tersebut menambahkan bahwa para pemukim cenderung menggunakan penggembalaan hewan untuk merambah tanah Palestina dan mengintimidasi petani, suatu teknik yang dikenal sebagai penggembalaan.
Leith, seorang petani Palestina yang tidak mengungkapkan nama belakangnya karena takut akan pembalasan, mengatakan pemukim sering mencoba mengambil alih lahan pertanian di desanya di sebelah timur Ramallah dengan cara ini. Ia menambahkan bahwa para pemukim sering merusak tanaman dan menghalangi warga Palestina mengelola tanah mereka di desanya.
Setelah menghadapi ancaman dan serangan terus-menerus oleh para pemukim, yang sering kali dilindungi oleh tentara Israel, warga Palestina sering kali meninggalkan mata pencaharian mereka.
“Untuk melindungi keluarga, mereka harus meninggalkan daerah itu. Banyak dari mereka memiliki anak-anak yang harus mereka jaga keamanannya, tetapi mereka kehilangan sumber pendapatan utama [dari bertani] saat mereka pergi,” jelas Mardi.
AS Menguatkan Gerakan Pemukim Israel
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump semakin menguatkan gerakan pemukim Israel, kata Omar Rahman, pakar Israel-Palestina di Middle East Council on Global Affairs. Rahman menekankan bahwa para pemukim mendapat keuntungan dari iklim impunitas ketika menyerang warga Palestina dan mencuri tanah mereka.
“Aspek lainnya adalah bahwa Trump dikelilingi oleh orang-orang yang bukan hanya pendukung Israel tetapi juga ‘Israel Raya’. Itu berarti mereka percaya bahwa tanah itu secara alkitabiah adalah milik [eksklusif] orang Israel,” kata Rahman kepada Al Jazeera.
Setelah Trump dilantik pada 20 Januari, ia segera menandatangani perintah eksekutif untuk mencabut sanksi terhadap para pemukim yang oleh pemerintahan sebelumnya dianggap sebagai “ekstremis” dan bertanggung jawab atas upaya melemahkan solusi dua negara.
Perintah itu dikeluarkan satu hari setelah gencatan senjata sementara diberlakukan di Jalur Gaza untuk menghentikan apa yang menurut para ahli dan sarjana hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai kampanye genosida Israel terhadap warga Palestina. Keesokan harinya, serangan pemukim meningkat di Tepi Barat.